4

Anak-anak remaja lainnya telah memasuki pintu abu-abu. West melirik kiri kanan, tepat di hadapan pintu abu-abu.

"Apa gelang ini bisa?" West meragukan alat yang dipakai pada pergelangan tangan.

Sungguh penasaran setengah mati pada dirinya, ketika ia mencoba mengarahkan gelang tadi, ke sebuah layar kecil sebelah kanan.

Pemindai kecil menyala terang, memindai barcode yang muncul dari layar putih gelang. Nomor 07 hijau, muncul pada gelangnya.

"Astaga." West menjauh kecil, ketika pintu telah dibuka. "Benar. Ini dia." Mulut West tidak bisa ditutup lagi.

Napas pendek, dihembuskan secara cepat.

Pertama kali, anak remaja bernama West Bromwich menjejakkan sepatu boots kedalam kamar pribadi.

Desain interior abu-abu cenderung gelap, tentu tidak semuanya gelap tapi terdapat garis lurus sebagai cahaya putih, membentang satu ruangan.

Satu kasur, lemari besar, satu pintu lagi dekat meja belajar dan kursi kerja.

"Paling tidak, masih ada kasur." West melihat satu ranjang kasur, rapat menempel pada dinding.

Tumpukan gerak badan memantul sesering mungkin saat West mencoba menekan sofa ranjang.

West duduk sendiri dalam kesunyian kamarnya. Tidak seperti di rumah sebelumnya, bersama kedua orang tuanya. Juga, Erton, sahabat satu rumahnya.

Kelopak mata semakin berat untuk ditahan. Semakin lama, rasanya mengantuk karena sejauh ini beraktivitas cukup membuabg banyak energi.

Cahaya biru muncul lagi, dari layar gelang. Sontak, rasa kantuk menghilang segera.

"Selamat datang, West Bromwich. Semua kegiatan yang akan anda lakukan, ada pada fitur-fitur gelang ini. Mohon gunakan dengan bijak. Semua barang bawaan milik anda, telah kami letakkan pada kamar masing-masing. Silahkan pakai peralatan yang bisa digunakan. Terimakasih."

Suara wanita menjadi hilang. Disusul cahaya biru mengikuti untuk pergi.

Satu tas hitam yang ditinggalkan dalam gerbong kereta, muncul begitu saja pada kursi kerja.

"Para penjaga melakukan seperti ini. Sudah kuduga, selalu saja mereka tidak ijin kepada pemilik barang kami."

West mengeluarkan kekesalan dan semua muak dengan yang terjadi sekarang. Tempat aneh, sekaligus anak-anak muda yang dibawa, membuat keheranan pada pikiran itu.

West mengarahkan pandangan dengan melihat dua telapak tangan bergaris-garis.

"Apa maksud dari pak Aaron? keahlian? bertahan hidup kami? pembelajaran?"

Setelah semua yang terjadi seperti sekelibat matanya dan pikiran membuat pusing, lelah di punggungnya membuat tubuhnya jatuh mengenai kasur empuk.

"Bugg!"

Anak remaja telah tertidur dalam ketenangan untuk saat ini.

Dalam kelelapan dan keheningan, terekam juga alat yang menempel pada satu sudut ruangan. Infra merah, ditunjukkan langsung kepada anak yang terbaring lemas disana.

Perekam menyala tanpa sepengetahuan West Bromwich.

...***...

West tidak akan tau bahwa kehidupan yang sebenarnya akan dirasakan, setelah ia terbangun dari alam mimpinya.

Getaran gelang menggetarkan lengan kanan West—anak itu terbangun sesak. Mata merah muncul selama dikedipkan.

"Astaga, mengapa ada fitur seperti ini? bukankah tadi tidak ada? mengapa harus sekarang?"

West memencet tombol mati. Ketegangan lengannya membuat urat- urat didalam, menjadi terlihat sedikit.

"Silahkan berganti baju dan berkumpul di kantin sekarang."

Suara wanita menghilang sekejap. Napas lega harus dihirup oleh anak muda yang kebingungan untuk sekarang.

Baju hijau menempel pada badannya saat West berdiri menuju pintu kamar.

"Sebentar." Langkah terhenti, mengecek bagian ketiak. "Aku harus mandi."

Dia berbalik badan, meraih tas hitam, sempat dibawa dari rumah. Semua berwarna hijau, dengan semua model yang sama. Tidak ada pengecualian.

Layar hologram, pada pertama kalinya menampakkan wajah wanita bercepol bersemir rapi.

"Astaga." West berbicara kecil.

"Maafkan saya, West. Namun, kamu tidak diperkenankan memakai baju hijau itu. Silahkan gunakan seragam yang sudah kami siapkan dalam lemari."

West bertanya, "ka-kau tau namaku?"

"Tentu saja, West. West Bromwich enam belas tahun. Hidup dan tinggal di kota Greny, bersama pasangan Winton Bromwich dan Layla Bromwich. Juga, Erton Smith yang selalu tinggal bersama denganmu."

"Kau tau semuanya, huh?"

"Itu benar, West."

West mengangguk. "Baiklah, aku mengerti sekarang. Terimakasih." Jari telunjuk menempel pada satu tombol kotak di bagian tengah-tengah.

Hologram menghilang segera.

West berdiri, setelah mendengar intruksi baru. Jalannya cepat, seperti sifatnya penuh penasaran.

Lemari abu-abu ukuran sedang, terbuka dengan dua tangan. Tumpukan sepuluh baju hitam yang dipisah dengan celana panjang hitam. Lima gantungan set baju hitam tanpa bagian lengan atas, juga ada disana.

"Tidak ada perbedaan disini. Hitam sama rata."

Satu laci lebar, menarik perhatian West Bromwich.

"Sarung tangan? dan apa ini? kain hitam? bisa saja sebagai penutup luka lengan."

Hologram wanita muncul, "cepat, West. Semua telah menunggu."

"Baiklah, aku mengerti."

Laci lebar ditutup paksa dengan dua tangan bergemetar hebat. Lilitan kain hitam dilepaskan begitu saja, juga baju hijau, celana hijau.

Tangannya meraih satu set pakaian serba hitam, menuju kamar mandi, pada sebelah meja belajar.

Semua serba otomatis. Berbeda sangat jauh dari rumah lamanya. Tentu, semua serba hitam. Tersisa satu lampu putih diatas kepalanya.

Pintu bergeser lagi, memunculkan West, telah memakai seragam hitam. Lengan panjang—untuk sekarang dia pakai.

"Baiklah, ayo kita pergi."

Pintu keluar bergeser otomatis. Bunyi bising pintu tadi, membuat kacau di telinganya.

Lorong panjang dan penerangan lampu dengan jarak agak berjauhan, mengantar anak laki-laki tadi menyusuri area lantai satu.

Anak-anak remaja berbeda kota, turut menggunakan pakaian yang sama seperti West. Pandangan sinis, melirik pada diriku setelah keluar dari kamar nomor 07, disusul mencari sesuatu disini.

"Mengapa dengan mereka?" West menatap balik, beriringan mengambil langkah cepat.

Tanpa kecurigaan apapun, West tetap berjalan sesuai arahan dari sang wanita hologram—West sebut begitu.

Dia mendapat sesuatu. Sorot cahaya membuat kepalanya bergerak keatas. Anak-anak lainnya berada pada tingkat-tingkat lantai diatas.

"Benar-benar sangat tinggi." West menyipit matanya sampai mulutnya tak berhenti ditutup.

Dalam menakjubkan yang dilihatnya, West kembali melihat hal lainnya. Dua gadis berbaju hitam, berlari-lari, penuh kebahagiaan.

Getaran gelang, membuat kejutan lagi.

West mengayunkan lengan sebagai olahraga kecil-kecilan, menampar pipinya dan berusaha fokus lagi. "Sadarlah, West. Kau membuang waktu disini."

Dia berjalan lagi. Sepatu boots hitam lamanya, membuat nyaman.

Tombol gelang, dinyalakan. Wanita pengarah hidupnya muncul dengan senyuman tulus.

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Hei, beritahu aku, dimana ruang kantin?"

"Ada pada lantai tiga. Cepatlah bergegas, West." Sang wanita tanpa nama, hilang segera.

Dia mengarahkan pandangan kepada tangga lebar di tengah ruangan. Seperti orang lain, disana.

Sepatu boots berjalan naik pada anak tangga bertemen biasa. Hanya saja, tidak ada pembatas pada sisi samping itu.

Aku menunduk kepala, selama melewati anak-anak lainnya pada samping diriku. Tidak mau berbasa-basi lebih dalam, ataupun mengenal satu per satu anak-anak muda disini.

Kurasa, ini adalah waktu yang pas, sebagai ahli pengawas. West memiliki bakat lain daripada menjadi pelempar orang, yang dibicarakan dari pak walikota sebelumnya.

Sepanjang jalan, dia hanya berusaha mencari satu orang.

"Dimana Erton?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!