18

Bau semerbak yang dihasilkan dari asap-asap makanan, membuat tergiur. Perut-perut kami terasa bergetar usai menerima wanginya masakan di sana.

Seperti biasa, anak-anak lain seumuran dengan kami, berkelana mengambil jatah makan dan menduduki bangku secara acak.

"Mau ditaruh dimana? Tidak sanggup lagi." Erton merasakan tak nyaman, terlihat wajahnya yang mengernyit.

"Ba-baiklah, ki-kita... Ambil di kursi pojok saja." Eme kaku menjawab seperti sedang diinterogasi oleh anak tadi. "A-ayo," Eme mengajak dua laki-laki yang sibuk membawa satu sama lain.

Rangkulan tangan dibawa tegang oleh tangan kanan Erton Smith. Tubuhnya bergoyang sempoyongan sama seperti West Bromwich. Udara dihembuskan secara patah-patah beberapa kali. 

Baris ketiga diraih cukup menguras tenaga--Erton meletakkan tubuh sahabatnya di atas bangku kursi panjang nan kosong. Mengelap keringat bermodal lengan baju hitam yang dipakai sekarang. 

"Berat sekali tubuhmu, West," Erton menaikkan tangan kanannya diatas meja makan. Menyingkirkan butiran air asin yang muncul dari pori-pori kulit. Dia melihat kearah lain, setelah memandang wajah sahabatnya. 

West tidak mengutarakan pendapat kepada anak yang dirangkulnya. Anak itu sekedar mengecek kondisi balutan perban pada masing-masing tempat yang sudah terluka. Lanjut menepuk cepat pada pundak Erton, masih tak melihatnya. 

"Kenapa denganmu?" Erton mengerut kening, dengan kepala bergerak ke atas sebentar.

"Kau tau?" West menggaruk hidungnya, "terimakasih." 

Anak laki-laki yang membantu merangkul tubuh sahabatnya tadi, belum berbicara. Justru berdiri merapikan celananya. "Ya baiklah. Aku harus makan sekarang." Wajahnya cuek, alis dipadukan hampir menyatu.

Erton telah pergi tanpa menghiraukan kedua remaja dibawah.

"Anak itu selalu saja." West mengecap bibir dan menggeleng.

"Mungkin dia gengsi mengatakan sejujurnya, West. Apa sahabatmu itu..., Sejak kecil sifatnya begitu?"

West mengangguk merespon. "Yap. Kami tumbuh bersama dengannya sejak kecil."

"Jadi kalian berdua sudah tinggal bersama di rumah yang sama? Sejak kecil?"

"Ya, kau bisa mengatakan hal itu."

"Lantas kemana orang tuanya?"

"Meninggal ketika ada penggusuran lahan di kota asalnya. Anak itu bukan berasal dari kota yang sama sepertiku, Eme."

Wajah ceria milik Eme Sheren mendadak hilang. Bibirnya datar, seketika membuat sepi setelah selesai bertanya kepada West. "Aku turut berduka cita dengannya." Eme menyentuh bagian dadanya, sebagai bentuk prihatin atas kejadian yang menimpa Erton.

"Cerita itu hanyalah ada di masa lalu. Dia sudah aman denganku sekarang. Jangan heran sifatnya seperti itu." West bercerita sambil menonton Erton, menggeser tubuhnya untuk menerima sarapan di depan. 

"Aku sangat paham."

"Kalau kau tidak suka dengan sifatnya, kau bisa tinggalkan kami. Sebelum menyesal."

"Tidak." Eme menekan nada bicaranya, dan melihat raut muka West yang ikut menatapnya. "Aku akan terus bersama kalian. Aku tidak akan mengomentari atau memusuhi akan sifatnya. Begitu juga denganmu, West."

West belum berkomentar. Dia sekedar memandang Eme dengan wajah seriusnya. 

...***...

Bunyi nampan dihentakkan pada permukaan meja besi. Bising terdengar oleh kuping West. Nyeri sakit mengetahui bahwa Erton sudah meletakkan nampan penuh berisi berbagai macam menu sarapannya. West dan Eme turut duduk disana. Membuat ketiga anak remaja, berkumpul memojok.

Setengah waktu, dihabiskan untuk menikmati sarapan hari ini. Tentram, aman, dan terkendali sepenuhnya. Anak-anak berbeda kota, membanjiri area kantin, untuk sekarang.

West memajukan tubuhnya, "kau berdua tau dimana anak berotot berada? Hari ini dia tidak ada disana."

"Barangkali dia telah selesai dengan urusan makan paginya." Eme melahap potongan buah jeruk yang sudah dikupas.

"Pakai gelangmu, West. Seperti tidak tau saja." Erton menyeruput segelas air hangat. 

West tidak bisa menahan ekspresi pada bibirnya selama ditarik menyamping. "Ya, kau benar juga, Er. Sudah lupa kalau aku belum bisa memakainya."

Kami bertiga melanjutkan sisa sarapan. 

"Kalian pernah melihat direktur secara langsung?"

"Mrs.Grow, maksudmu?" Eme selesai meneguk potongan jeruk--baru saja ditelan.

"Yap, siapa lagi. Dalam wujud asli manusia. Bukan hologram. Kalian pernah melihat... Atau bertemu?"

"Tidak pernah." Erton meringkas ucapannya. Sibuk meneguk segelas air putih pada salah satu tangan.

"Aku juga belum pernah melihatnya secara tatap muka. Selalu dan selalu saja, hologram itu yang menyala. Sangat bosan, hologram terus. Seperti tidak ada manusia-manusia dewasa disini."

"Ada." Erton meletakkan gelas tadi.

"Siapa?"

"Bibi-bibi kantin dan petugas."

"Maksudku orang yang bisa mengawasi kita secara langsung. Kita juga tidak pernah melihat petugas-petugas itu muncul selama latihan. Seperti hilang begitu saja. Kamu ingat terakhir kali terlihat adanya petugas itu?"

"Tidak."

West membantu menjawab. "Hari pertama datang di kota ini. Dan saat pembagian kamar-kamar."

"Benar. Kamu ingat sampai sekarang, ternyata, West. Itu semua sudah kita ketahui. Sekarang tidak ada wujudnya setelahnya. Heran, kan?"

West terdiam sesaat, setelah pengeras suara, menyala kencang.

"SILAHKAN BERKUMPUL SEPERTI BIASANYA. TIGA PULUH MENIT LAGI, AKAN SEGERA BERANGKAT."

Giliran West melirik kepada Eme, dan Erton, berdiri dan bersiap diri. "Kalian harus pergi, huh?"

"Maaf, West." Eme menaikkan kaki ketika dia berusaha menjauhi kursi panjangnya. "Kita akan berpisah sementara. Kamu tidak apa-apa, kan? Selama kami pergi?"

"Pergilah." West mengangguk paham.

"Ayo." Erton menunggu Eme, masih berbincang sebentar dengan West.

Eme menatap sebentar, "sampai nanti, West." Perempuan itu berlari mendekati ke arah Erton Smith. Kini berjalan berdua.

Anak-anak lain ikut menyusul seperti Erton dan Eme. Awalnya ramai dipenuhi anak-anak remaja, sekarang sepi, tersisa West dan bibi-bibi pengurus kantin. Berolahraga memindah alat-alat dan sisa menu sarapan tadi.

Meja-meja telah kosong seluruhnya. Bersih terkendali, tanpa sampah di mana-mana.

Rasa bosan menyelimuti West Bromwich, duduk menyendiri. Tidak ada teman bicara atau teman main. Kelopak mata menahan berat.

Sekedar memencet tombol gelang, rasanya malas untuk berbincang dengan Alice. Yang ditemui setiap hari adalah hologram dan hologram.

"Kembali saja, nak. Kami hendak menutup kantin ini." Satu bibi kantin telah keluar dari kandangnya. Mengelap meja-meja.

Bibi kantin terus mengerjakan dan menunduk. Tidak peduli dengan satu anak laki-laki penyendiri.

West tidak bisa berkata banyak. Yang bisa dilakukan pagi ini adalah bangun dan pergi untuk kembali menuju kamar lamanya.

Tertatih-tatih jalan anak itu. Pelan, sembari mengelus perban baru. Seperti zombie, berkeliaran sendirian di gedung yang ditinggali.

"Apa yang bisa kulakukan sekarang? Tidak ada." West berbicara sendiri, "bibi itu benar. Mengusir anak penyendiri yang menderita sekarang, sangat menyedihkan."

Gelang menyala sebelum jemari milik West menekannya. "Pagi, West." Alice, muncul menyambut.

"Kau lagi, Alice."

"Kamu benar, West. Saya diprogram untuk menemani pengguna gelang ini. Ada yang ingin kamu tanyakan, West?"

"Apa di gedung ini ada ruang perpustakaan? Aku tidak bisa menemukan tempat itu."

"Tentu saja ada. Letaknya pada samping ruang perawatan, pada lantai satu. Semua hal yang kamu butuhkan, ada di ruang perpustakaan."

"Benarkah?" West menaikkan gelang, sampai terlihat langsung di matanya.

"Benar, West. Jika kamu tidak percaya dengan kata-kataku, kamu bisa tanyakan pada Micha atau pun para perawat."

West menstabilkan napasnya. "Baiklah, terimakasih."

West berhenti mendekati jemari pada tombol tengah—sekedar mematikan gelangnya, ketika Alice melanjutkan bertanya kepada anak laki-laki berambut hitam.

"Ada perihal apa yang membuatmu ingin mengunjungi ruang perpustakaan? Anak-anak disini jarang sekali membaca buku."

"Rasa bosan."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!