Malam itu sudah lewat dari jam sembilan. Aku ingat betul saat itu aku sedang menyaksikan acara variety show favoritku di televisi. Hujan deras disertai angin yang lumayan kencang membuat suara pohon-pohon bisa terdengar sampai ke dalam rumah. Suara ketukan yang keras pada pintu rumahku membuatku kaget. Ada urusan apa sudah larut malam dalam kondisi hujan seperti ini bertamu? Dari cara mengetuknya aku tahu itu bukanlah Pak RT atau pun satpam komplek. Aku sudah hafal bagaimana adab mereka ketika datang ke rumah warganya. Aku mengabaikan suara ketukan yang terus menerus dan semakin kencang itu. Jika keesokan paginya aku harus bertemu dengan orang yang mengetuk pintu rumahku itu alibi ku adalah tidak mendengar. Dan ternyata setelah ku acuhkan ketukan itu berhenti.
Aku terkejut. Secara spontan aku menoleh ke arah jendela samping rumahku yang bisa aku lihat dengan jelas dengan posisiku yang sedang duduk menonton televisi di ruang tengah. Meskipun aku sudah menggunakan lampu tidur rupanya cahaya dari televisi 42 inch ini yang telah mengundangnya. Tidak bisa lagi ku mengelak panggilan itu. Aku yakin ketika aku tadi menoleh ke arahnya orang itu pun bisa melihat gerakanku dari luar tempatnya berdiri. Melihat melalui jendela dan gorden tipis bermotif bunga-bunga yang berlubang-lubang. Aku lantas mendekatinya. Belum aku sibakkan gorden ku aku pun sudah tahu siapa orang yang dari tadi menggedor-gedor pintu rumahku. Si Tua Burhan. Ada keperluan apa si tua bangka ini mengusikku di malam hari?
Aku seolah terkejut ketika gorden jendela aku sibakkan dan mendapatinya di luar rumahku. Aku pun hendak bergegas menuju pintu depan rumah untuk membukakan pintu. Tapi Burhan kemudian mengetok jendelaku dan memberikan isyarat untuk lewat pintu belakang saja. Aku pun mengiyakan permintaanya.
Aku membawa dua gelas teh panas ku taruh di meja ruang tamu. Burhan sedang mengeringkan rambutnya yang sudah mulai jarang dan juga badannya dengan handuk yang aku berikan padanya. Wajah tuanya begitu panik. Selama aku mengenalnya baru kali ini aku melihatnya begitu cemas seperti sangat ketakutan.
“Mas aku malam ini numpang tidur di rumahmu dulu ya?”, katanya membuka pembicaraan.
“Ini darurat. Kalau tidak genting seperti ini aku tidak mungkin sampai di sini. Hanya kamu yang aku kenal dengan baik di komplek ini.”
“Memang situasi darurat seperti apa Pak?”, menanggapi permintaannya.
“Ini antara hidup dan mati”.
Aku dibuat terperanjat dengan kata-katanya.
“Tidak perlu kaget seperti itu. Ini masalah rumah tangga”, candanya.
“Diminum dulu tehnya Pak”, aku mencoba tenang.
“Istriku mau datang. Dia mencari ku sampai ke rumahku yang di sini. Dia benar-benar pencemburu berat. Kecurigaan-kecurigaannya benar-benar merepotkan ku saja. Sudah empat hari aku tidak pulang. Aku sudah jelaskan kalau aku ada keperluan di luar kota. Tapi menurut informasi dari orang-orang ku di rumah ia tetap nekat mau mencari ku. Dan sekarang dia sedang menuju kemari.”
Jawaban Burhan sedikit melegakan ku. Aku sudah panik jika dia terlibat perkara kriminal dan permasalahan pelik lainnya bisa-bisa aku turut disertakan. Syukurlah ini hanyalah masalah ia dengan istrinya mengenai kelakuan hidung belangnya.
“Mas. Apa kamu tidak punya alkohol?”
Meski tidak terlalu terkejut aku cukup ternganga dengan pertanyaan Burhan yang tanpa tedeng aling-aling.
“Saya sudah berhenti dari lama Pak”,
jawabku. Aku sebenarnya sama sekali tidak pernah dan memang tidak suka dengan mabuk-mabukan. Jawabanku itu hanya untuk memastikan dia tidak melanjutkan pertanyaannya menjadi sebuah bujukan yang panjang lebar. Bahkan merokok pun aku tidak.
“Ah sini mas. Ayo ikut lihat.”
Pak Burhan mengajakku untuk melihat dari jendela ruang tamu rumahku. Mobil istrinya baru saja tiba. Aku pun ikut mengintip apa yang terjadi di rumah Pak Burhan yang berada di seberang rumahku. Kami bisa dengan leluasa mengamati apa yang sedang terjadi tanpa harus takut ketahuan karena memang sejak awal Pak Burhan memintaku untuk tidak menyalakan lampu ruang tamu rumahku. Aku melihat si tua Burhan kegirangan ketika melihat istrinya yang berbadan besar penuh amarah tampak mengacak-acak rumah yang hanya terdapat seorang supir dan beberapa teman wanitanya tanpa mendapatkan dirinya di sana.
“Aku benar-benar berterimakasih sama kamu mas. Coba kalau kamu sudah tidur aku pasti sedang di luar kedinginan.”
“Ini untuk kesekian kalinya aku mengorbankan supirku. Aku mengkambing hitamkannya seolah-olah dialah yang sedang berfoya-foya dan main perempuan dengan memanfaatkan fasilitas yang telah aku percayakan padanya. Memang terdengar kejam bukan? Tapi aku membayarnya mahal untuk itu. Dia hanya harus kuat-kuat saja ketika menerima makian dari istriku. Unjung-ujungnya pun dia nanti akan ku bela dan ku pertahankan sebagai supir pribadiku dengan berbagai embel-embel alasan.”
Penjelasan liciknya ia sampaikan dengan penuh kebanggaan seolah-olah itu adalah sebuah ide mulia yang brilian yang telah berhasil selama ini ia eksekusi dengan begitu rapi.
“Mas kalau kamu mau. Tapi jangan tersinggung ya? Ditemani satu atau dua orang bisa bilang padaku. Hitung-hitung budi baik sesama tetangga”, si tua Burhan menawariku. Aku hanya tertawa membalas tawarannya.
Setelah mobil istrinya pergi Pak Burhan pun meminta izin untuk menginap di rumahku. Ia ingin pulang besok pagi untuk keadaan yang benar-benar aman dari sweeping yang dilakukan oleh istrinya. Aku pun menawarinya untuk tidur di kamar kosong tapi ia lebih memilih untuk tidur di sofa tamu dengan tambahan bantal dan juga selimut.
***
“Mas menurutmu bagaimana tetangga baru kita itu?”
“Aku rasa baik-baik saja Pak. Anaknya sedikit hiperaktif.”
“Aku tidak menanyakan anaknya. Bagaimana dengan Susi?”
“Ah ternyata Pak Burhan sudah berkenalan dengan mereka?”
“Coba saja dekati mas. Dia itu jinak-jinak merpati. Aku sudah terlalu tua untuk hal-hal seperti itu. Aku yang langsung-langsung saja, ha ha ha ha....”
Aku terkekeh mendengar saran dari Pak Burhan.
“Memangnya dia sudah tidak punya suami Pak?”, tanyaku menyelidik.
“Aku pun belum sempat sampai ke pertanyaan itu ketika berbincang dengannya. Tapi dia dengan bahasanya sudah menutup jalan untuk pertanyaan-pertanyaan seperti itu.”
“Aku pun demikian pak Burhan. Hanya sesekali saja bertegur sapa dengannya. Tapi terkadang aku suka melihat ada laki-laki yang berkunjung.”
“Kalau itu bukan urusanku mas. Dari sudut pandang orang yang hidup dalam dunia sepertiku. Meskipun samar-samar aku bisa melihatnya.”
Aku mengangkat kedua bahuku tanda tak mengerti apa maksud dari kalimat yang baru saja diucapkannya. Aku menyeruput kopi yang sedari tadi kami acuhkan.
“Kita ini memang unik. Sudah posisi rumahnya menyelinap dari rumah-rumah yang lain penghuni rumahnya pun punya rahasia-rahasianya sendiri-sendiri.”
Aku dan Pak Burhan sama-sama tertawa menanggapi pernyataannya.
Jikalau si tua Burhan saja tidak begitu peduli dengan silsilah keluarga tetangga barunya apalagi aku. Tidak ada alasan untukku untuk menelisik lebih jauh tentang sebuah informasi yang memang sengaja disimpan oleh pemiliknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments