..."Semua telah dimulai kembali."...
...***...
West Bromwich.
Namanya dalam sebuah kartu identitas, pada dompet kulit sobek berwarna coklat tua. Foto data diri, dengan deskripsi apapun yang tertera.
Rambut pendek hitam, memiliki warna mata coklat pada keduanya, dan dagu lancip serta wajah selalu tegang, ada padanya semuanya.
Baju hijau lengan panjang dan celana panjang hijau gelap, sudah menjadi bagian hidupnya, sejak ia lahir.
Kota Greny, menjadi kota sederhana, namun di sisi lain, ia juga melahirkan akan hasil pertanian makanan maupun minuman. Juga ternak-ternak hewan.
Kota Greny adalah asal kelahiran dari West Bromwich. Anak laki-laki dengan rambut hitam pendek, penuh mengawasi siapapun yang dilihatnya, dari mana saja. Jalannya selalu cepat, berlari cepat agak terburu-buru.
Dia juga lahir dari pasangan pak Winton Bromwich dan ibu Layla Bromwich. Dikaruniai satu anak, yaitu aku sendiri, sebagai anak tunggal.
Hanya saja, pak Winton telah meninggalkan keluarga kecilnya, tepat sebelum West bertumbuh remaja.
Anak itu tumbuh dalam pengawasan ibunya sampai dia mencapai batas anak-anak remaja untuk sekarang.
Saat yang tepat, untuk melepaskannya.
West telah lama merubah sifatnya menjadi agak kaku, tegas, dan mengintai siapa saja yang dilihatnya.
Pada dasarnya, seperti ayah kandungnya. Sebelas, dua belas.
Kegiatan pagi ini adalah keluar rumah menuju bangunan milik pak walikota kami.
Sejak kemarin malam, pesan-pesan itu terus saja menghantui pikiran West. Pesan yang dikirimkan tanpa henti. Dengan terpaksa, aku harus menerimanya.
Kalau tidak, pesan itu akan terus meneror rumah kami selamanya.
Begini surat darinya.
"Selamat malam kepada dua anak-anak remaja yang beruntung. Kepada West Bromwich dan Erton Smith, datanglah ke gedung walikota, besok pagi."
Matahari menyengat seperti biasanya. Kesibukan di jalanan-jalanan berlumpur, membuat sepatu West sering kali harus dibersihkan. Sengaja dilakukan untuk menghormati gedung yang akan kami masuki.
Selain jalanan berlumpur, terdapat pula jalanan beraspal dan rangkaian besi yang ditempelkan ke tanah, sebagai akses kereta sederhana yang dimiliki di kota Greny.
Sepanjang melintas menuju bangunan pusat dari kota Greny, lebih banyak warga-warganya, sangat sibuk mengurusi pertanian.
Remaja-remaja lain seumuran dengan- nya, pasangan-pasangan muda yang harus bekerja untuk kemakmuran kota ini, dan lainnya.
Deretan mobil-mobil rongsok, selalu berusaha diperbaiki oleh para montir yang ahli—dikirim dari kota lainnya. Jauh dari sini.
Kendaraan yang dimiliki hanyalah kereta umum, mengangkut tiga puluh sampai lima puluh orang setiap harinya. Selain kereta, tidak ada lagi. Mengandalkan kekuatan diri sendiri. Berjalan atau berlari.
Aku tidak hanya berjalan sendiri, tentu bersama satu sahabat laki-laki, bernama Erton Smith. Panggil saja Erton.
Anak berjaket hijau dengan saku-saku, membawa tas yang dikesampingkan. Kedua lengan ditutupi semacam kain yang dibalutkan warna hitam, dan rambut putih pendek, seperti kedua orang tuanya.
Masih ingat pada pikiran West, tentang kedua orang tua dari Erton. Pada kamar yang dirapatkan, secarik foto membuat West tertegun.
Erton berdiri di tengah-tengah dua orang dewasa, memegang peralatan menambang, dan dia tersenyum.
Dia selalu menumpang dalam rumah West, selama bertahun-tahun. Anak malang, telah lama kehilangan kedua orang tuanya, saat penggusuran lahan rumah lamanya.
Rumah lama milik Erton, jauh dari perkotaan. Dulunya, dia adalah anak yang hidup di kota Lumber, namun dia terpaksa dipindahkan ke kota Greny.
Penggusuran lahan, membuatnya geram jika harus mengingatnya lagi.
Kami berdua tumbuh bersama, sampai usia remaja muda nan matang.
Pagi itu, West dan Erton hendak menemui pusat kota Greny. Tidak megah, seperti lima kota lainnya, namun hanyalah gedung lima lantai biasa. Gedung bekas yang diolah kembali, sejak tragedi pembantaian akhir dunia.
Lagipula, ini hari pertama mereka masuk ke dalam bangunan.
"Tidak percaya, pak tua itu menyuruh untuk datang sekarang." Erton menatap atas, pada bangunan lima lantai. Tepat berada di depan bangunan.
"Jaga bicaramu. Jangan sembarangan." West memotong dan mempertegas bicaranya.
"Ucapan mu, seperti ibu-ibu rempong saja." Erton berjalan tidak peduli pada perkataan West Bromwich, dikala Erton memanggilnya, "pak tua."
West menggeleng capek, mendengar Erton yang tidak peduli dengannya, menilai dari gaya bicaranya seperti orang dewasa.
West dan Erton memasuki bangunan lantai satu, melalui kaca pintu retak— belum selesai diperbaiki. Begitu juga, pada ornamen bangunan, dalam tahap renovasi.
Ahli-ahli tukang bangunan, dikirimkan dari orang-orang terpercaya. Pemasok-pemasok bahan bangunan dikirim dari luar kota.
Di dalam juga tidak buruk soal kebersihan. Kecanggihan teknologi baru, hasil pengiriman dari luar kota.
Karpet merah terbentang panjang, sampai ujung sana.
"Kali ini, kau jangan bertingkah aneh." Aku menjelaskan situasi kepada Erton.
Aku sudah paham dengan apa yang terjadi disini. Setengah pasukan, dijaga ketat untuk mengawasi siapapun yang masuk dalam dan luar bangunan.
Bangunan ini, untung saja dilengkapi teknologi canggih, pemberian dari pusat kami. Paling pusat, dan bukan dari sini.
Yang ku tahu dari orang-orang, jantung kota dari lima kota ini yaitu kota Valcon, memiliki bangunan berteknologi, lebih maju dibandingkan lima Kota.
Kata orang-orang disini, kota itu benar-benar serba hitam. Hitam abu-abu.
Dari kejauhan, tampak menara tertinggi yang bisa dilihat dan dimasuki, jika beruntung.
Karena tempat itu memiliki semacam penghalang, dan hanya dibuka ketika ada pendatang yang masuk. Khusus saja. Tujuannya agar musuh dari pihak luar, tidak tau tentang kemunculan kota canggih itu.
Kecanggihan teknologi, terutama yang di kirimkan ke kota Greny, semua berasal dari sana.
Kota Valcon.
Jantung sekaligus pusat kota. Semua saling terhubung. Masing-masing dari lima kota ini, memiliki semacam keunggulan masing-masing.
Kembali lagi, box lift tadi terasa sangat dingin. Walau begitu, hanya ini yang bisa diandalkan dalam mengantar kami untuk bergerak naik.
Lantai lima menjadi tujuan kami, kali ini. Usai pak walikota memanggil kami melalui surat rahasia dengan hologram biru.
Aku tidak paham, apa yang direncanakan dari walikota kota ini. Rasanya seperti diremas cemas, dan tangan berkeringat dingin. Kaki kanan di- hentakkan sesering mungkin.
Selama berjalan box lift, Erton berjaket hijau army, selalu mengoceh denganku. Mengunyah permen karet tanpa waktu, dan tidak memikirkan sekitar.
"Jangan banyak bicara disini, Er. Semua mengawasi. Orang-orang mengawasi."
"Kau ini terlalu tegang, West. Rileks dulu." Erton yang membawa tas kecil tadi, menyenderkan di dinding lift besi. "Jangan bicara lagi, kalau itu maumu."
"Dasar." West memberhentikan suaranya, setelah dia selesai berbicara dengan Erton.
Box lift akhirnya berhenti tanpa disadari. Senyum sudah hilang dan mengendur. Awal dari semuanya, bisa saja telah dimulai.
Aku tidak tau apa saja rancangan dari pak walikota untuk kami berdua. Apakah baik, atau jahat.
Remasan tangan ulah ujung bajuku, mendadak dilepaskan—pintu box lift terbuka lebar. Setelah tubuh kami keluar, dua penjaga mengagetkan tanpa tanda. Berseragam lengkap dengan senapan yang disampingkan.
"Apa yang kalian lakukan disini?" petugas bertopi rapi, menutup jalan kecil. Menanyakan perihal kedatangan tadi.
Erton melirik padaku, dikembalikan aku menatap ke pandangan satu penjaga. "Sebentar." Ayunan tangan seketika membuka pesan dari hologram yang dinyalakan.
Petugas tak bernama, mengangguk paham. Ia memutuskan untuk memberikan setapak jalan kepada kami. Rasa tegang menepi sejenak.
Lorong pendek, sekiranya telah berdiri dua anak laki-laki dengan maksud suruhan kedatangan menuju pak walikota. Gugup, menyertai diriku yang menjalar sampai ke ujung rambut. Rasa tak mengenakkan selalu hadir begitu saja.
"Kalau tidak ada disana, pulang saja." Erton mengomentari keadaan disini. "Banyak pekerjaan dibawah yang menumpuk." Mulutnya terus mengunyah permen karet.
Satu pintu mendarat pada telapak tangan, secara keseluruhan-West memegang pegangan pintu bulat.
"Datang juga kalian." Sambutan tepuk tangan, melayangkan pada dua tangan secara bersamaan—pak Walikota melakukan itu.
Pak walikota berjalan melambat kepada kami yang sudah masuk. Tiga orang berusaha berbaur satu sama lain. Terkecuali Erton, menyilang tangan di depan dada.
Satu jabatan tangan, berhasil diraih kepada West saja. Lantas, menyuruh untuk duduk pada sofa dingin. Terasa lega, untuk beberapa menit.
Erton mengeluarkan sisa permen karetnya. Dia menyudahi sarapan .
"Jangan buang sembarangan." West menggeleng melihat tingkah sahabatnya.
"Terserah mau bilang apa." Erton menggeser tubuhnya ke samping, pada tong sampah dekat sofa kecil itu.
West mengawasi depan kembali. Punggung dibungkukkan.
"Jadi, akhirnya kalian berdua sudah datang. Awalnya tidak akan berhasil dengan pesan hologram, karena kalian anak-anak muda, sangat sibuk dengan pekerjaan pertanian setiap harinya, bukan?"
West sekali bertanya penuh penasaran. "Ada apa bapak memanggil kami melalui pesan hologram itu?"
Pak walikota mengeluarkan nada serak. Menutup mulut dengan sebagian kepalan tangan, bergegas memperbaiki suaranya lagi.
Sekali lagi, aku melirik pandangan, kepada Erton. Setelahnya menuju ke wajah pak walikota.
"Saya baru saja dapat pesan dari kota pusat, kota Valcon, mengenai kalian berdua dan yang lainnya, akan ditugaskan atau kata lainnya adalah dikirimkan kesana."
Aku meneguk air ludah. "Tapi mengapa harus kami, pak?"
"Pusat hanya memberikan dua jawaban. Yaitu kirimkan nama-nama anak muda terpilih, dan satunya adalah jangan sampai lupa." Pak walikota menjelaskan keadaan genting.
Erton menjadi berdiri, karena ucapan tadi. Dia belum bersedia mendengarkan penjelasan yang menunjuk kepada anak-anak seperti kami ini. Menjauh untuk menempelkan diri pada dinding ruangan jendela sepetak.
West menjadi semakin cemas. Anak laki-laki seharusnya tidak boleh menjelaskan situasi gawat untuk sekarang.
"Kalian sudah terdaftar dalam list itu, mau tidak mau harus mengikuti arahan."
Erton berdiri penuh emosi. Komplain atas ucapan dari pak walikota. "Tidak bisa begini pak! Tidak adil! Kami masih anak-anak yang butuh bantuan di sini!"
"Diam lah."
West melihat Erton yang sudah tidak bisa menenangkan dirinya. Pada tengah-tengah keraguan, West menghentikan sebentar kelakuan Erton. "Kata bapak, yang lainnya? siapa?"
"Soal itu, pusat ingin mengambil enam anak dari masing-masing lima kota. Kalian anak berdua, jadi ada empat orang di kota ini yang akan bersama dengan kalian."
West mengusap dagu. Ia terpikir dengan empat anak lainnya. Bisa jadi pelan-pelan hologram, semuanya juga sebelumnya telah bertemu dengan pak walikota, sebelum kami tiba.
Pak walikota berdiri lagi. Dia menggerak kedua tangan kebelakang. Berjalan pelan santai, penuh penghayatan.
West juga mengikuti gerakan. "Kalau begitu, kami tidak bisa membantu. Kami memang sangat muda, namun kota masih banyak perlu bantuan anak muda seperti kami."
Pak walikota berbalik kepadanya. "Tidak. Kalian sudah terdaftar dalam list pusat. Kalaupun kalian melarikan diri, tetap tertangkap."
"Sial. Benar-benar harus begini?!" Erton mengerut kening.
Pak walikota mengangguk.
Erton mengamuk karena suara tadi. Berusaha mencekik leher pak walikota. West menahan sekuat tenaga. "Diamlah kau ini. Tenang dulu."
Tangan West menghempaskan tubuh Erton, sampai agak menjauh kebelakang.
"Lihat kekuatan besar mu itu, West. Tubuh kecil namun gaya melepas temanmu, sangat mengesankan. Bapak yakin, kalau nanti ada pertarungan, kamu bisa mengalahkan siapapun."
"Pe-pertarungan?" West mencoba memahami lagi.
Pak walikota mendadak serak lagi. "Pusat sudah mengirimkan bus untuk kalian, besok pagi. Kemasi barang kalian untuk malam ini."
Petugas berbaju hitam memasuki ruangan. Menangkap tubuh kami serta menyeret keluar.
"Apa?! Mendadak sekali, pak! kami tetap tidak akan pernah ikut! sekali pun!" Erton berteriak selama tubuhnya dibawa keluar.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selama tubuh kami diseret. Pak walikota terlihat sangat cemas mengingat pesan dari pusat.
Pintu ruangan ditutup dan kami berdua telah berdiri di lorong kecil bersama dua penjaga tadi.
"Kau jangan bicara apapun lagi." Erton meninggalkan West, sendirian.
Aku berguming sendiri. Rasa menyerah akan ada pada tubuhku selagi dia berusaha untuk mengatakan ke diri sendiri.
Jendela ukuran sedang, menarik perhatian bagi West. Anak laki-laki, saat ini merenung sambil melihat pemandangan kota seluruhnya.
"Apa aku bisa?" tanya West kepada dirinya sendiri.
Langit oranye berubah cepat. West mendatangi tempat bekerjanya. Di depan, tentu berdiri Pak Aaron. Salah satu pemilik dan pengelola hewan-hewan disini.
"Bagaimana? sudah bertemu dengan pak walikota?" pak Aaron bertanya, sambil membawa gunting pemangkas rumput.
Aku memalingkan wajah. Erton melihat kepadaku sambil sibuk memberi pakan hewan ternak.
Aku mengambil napas dalam. Tangan bergemetar selalu datang kepadanya. Kepala yang sempat turun kebawah, diakhiri naik lagi.
"Kami akan meninggalkan kota. Besok pagi."
Gunting rumput akhirnya bergerak jatuh, sampai mengenai rumput pendek. Ia sadari. Menekuk lutut untuk mengambil lagi alatnya.
"Sampai kapan kalian akan kembali?"
"Kami tidak yakin. Walikota tidak memberikan apapun lagi kepada kami."
Pak Aaron berdiri, "kalau begitu ini akan menjadi pekerjaan terakhir kalian. Bereskan semuanya dan temui lagi nanti di depan teras. Bapak harus membereskan pekerjaan hari ini."
Pak Aaron tidak bersuara lagi. Kepalanya sedikit diturunkan, pertanda bahwa dia mungkin akan menyesali sesuatu.
West tidak banyak berbicara lagi. Dia telah usai untuk memberi semua informasi kepada pak Aaron.
Sampai langit oranye mendadak tenggelam, West dan Erton duduk pada kursi reyot berotan. Kualitas kayu rotan, sangat awet dipakai.
Kegelapan malam dihiasi dengan lampu petromak yang digantungkan di masing-masing pion rumah kayu. Ditemani kumpulan laron-laron yang berusaha mendekati kearah cahaya api.
Pak Aaron membuka topi pertanian. Melepaskan sepatu boot pada tempatnya. Membuka pintu.
"Minum apa? bapak ambilkan." Tawar pak Aaron untuk pertama kalinya.
Aku menoleh cepat, "kami teh saja, pak."
Tanpa berbasa-basi, pak Aaron mengambilkan air teh kepada kami. Menuang dan meletakkan diatas meja bulat pada tengah-tengah kursi rotan.
Pak Aaron menyenderkan punggung di permukaan pion rumah. "Jadi, kalian akan meninggalkan kota?"
"Benar, pak." West mewakili menjawab pertanyaan, dibandingkan Erton melihat hal lain sembari menyeruput segelas teh.
"Apa yang akan kalian lakukan diluar sana? Sangat berbahaya, bahkan kalian berdua tidak tau apa-apa. Para penggigit daging akan selalu berburu di kegelapan malam."
"Kami mendapat perintah dari pusat—kami tidak tau apa tujuan itu. Pak walikota memberikan informasi mendadak."
West segera menyalakan pesan hologram yang dikirim kemarin malam.
Pak Aaron nampak menaruh kecurigaan selama menonton pesan video darinya. Dielus dagu tumpul, mengerti seluruh isi pesan.
"Benar. Sudah kuduga akan seperti ini." Kesal kepada pak Aaron, ketika berbicara sendiri sambil meninju pion rumah.
"Ada apa, pak?" West menjadi lebih penasaran dengan sikap pak Aaron.
"Dengarkan ini." Pak Aaron lantas menekan pinggir kursi rotan, sontak membuat West berpangku kaku, "Pusat akan selalu mengirimkan anak-anak muda seperti kalian. Kalian memiliki keahlian survive, bukan? gunakan itu dengan baik."
"Survive? maksud bapak?"
"Apa yang selama ini bapak ajarkan kepada kalian tentang pekerjaan harian, kalian akan selalu gunakan keahlian itu untuk membantu diri kalian sendiri."
West membuka sedikit mulutnya, seakan tertahan sebelum berbicara.
"Ini akan menjadi malam terakhir kalian untuk berada disini. Bapak harap, kalian pulang dengan selamat."
Pak Aaron mengambil perkakas besar. Alat-alat canggih, yang belum pernah kulihat sebelumnya. Pertama kali ditunjukkan pada West dan Erton.
Beberapa bola bulat kecil berwarna abu-abu, gelang kotak seperti pelacak, dan semacam tabung kosong putih dengan tombol-tombol yang tidak kupahami.
"Ambil saja. Itu yang akan membantu kalian."
Semua peralatan telah dijelaskan pada malam itu juga. Sementara di rumah bersama Erton, pada kamar sepi, West telah menyiapkan semua perbekalan dalam satu tas hitam.
Tengah malam membuat bola matanya tetap berjaga. Dia melentangkan seluruh tubuhnya, dengan mengamati plafon bagian atas.
"Apa yang sudah pak Aaron tau?"
HALAMAN DUA
West telah mengeluarkan diri bersama Erton Smith, sahabatnya.
Dua anak laki-laki mengenakan baju hijau dan celana panjang hijau gelap, dengan masing-masing tas hitam, tampaknya diselimuti oleh warga-warga yang melintas.
Lapangan hijau menjadi acara pertunjukan sekumpulan anak muda yang dikumpulkan menjadi satu. Saling bertatap satu sama lain.
Para penjaga atribut lengkap, merapikan pembludakan orang-orang yang melihat kami ini.
"Mau apa disini, astaga." Erton mengelus kening. "Pak walikota juga tidak ada. Pasti dibohongi."
"Sudahlah, pak walikota akan sampai sebentar lagi."
"Kau itu terlalu mudah percaya dengan perkataan kemarin. Aku bahkan tidak bisa kabur dari sini."
"Sudahlah, diam saja." West menepis pembicaraan Erton.
Erton penasaran dengan para penjaga disana apabila ada salah satu anak muda disini, ketahuan mencobloskan dirinya, untuk berusaha berbaur dengan warga lainnya.
West menjadi lebih kebingungan ketika setengah jam berlalu, tetap belum ditemukan pak walikota kesini.
Sejam berlalu agak lama dengan anak-anak lainnya yang mulai membenci keadaan sekarang. Mereka bertekuk lutut, tertawa dengan suara melengking, dan sisanya hanya sibuk melambaikan tangan seperti para fans sendiri.
"Aku sudah bosan semuanya. Kau jangan ikuti aku, West." Erton berkata setelah dia akan mencoba sesuatu yang baru.
"Kau jangan bertindak aneh-aneh, Er." West memperingatkan.
Anak itu tidak mau memasang kedua kupingnya baik-baik. Sangat menjengkelkan apabila dia tidak mendengarkan yang kusuruh.
Erton mengencangkan sepatu boots, merapikan rambut putih, dan bersiap lari. Sementara itu, West juga memperhatikan sikap sahabatnya.
"Satu, dua, go!" rintihan suara tercipta dari Erton.
Anak berambut putih, berlari yang dia bisa. Kecepatan berlari diperhatikan bagi West selama menonton sahabatnya. Ketika sudah hampir mendekati gerombolan manusia di kejauhan, Erton bersikap layaknya orang-orang disana. Menunduk kepala seakan tidak memperhatikan segalanya.
Tapi, dia tetap ditangkap setelahnya. Warna rambut putih yang mencolok, menjadi perhatian bagi dua penjaga yang melintas.
Anak itu tetap ditangkap seperti perempuan tadi. Tidak ada perbedaan diantara mereka berdua dengan sikap itu.
Erton ditempatkan disampingku lagi.
"Bagaimana? Sudah lepas?"
"Jangan tanya."
"Kau pun sudah aneh, Er. Penjaga saja sudah tau dengan rambutmu. Lagipula warga disini tidak pernah memiliki rambut putih. Hanya ada satu anak dan itu kau sendiri. Petugas juga sudah mengenali semua daftar anak-anak yang gabung disini. Kau tidak akan pernah lolos, Er."
Erton menunjukkan wajah kesal. Anak itu merengut sejak penjelasan dariku. Dia tidak mau berbicara denganku setelah ini.
Sampai satu setengah jam terlewati cukup lama, bunyi bising akhirnya terdengar cukup jelas.
Rel-rel kereta seperti muncul begitu saja pada belakang kami semuanya. Secara otomatis. Menandakan bahwa kendaraan kali ini adalah kereta.
Suara roda-roda kereta akhirnya kelihatan dari jarak jauh—West menonton melalui dua matanya. Cukup jelas, cekatan.
Kereta besar berhenti didepan kami semuanya. Pak walikota, bersama lima penjaga di belakangnya, berbaris dan berjalan mengikutinya.
Pak walikota berjalan lebih depan, disusul lima petugas pada sisi tubuhnya.
"Silahkan berkumpul semuanya. Langsung saja untuk mengucapkan selamat tinggal. Waktu kalian hanya lima menit."
Beberapa orang tua dari enam anak-anak mereka, turut masuk ke tengah lapangan. Satu pelukan diiringi tangis isak.
West mengikuti langkah mereka.
"Sayang, berhati-hatilah di sana, ya." Bu Lily melihat bergantian, antara West dan Erton, dan memeluk tubuh dua anak remaja. "Ibu akan selalu berdoa agar kalian berdua selamat di sana." Mengecup kening kami.
Erton tidak bersuara selama dipeluk tubuhnya oleh ibu kami. Sudah seperti ibu kandung bagi Erton Smith.
Walaupun anak berambut putih itu tidak suka berbasa-basi dan melakukan sesuatu menjijikkan, tetap saja luluh kepada pelukan ibu.
Anak laki-laki selalu dekat dengan ibunya.
Timer waktu sengaja ditunjukkan secara hologram kepada kami—pelukan terakhir dengan orang tua masing-masing.
"Kamu memiliki kekuatan melempar yang bagus, West. Mirip dengan ayahmu. Gunakan dengan bijak. Ibu tau kamu kuat dan pasti bisa di sana." Bu lily merangkul tubuh West, sampai anak itu tidak bisa bergerak sebentar.
Akhir dari semuanya, ibu menangis air mata. Basah, mata berkaca-kaca, susah menerima apa yang terjadi sekarang.
Semakin di penghujung waktu, tersisa tiga puluh detik lagi.
Ikatan kencang antara anak-anak dengan orang tuanya sulit dilepaskan ketika masing-masing penjaga meraih tubuh anak-anaknya.
"Kami akan kembali, bu." West membuat senyuman dan memegang pundak West.
Setidaknya membuat ibu agak tenang.
Begitu juga dalam satu detik, tangkapan tangan dua petugas berhasil memegang seluruh tubuh West dan Erton. Kedua anak remaja tadi telah ditarik oleh tangan-tangan petugas. Berjalan menjauhi kedua orang tuanya.
"Ayo pergi," satu petugas menangkap lenganku.
"Cepat bergerak." Satunya lagi menyuruh anak berambut putih menggeret tubuhnya.
West dan Erton berjalan mundur bersama dua petugas yang membawanya, sembari melihat ibunya untuk terakhir kali.
"Jaga dirimu, bu."
West menonton wajah ibunya untuk terakhir kalinya.
Goncangan badan selalu berusaha melepas, tapi cengkraman penjaga jauh lebih kuat dan besar daripada usahanya.
West bergabung dengan kumpulan anak-anak lain yang seumuran dengannya. Menonton mereka saja membuatnya bosan lagi.
"Baik, sudah semuanya." Pak walikota mengecek dalam daftar hologram canggih. "Oke, baiklah. Sekarang silahkan masuk."
West berdiri paling depan, dekat dengan pintu keretam
Pintu belakang dibuka lebar secara otomatis. Dua gerbong disatukan, bersamaan berjalannya mereka didepan. Anak tangga diraih oleh kedua kaki West, mengikuti arah jalan.
Hawa dingin seperti menusuk masuk ke pori-pori kulit. Mengggigil. Kursi-kursi sengaja diposisikan menepi, dengan jarak-jarak agak menjauh. Dua petugas medis ber-jas putih, sengaja berdiri di dalam.
"Ya ampun, yang benar saja." Erton mengomel setelah dirinya dipaksa duduk oleh petugas. Pada sampingku.
Ia tidak mau melihat siapapun selain kekesalan yang diluapkan tadi. Melihat West saja, dia tidak mau, juga deretan anak-anak lain, bersebrangan dengan deretan kami.
Pak walikota berdiri dihadapan kami semuanya, sebelum pintu menutup. Ia merapikan bajunya, sepatu, rambutnya. Kumis tetap dielus tiga kali sebelum mengatakan apapun.
"Selamat berjuang, anak-anak. Hanya ini saja yang bapak bisa berikan sekarang. Tidak banyak, ini sederhana saja."
Setelah menyelesaikan seringkas kalimat tadi, pak walikota menuruni tangga kecil kereta.
Pintu menutup segera, terkecuali rombongan ini. Duduk dan tidak bisa kabur.
Dua petugas berjas putih menyuruh sisa petugas berseragam untuk menurunkan alat semacam penahan tubuh. Seperti rangka tempat duduk yang biasanya dipakai agar orang itu tidak jatuh.
"Aku tidak bisa bergerak." West berkata dengan dirinya.
Bergitu juga dengan penglihatanku, anak muda lainnya, mencoba melepaskan dengan sesuatu yang dia pikir bisa. Erton melakukan hal yang sama.
Dia diam untuk beberapa waktu yang diperlukan.
Kereta bergerak sesuai prosedur masinis. Semua orang berdesak-desakan melambai tangan kepada kami. Terutama ayah dan ibu, menangis kepadaku—West tersenyum kecil.
Dua gerbong kereta bergerak cepat ketika mesin tadi telah dinyalakan.
Begitu juga dengan masing-masing petugas, berdiri di sisi celah kosong, sebagai pengawas ruang dalam, gerbong ini.
Tegang dan dingin, menyelimuti Dua gerbong kereta sejak kereta bergerak pergi, menjauhi kota Dispath. Terlihat kecil ketika orang-orang kami tadi, berkerumun disana. Layaknya gerombolan semut-semut kecil.
Sorot sinar matahari menembus sampai ke bagian dalam gerbong kami. Jendela-jendela ini tidak diberi pelapis untuk menutup apa yang masuk kedalam.
Perasaan cemas, justru datang kembali kepada diri West Bromwich. Dia dijaga ketat dan tidak bisa bergerak.
Disisi lain, aku terus mempertanyakan tentang jantung pusat diantara lima kota ini.
"Seberapa canggih kota itu?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!