Seminggu telah berlalu. Keterlibatan ku secara tidak sengaja di dunia Lisa yang hampir menyeret ku dalam kerumunan yang sungguhlah tidak penting itu mulai mereda dan aku mulai menghilang dari sorotan pencarian mereka secara perlahan. Tulisan rumah kosong yang ku tempelkan masih kokoh menjaga rumahku dari serangan kesia-siaan waktu yang bisa dicegah untuk tidak datang. Sebagian orang di komplek pun akhirnya juga tahu rahasia yang mulanya antara aku dan Pak Su saja yang tahu. Itu tidaklah mengapa memang begitulah baiknya. Mereka juga maklum dengan alasanku melakukannya.
Di hari minggu itu seseorang datang mengunjungi rumahku. Seorang perempuan yang masih belum melepaskan helmnya mengetuk pintu berulang-ulang. Awalnya aku pun mengacuhkannya. Tapi tidak saat dia mulai memperkenalkan dirinya.
“Ayolah om. Aku tahu pasti om ada dirumahkan?”, katanya.
Suaranya mungkin berbeda. Terdengar lebih berat jika dibandingkan dengan ketika ia kecil dulu. Tapi aku paham betul nada bicara siapa itu.
“Sudahlah. Tidak ada orang di rumah”, sahutku.
“Ini Lisa om”, sahutnya setelah sedikit tertawa dengan candaku.
Lantas aku pun membuka pintu untuknya.
Tinggi anak ini sekarang sudah sama denganku. Penampilannya dengan gaya bak anak zaman sekarang yang serba ketat. Usianya yang sudah remaja beranjak memasuki ambang pintu usia dewasa. Biasanya disinilah momen-momen yang akan menentukan bagaimana dia nanti kedepannya. Masih tersisa wajah-wajah kecilnya dulu di perwujudannya yang sekarang.
“Kamu mau apa ke sini? Sendirian lagi.”
“Mau jenguk om. Aku sudah dari dulu ingin main ke sini. Kebetulan aku sedang ada di sekitar sini om. Jadi sekalian saja.”
“Memangnya aku sakit dijenguk?”
Aku sengaja tidak menanyakan alasannya. Aku juga tidak ingin membahas masalah perhantu-hantuan dengannya. Pastinya itu menjadi topik yang sangatlah membosankan jika dibicarakan.
“Om tidak mau ambilin aku minum Om.”
“Itu”, aku menunjuk ke arah dispenser.
Dengan muka manyun Lisa menuju tempat dispenser dan hendak mengambil segelas air putih untuknya.
“Sekalian boleh”, kataku. Lisa kembali duduk ke kursi ruang tamu tempat obrolan kami berdua dengan membawa dua gelas air putih.
“Nah gitu. Terimakasih”, kataku.
Kami berdua menghabiskan waktu yang cukup lama untuk mengobrol membicarakan masa-masa dia dulu menjadi tetanggaku. Betapa ini dan itunya Lisa mengenang waktu dulu. Ketika ia berbicara dan bercerita tentang kemampuannya dan bagaimana dulu dia berada di sini dengan segala kisah-kisah mistisnya. Aku hanya memasang muka oya-oya saja mengiyakan semua ceritanya. Aku lebih tertarik dengan apa yang sedang ia kerjakan kini. Satu tipikal dengan Susi anak ini jika sudah berbicara sama sekali tidak ada remnya. Ketika aku mencoba untuk masuk dalam pembicaraan baru saja kalimat pembuka perkataanku langsung dipotongnya dan sama sekali tidak digubris.
“Aku ke kamar mandi dulu ya om.”
“Itu di sana”.
Lisa kembali dari kamar mandi. Aku mendengar suara tawa yang sudah jelas itu adalah tawa milik Lisa. Berjalan menuju kembali ke ruang tamu suara tawanya makin jelas dan tak tertahan. Sampai duduk pun ia masih tertawa begitu senangnya.
“Kamu kerasukan setan komedi?”, tanyaku sinis.
Lisa mencoba menahan tawanya untuk kemudian berbicara. Aku sejatinya juga sudah tahu apa penyebab dia tertawa hingga sebegitu nya.
“Om ngefans sama aku ya Om??!”, Lisa sambil menunjukkan buku karyanya yang sedari tadi ia pegang. Aku yakin dia menemukannya ketika dia tadi berjalan menuju ke kamar mandi. Aku hanya memasang muka pasrah saja ketika dia habis-habisan membuatku jadi bahan candaan nya.
“Yah si om sok cuek”, terus saja dia mencecar ku.
“Ini om aku tanda tangan ya?”, sambil ia mengeluarkan pulpen dari tas selempang kecilnya.
Aku meniggalkan Lisa di ruang tamu dengan sisa-sisa tawanya dan juga air mata kebahagiaanya. Aku kembali ke ruang tamu dengan makanan yang aku ambil dari kulkas. Yang ada saja aku sajikan untuk kami berdua.
“Ini makan dulu.”
“Iya om”, katanya dengan masih menyisakan sisa-sisa kekekehannya.
Setelah kami menyelesaikan cemilan-cemilan yang aku suguhkan aku pun segera menyuruh Lisa untuk pulang.
“Sudah sekarang kamu pulang dulu sana. Sudah menguning begitu langitnya.”
“Habis magrib ya om?”
“Apaan kamu anak perempuan bertamu sampai malam-malam?”
“Kalau tidak mau pulang aku panggilkan satpam ya?”
“Jahat om. Pelit.”
“Besok kapan-kapan bisa main ke sini lagi. Aku juga yakin kamu pasti tidak bilang sama ibumu kalau kamu mau ke sini”, Lisa menjawab tuduhan ku dengan memanyunkan bibirnya.
“Lagian besok kalau kamu ke sini temanmu diajak. Jangan dipinjam motornya saja orangnya tidak diajak.”
“Kok om tahu kalau aku pinjam motor teman aku?”
“Aku tahu motor itu karena beberapa kali melihatnya di sekitaran lingkungan sini. Sekarang aku jadi tahu kalau pemilik motor itu adalah juga teman kamu.”
“Memang om sampai hafal plat nomornya?”
Aku hanya mengangkat kedua bahu dan lenganku. Ku tunjukkan muka penuh kesombongan. Setidaknya itu balasan untuk tawanya yang tiada berhenti itu. Padahal tentang buku yang dibangga-banggakannya itu aku hanya baru membacanya beberapa halaman saja. Untuk kesenangannya aku iya-iyakan saja.
Lisa pun pamit untuk pulang ke rumah temannya terlebih dahulu. Rumah temannya tidak jauh dari komplek perumahan ini. Teman barunya inilah yang dijadikannya alasan untuk bisa sampai berkunjung ke rumahku. Rupanya ia menitipkan mobilnya di rumah temannya. Katanya ia tidak ingin ada yang melihatnya kembali ke lingkungan ini. Aku tidak ambil pusing dengan itu semua. Biar saja dia melakukan apa yang ingin dilakukannya.
Ketika hendak pamit ia maju ke arahku dan menjabat tanganku serta mencium punggung tanganku dengan keningnya. Aku menahan tawa melihatnya berperilaku seperti itu meski memang seharusnya harus seperti itu. Ada akhlak juga anak ini pikirku.
“Ngeledek ya om”, Lisa dengan tatapan sinis nya.
“Hati-hati ya. Tidak usah membalap”, ibu jarinya menjawab pesanku.
Lisa sudah berada di atas motor.
“Lisa. Besok-besok kalau ke sini bawa apa-apa gitu. Jangan tangan kosong. Kan artis”, gurauanku kepada Lisa.
Kini bukan jempol OK yang ia isyaratkan. Tapi lidahnya yang menjulur ke arahku.
***
Banyak hal yang aku dan Lisa perbincangkan waktu itu. Atau lebih tepatnya yang ia ceritakan kepadaku dan aku berkesempatan sesekali saja menanggapinya. Tentang ibunya Susi yang menikah lagi. Ayah angkatnya yang adalah seorang yang bekerja di bidang entertainment sama seperti dengannya. Begitulah awal mula pertemuan antara Susi dan ayah angkat Lisa. Lisa juga bercerita bahwa dengan adanya sosok seorang ayah yang baru yang sebelumnya sudah akrab dan klop dengannya berdampak juga pada ibunya yang menurut intuisinya sekarang mengalami banyak perubahan yang tentunya menjadi lebih bahagia ketimbang sewaktu ia sendiri.
Ia sekarang masuk semester satu dimana sama seperti ibunya ia juga mengambil jurusan psikologi. Teman yang kemarin dipinjam motornya untuk berkunjung ke rumahku adalah teman kuliahnya yang tempat tinggalnya tidak jauh dari komplek tempat tinggalnya dulu. Apakah kebetulan semata sehingga dia bisa dekat dengan temannya yang tinggal di daerah sini ataukah Lisa punya maksud tertentu. Terkadang antara kreatif dan curang bercampur aduk hanya berbeda pelafalannya saja.
Yang paling tidak kusangka dari pembicaraan kemarin dengan Lisa adalah ketika ia menceritakan bahwasanya sakit yang ia derita adalah bagian dari dunianya saja. Ia sama sekali tidak sakit apa-apa. Ia menjelaskan dengan bijaknya bahwa hal semacam itu wajar dilakukan oleh orang-orang di lingkungannya. Lisa sungguh-sungguh mengatakannya tanpa ada perasaan bersalah secuil pun. Aku paham dari mana dia mendapatkan kalimat-kalimat dan pemahaman seperti itu. Meski terkejut aku tidak memikirkan terlalu jauh bagaimana sikapnya itu. Entah bagaimana suatu saat nanti pun itu juga bukan persoalan dan urusan bagiku. Percakapan itu hanya sebatas layaknya bertukar kabar saja bagi kami. Aku penasaran bagaimana sikap Lisa jika ada seseorang yang memberikannya saran atau sekedar menyanggah argumennya yang datang dari luar lingkarannya sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments