Si PEMBERANI

Sudah kuduga sebelumnya bagaimana tingkah anak kecil ini dilihat dari kesehariannya. Suaranya yang lantang dan ceplas-ceplos ketika berbicara serta sikapnya yang nampak pemberani namun arogan. Mungkin mengingat usianya yang masih kecil kata arogan tidaklah tepat untuknya.

Hari itu di minggu pagi ketika aku membuka pintu garasi untuk membersihkan barang-barang daganganku yang setiap beberapa minggu sekali aku bersihkan dan aku cek kondisinya. Tepat di satu minggu aku memiliki tetangga baru. Kesunyian dan ketenangan menjadi agak berkurang dengan suara aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan. Aku amati di pagi itu kondisi rumah mereka masih sepi belum ada suara sama sekali.

“Lagi apa om?”

Tiba-tiba saja suara anak kecil yang sudah aku hafal itu mengagetkanku.

“Kamu datang dari mana? Bikin aku kaget saja. Nanti kalau kepala sama kakiku misah gimana?”

“Yah si om bercandaannya zaman dulu.”

Cukup menyenangkan juga anak kecil ini untuk diajak ngobrol pikirku.

“Kamu memang tidak sekolah?”

“Retoris om.”

Jawabannya senantiasa membuatku tersenyum untuk anak seumurannya.

Lisa menjadi teman ngobrol ku hari itu. Perbincangan kami cukup seru. Bisa dibilang Lisa juga merupakan seorang anak yang kritis. Segala sesuatu yang ia ingin tahu selalu ia tanyakan. Tapi setelah hampir satu jam dengannya kupingku pegal juga.

Melihat kepolosan anak kecil ini aku tidak sampai hati untuk menanyakan dimana ayah anak ini. Takutnya aku bisa saja mengubah moodnya yang sedang dalam keadaan senang menjadi sedih begitu saja. Aku akan menanyakannya kalau dia sudah benar-benar nyaman berbicara denganku.

***

Beberapa minggu sekali aku jadwalkan untuk membersihkan halaman depan rumah. Meskipun sudah disemprot obat anti rumput rumput-rumput liar tetap saja suka tumbuh dimana-dimana. Setidaknya itu juga bisa menjadi aktivitasku untuk sedikit berolahraga sekaligus juga berjemur di hangat matahari yang masih pagi.

“Memang mama kamu tidak menegur mu kalau keseringan main sama orang asing?”

“Enggak. Kata mama om orangnya baik. Aku juga tahu kalau om orang baik.”

“Kamu tahu darimana?”

Lisa sempat berpikir sejenak sebelum akhirnya ia juga tidak kunjung memberikan jawaban atas pertanyaanku.

“Rocco kemana Om?”

“Sekolah.”

Jawabanku berhasil membuatnya tertawa.

Aku dan Lisa cukup akrab untuk menjadi teman mengobrol. Sedangkan dengan ibunya aku hanya sekedar bertegur sapa sekenanya saja ketika kami tidak sengaja harus berpapas muka. Meskipun anak kecil ini sudah nyaman berbicara denganku tapi ada saja hal yang unik yang menjadi kebiasaannya yang bahkan menjadi sebuah hal yang cukup lucu bagiku. Lisa masihlah enggan untuk masuk ke dalam rumahku. Ketika aku menanyakan alasannya ia pun hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum-senyum. Sesuatu yang aneh bukan? Atau mungkin tidak karena dia hanya seorang anak kecil.

Kami duduk di bangku di teras di depan rumahku. Kami berdua makan eskrim yang terkemas dalam mangkuk kecil. Aku bukanlah penggemar eskrim. Aku sengaja membelikannya untuk Lisa. Serupa dengan kebaikannya yang terkadang datang ke rumahku untuk sekedar membawakan ku makanan-makanan yang menurut pengakuannya ia buat sendiri. Aku pun selalu berpura-pura percaya jika makanan yang ia bawa adalah hasil masakannya sendiri. Pernah suatu hari aku menyanggahnya mana mungkin anak kecil bisa membuat makanan serapi dan seenak seperti yang ia bawa. Akibat dari pertanyaanku aku mendengarkan penjelasannya yang panjang lebar yang disampaikannya dengan penuh kengototan.

Memang anak kecil yang masih polos dengan hati dan pikiran yang masih bersih punya keistimewaannya sendiri. Mereka menjadi cerminan darimana mereka berasal dan seperti apa mereka dibentuk oleh lingkungan dan orang-orang di sekeliling mereka. Ada anak yang begitu tertutup dan hanya mau bermain dengan anak-anak sebayanya yang sudah dikenalnya. Ada juga sebaliknya yang seperti Lisa yang bisa begitu dekat dengan orang yang umurnya jauh darinya sepertiku.

Bangku yang terbuat dari besi yang terdapat di teras rumahku punya cerita dengan Lisa. Bangku yang ku cat warna hijau tua. Beberapa hari sebelumnya aku niatkan untuk mengecat ulang bangku itu dengan warna yang sama karena tampilannya yang sudah usang. Catnya sudah mengelupas sehingga memperlihatkan warna coklat hitam besi dari bangku tersebut. Akhirnya tibalah hari dimana aku mengecat bangku yang meskipun sudah berumur tapi untuk kekokohannya masihlah terjaga kuat. Hanya penampilannya saja yang terlihat begitu buruk.

Naas bagiku saat itu ketika aku sudah menyelesaikan mengecat bangkuku. Matahari bersembunyi. Akan membutuhkan waktu yang lama tanpa bantuan sinar matahari untuk mengeringkan cat baru yang lumayan tebal ini.

Akupun membereskan alat-alat dan juga cat yang baru saja aku gunakan. Ternyata ukuran cat yang aku beli terlalu banyak untuk bangku yang hanya muat untuk dua orang dewasa ini sehingga cat pun masih tersisa setengah wadah lebih.

“Waaargh....”, suara raungan yang berhasil mengagetkanku.

Entah darimana datangnya anak ini. Ia selalu saja berhasil mengendap-endap tanpa diketahui sebelum kemunculannya. Setelah aku membalikkan badan dan berpaling padanya seketika tawaku pecah. Lisa memposisikan dirinya duduk di bangku yang baru saja aku selesai mengecatnya. Mungkin karena saking hati-hatinya ia fokus untuk mengagetkanku hingga ia tidak memperhatikan sekitarnya termasuk cat yang masih basah itu.

Lisa yang semula begitu senang karena bisa mengejutkanku kini berubah bingung ketika melihatku tertawa bahagia. Ia mengangkat kedua bahunya tanda tidak mengerti. Aku mengambil kaleng cat yang sudah kututup rapat lalu membukanya. Aku perlihatkan kepada Lisa. Ia langsung terperanjat dari tempat duduknya. Ia memegang pantatnya dengan kedua tangannya. Ekspresinya begitu kesal melihat kini kedua telapak tangannya berubah menjadi hijau tua. Aku pun semakin tertawa dibuatnya.

“Lisa.”

“Kamu Hulk?”

Aku mengencangkan tawaku.

Ketika aku tertawa hingga mataku tertutup aku kecolongan. Tiba-tiba saja Lisa mengusapkan kedua telapak tangannya yang berlumur cat ke bajuku kemudian ia berlari menuju ke rumahnya dengan tertawa membalas semua tawa ejekan ku.

Bagiku tidaklah apa bajuku kotor seperti ini karena cat yang tadi diusapkan oleh Lisa. Ia sekarang sudah mulai berani dan terbuka untuk bercanda denganku. Memang seperti itulah anak kecil ketika sudah merasa nyaman dan mendapatkan kepercayaan. Ia bisa menjadi terbuka dan begitu lepas. Meski terkadang ada yang bilang itu terlewat batas dan tidak sopan. Tapi dengan adanya kontrol dan cara penyampaian yang baik semua itu bisa diterapkan sesuai dengan porsinya. Kini Lisa pun sudah tak malu ataupun sungkan lagi untuk dekat denganku.

Sejak kejadian bangku cat hijau itu Lisa dan aku menjadi semakin dekat. Layaknya seorang teman yang sudah akrab kami pun silih berganti untuk bercanda satu sama lain. Pernah di suatu pagi ketika ia datang ke rumahku dengan membawa makanan yang katanya dititipkan oleh ibunya untukku. Ia juga membawa pesan terimakasih dari ibunya karena telah mengizinkan anaknya sering bermain denganku. Aku pun membalas pernyataan Lisa dengan santai dan menyuruhnya untuk tetap tidak perlu formal-formal seperti itu. Setelah anak kecil itu cukup berbincang denganku ia pun pamit untuk pulang karena akan pergi bersama ibunya katanya. Dari awal pembicaraan Lisa sudah menyusun kalimat demi kalimat dengan argumen yang begitu jelas dan ia sampaikan dengan begitu polos. Aku tertipu. Ketika aku membuka bingkisan yang ia bawa ternyata isinya kosong. Entah aku sudah tergiur dengan khayalan apa yang dia bawa ketika pertama kali aku melihatnya dan juga aku termakan dengan mantra-mantranya. Bahkan aku juga belum sadar ketika aku membawa bingkisan kotak kardus itu yang begitu ringan.

Aku sama sekali tidak ada masalah dengan kejahilan-kejahilannya. Terkadang aku dibuat terkesan dengan tipu muslihatnya yang berhasil mengelabuiku. Aku pun juga terkadang mengerjainya. Dan yang bagus diantara kami adalah baik Lisa maupun aku bisa saling memaafkan dan memaklumi konteks bercanda kami. Namun aku sering berpesan padanya bahwasanya apa yang dia lakukan atau pun aku lakukan belum tentu bisa diterapkan kepada orang lain. Makanya aku menyuruhnya untuk berhati-hati dan melihat siapa lawannya meskipun itu hanya sekedar gurauan belaka.

Lisa mengendap-endap di depan rumahku. Ia kesana-kemari mencari celah untuk mengintip situasi seperti apa yang terjadi di dalam rumahku. Mungkin ia juga kesal kenapa di hari minggu yang sudah tidak pagi lagi aku juga belum bangun. Aku memang bangun agak terlambat dari biasanya. Itu dikarenakan aku harus menonton pertandingan tim favoritku yang disiarkan jam dini hari. Tapi aku sudah bangun beberapa menit sebelum Lisa datang dengan suara langkah-langkahnya yang mondar-mandir di depan rumahku. Rocco pun belum bisa keluar karena memang semua pintu dan jendela masih tertutup rapat. Tiba-tiba saja sebuah ide untuk bercanda dengannya muncul di kepalaku.

Baru kemarin aku membersihkan gudang karena memang sudah lama sekali aku tidak pedulikan. Aku teringat akan sebuah manekin yang ada di gudang. Manekin perempuan setengah badan tanpa kepala dan juga tanpa lengan yang dahulu biasa digunakan untuk menaruh baju-baju. Aku mendadani manekin itu dengan kain serba putih lalu aku juga memasangkan wig berwarna hitam di bagian atas kayu penyangga manekin itu. Aku menaruhnya di dekat jendela di ruangan depan rumahku dimana sama persis seperti dugaanku Lisa akan mengintip dari salah satu jendela yang ada di depan rumahku.

Lisa masih mondar-mandir untuk mencari celah dari gorden jendela yang mungkin bisa ia jadikan sarana untuk melihat ke dalam. Ketika Lisa mendekati jendela yang di dalamnya sudah aku taruh manekin aku membuka gorden itu dengan begitu cepat hingga terdengar bunyi roda-roda yang menggantung di rel gorden.

“Aaa....”

Diluar dugaanku Lisa hanya berteriak lirih tanpa terperanjat dan tanpa histeria yang berlebihan. Kemudian aku pun memunculkan wajahku di cermin jendela dengan cara menempelkannya dengan menekan hingga terlihat seperti penyok. Ia pun tertawa sambil menunjuk-nunjuk ke arahku. Ternyata kali ini percobaan ku gagal.

Terpopuler

Comments

Kepo Banget

Kepo Banget

Baaa

2024-02-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!