5

West berdiri setelah dirinya masuk menemui area kantin. Anak-anak remaja, bercampur mengantri makan siang mereka.

Antrian food section, telah terpilih untuk West Bromwich. Anak itu tidak pandai berbaur dibandingkan anak-anak remaja seumuran dengannya.

Jalannya agak kaku, diperlihatkan orang-orang yang menonton tubuhnya. Baju hitam gagah, semakin menambah kekaguman mereka terhadap West Bromwich, anak baru dari kota Greny.

"Siapa dia?" anak muda dibelakang dirinya, berbisik-West mendengar sekilas, sampai dia tidak tertarik lagi kebelakang.

"Selanjutnya," panggilan ibu kantin, membuatnya harus berjalan cepat.

Satu langkah dimajukan. Satu nampan, berada di kedua tangan, menggeser untuk mendapat makanan.

Satu mangkok sup, satu mangkok kecil nasi pulen panas, dua lauk ayam gepeng bertepung roti, dan segelas air putih, ada diatas nampan miliknya.

West meneliti bangku per bangku kosong. Lesatan mata tidak pernah terlewati untuk mengawasi keadaan.

Lesatan orang-orang pada sekeliling West, membuat keheranan kepadanya. West tetap keras tidak peduli siapa yang melihat dirinya.

Sepuluh baris bangku makan, sebagian terisi dari mereka-mereka yang berkumpul. Berdasarkan rombongan berbagai kota.

"Hmm...," West mendengus sadar bahwa anak berambut putih menyantap makanan sendiri.

Jalannya cepat. Butuh beberapa langkah sampai mengenai tempat duduk Erton.

Baris ketujuh, pada bagian agak menjorok ke tengah. West mengangkat satu kaki, disusul kaki satunya.

Erton melihat sebentar, lantas melanjutkan makan siang yang tersisa sedikit.

"Kau dapat nomor berapa? Fitur gelang tidak mudah untuk melacakmu, Er."

"Sebelas." Erton menjawab sederhana. Memajukan diri dan memakan yang bisa dia habiskan hari ini.

West menyipit mata. "Aneh. Jarak kamar berjauhan, padahal satu kota."

"Nanti tanya yang memberi nomor itu." Erton menancap suapan dan memakannya. Kepala ditundukkan.

West memberatkan kelopak mata. Dia menyudahi percakapan sederhana dengan Erton. Anak rambut putih, tidak suka berbicara terang-terangan.

West juga mengamati sudut-sudut kantin besar. Diantara semua orang yang terlibat disini, empat kamera cctv, merekam aktivitas.

"Seberapa banyak alat itu diletakkan pada seluruh bangunan ini?"

Dirinya terus bertanya-tanya tentang hal itu. Namun, dia tetap kembali meneruskan makan siangnya.

Suapan makan siang, terisi pada perut West selama menyantap sajian pada atas meja. Selama itulah, West terus mengawasi keadaan didepannya.

Saat yang tepat, perempuan berkucir kuda, membuatnya meletakkan pandangan kepadanya.

"Perempuan tadi pagi." West terus memakan makan siang.

Perempuan berseragam hitam, berpostur agak tinggi namun masih kalah dari dirinya, berjalan menemukan tempat makan.

Anak laki-laki berotot kekar sengaja menyenggol bahu perempuan tadi. Nampan penuh, menjadi jatuh berantakan.

"Waaa..." sahut anak-anak, langsung menyorot penglihatan padanya dan anak berotot tadi.

Perempuan tadi menekuk lutut segera. Dia menggerak kepala malas, sembari membereskan ulang yang jatuh.

"Lihat jalan, nona." Anak berotot kekar, berbicara sekarang.

Perempuan tanpa mengenal nama, masih melakukan pekerjaan sialnya.

"Heh, aku berbicara denganmu. Dengar tidak?"

Dia terus melihat bawah. Sorot tajam bola matanya, membuat West sadar dengan kebencian dari perempuan tadi.

Perempuan tadi berdiri lemas. Dia berbalik badan menuju area pembuangan makanan.

"Nona sombong, aku masih berbicara denganmu disini."

Anak laki-laki berotot membuang nampan miliknya, dua kali. Badan perempuan tadi ikut dipaksa melihat kepada laki-laki itu.

Jari telunjuk laki-laki itu, menekan dada kiri atas miliknya. Sampai bergerak mundur karena ulahnya. Dia tidak mau berbicara sepatah kata kepada anak laki-laki tadi.

"Sial, aku terpengaruh olehnya." West berkata sendiri. Suapan terkahir harus dijatuhkan. "Benar-benar anak itu..."

West berjalan cepat, melompat dari bangku tadi-Erton menonton aneh padanya.

"Kau mau apa?" bisik Erton, bersuara ditekan.

"Melakukan sesuatu yang benar." Bibir West digerakkan kecil. "Harus."

Dia membuat kepalan tangan. Disembunyikan di belakang tubuhnya, sebagai rencana cadangan, selama berjalan menuju dua orang, yang bertengkar.

"Hei," West berteriak kepada anak berotot.

Laki-laki kekar berotot menoleh bingung, "ada yang mencampur urusan lagi."

"Ini untukmu." Tonjokan tangan berhasil diletakkan pertama kali kepada wajahnya. Terutama dagu dan pipi.

Ia tersungkur jatuh. Gesekan kulit pipi dengan lantai berdebu membuatnya harus menerima luka gesek. Merah muda.

Perempuan berkucir ikut berjalan mundur. Menahan kelopak mata, penuh ketegangan.

Yang menonton menjadi lebih takjub dengan keahlian dari West Bromwich. Dia berhasil seperti yang diucapkan dari pak walikota saat itu.

"Seharusnya aku tidak boleh membuka kekuatan ini." West berterus terang, "karena dia, aku harus melakukan ini."

Anak berotot berdiri kembali. Memperbaiki dagu, mengelus pelan-tidak percaya perlakuan barusan.

"Bahkan aku tidak bisa tenang makan siang pertama disini."

Dia menajamkan alis. "Anak kecil sepertimu, membuatku marah." Tangan laki-laki berotot meraih tangan West.

Erton bergerak membantu dari tempat duduknya. Berlari setelah anak berotot melayangkan serangan selanjutnya kepada West.

Satu pukulan harus mendarat tepat kepada perut West. Tubuhnya terpelanting menjauh, dengan punggung yang dibungkukkan.

West menahan sesuatu seperti muntah.

Sedikit waktu setelah anak berotot memukul perutnya, aku berbalik menendang bagian area paling rawan, dengan kaki kanan.

Kepala anak berotot, menggeser kepada West.

"Tidak mempan." West menganga sambil melihat tatapan wajah mengerikan.

Erton berlari maju setelah West mundur menjauh. Dia menendang bagian salah satu lutut anak berotot.

Anak berotot menjadi jatuh, usai dikalahkan dari Erton. Selanjutnya menendang bagian dada, berakhir pada meninju kepalanya sampai tersungkur pingsan.

"Dia sudah pergi." Erton memberitahu, bernapas capek.

"Siapa?"

"Perempuan tadi."

Dalam rintih meringkuk kesakitan, West mencari keberadaan perempuan yang sudah dibantunya.

"Dia benar."

Erton melemaskan kedua tangan. Sejauh ini, dia melakukan demi teman satu kotanya dan satu rumahnya. Sebagai balas budi, yang selama ini mempersilahkan anak berambut putih menginap ke rumahnya.

"Jangan tanya lagi." Erton melirik kecil, dan meninggalkan West, yang berdiri bersama anak berotot dibawah.

"Terimakasih." West membuat senyum tipis, tanpa Erton yang melihat langsung.

Kantin mendadak sepi, penuh tatapan di mana-mana. Atmosfer mencekam datang pada perasaan West Bromwich selama berdiri disana.

Tubuhku menekuk lagi, mengambil sisa-sisa makanan yang berhamburan. Karena tidak mau menunjukkan kekesalan, West menutup rapat mulutnya. Berjalan menuju area pembuangan sampah, serta mengeluarkan diri dari sana.

Koridor panjang berlampu putih, telah berjalan West Bromwich. Anak laki-laki tidak mau menonjolkan apa-apa lagi setelah ini.

"Aku bahkan tidak tenang untuk makan sekarang. Keberuntungan yang ditundakan."

Anak-anak pemuda yang sengaja duduk di sela-sela bangunan lantai lima ataupun sisi-sisi pinggir pun, membicarakan sambil melihat anak laki-laki berseragam hitam.

"Tidak nyaman lagi, mereka menatap." Kepalaku menunduk, mengikuti arah lantai. Sesekali menggaruk hidung mancung.

Aku tidak ingin berbicara kepada siapapun. Hanya cara itu, tidak akan menguras tenaga lagi. Berbaur membuatnya muak.

Sorot cahaya mengenai tubuh West-laki-laki berjalan menghindari bulatan putih kekuningan.

Tangga lebar dijalani bagi West. Menuruni cepat tanpa banyak waktu. Rasa nyaman sepatu boots yang belum digantinya, tidak bisa dilepaskan.

Lantai empat, tiga, dan dua, akhirnya berdiri West Bromwich. Tersisa satu lantai kebawah menuju kamar pribadi nomor 07.

Dalam kepalanya yang menunduk, terlihat sepasang sepatu boots hitam, sengaja berdiri, berhadapan dengan ujung sepatu boots milik West Bromwich.

"Aku ingin berbicara denganmu." Suara perempuan ringan dan lembut, terdengar pada kedua kuping West.

West menjadi mengangkat kepala, meneruskan menatap langsung wajahnya.

Alis yang dikerutkan, bergerak mendekat satu Sama lain, membuat kecurigaan untuk perempuan yang pertama kali ditemuinya.

"Kau mau apa?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!