CEKREK
Mayra sadar satu kilatan kamera tengah menangkap dirinya. Ia lihat Rendra sedang mengarahkan kameranya pada danau yang membentang luas di hadapannya.
Mereka kini sedang berada di lahan luas sebuah tempat wisata. Danau Biru namnanya. Danau yang membentang sejauh mata memandang dengan lahan hijau yang asri dan pohon-pohon pinus di sekitarnya. Nyaman sekali berada di sana. Danau hijau kebiruan yang riak kecilnya bergemuruh berkejaran dengan angin yang sejuk. Di seberang danau menjulang bukit-bukit kecil menambah indahnya pemandangan. Mayra tadi duduk pada sebuah kursi kayu di bawah pohon pinus menikmati suasana.
"Kamu tadi motret saya?" Mayra kini sudah berada di samping Rendra.
"Hm??" Rendra menghentikan aktifitasnya.
Mayra menunjuk kamera yang dipegang lelaki di hadapannya dengan lirikan mata.
"Saya? Motret kamu? Tidak. Saya hanya tertarik memotret sesuatu yang indah-indah saja. Memang kamu indah?"
Mayra mengangguk sinis tak percaya. Ia yakin sekali kilatan cahaya kamera Rendra tadi menangkap dirinya.
"Mau saya potret?" Rendra menawarkan.
"No, Thanks. Kerja yang benar!"
Mayra memalingkan badannya dan berjalan menuju Lina. Temannya itu sedang asyik memoles dan merapikan makeUp si calon pengantin.
Tim mereka sedang dalam proyek prewedding saat itu. Kedua calon mempelailah yang memilih tempatnya, Danau Biru. Katanya, siapa saja yang mengikat janji di danau itu, cintanya akan abadi selamanya. Dan Mayra yang tak percaya mitos, hanya mengangguk saja untuk menghargai saat calon pengantin wanita menceritakan hal itu padanya.
"Perlu bantuan?"
"Haha. Tidak!!! Terimakasih." Lina tertawa. Ia hapal betul bahwa temannya itu sama sekali bukan orang yang tepat untuk memberi apalagi dimintai bantuan dalam hal itu. Mayra tidak pandai berdandan, memakai lipstik pun jarang merata, apalagi untuk menggambar alis.
"Hahaha." Mayra memang tidak ahli dalam merias wajah. Tapi untuk mendekor ruangan dan memilih pakaian yang cocok untuk mempelai, dia ahlinya.
DRTTT DRTTTT.
Ponsel Mayra bergetar. Ia sengaja mengubah pengaturan ponselnya dalam mode getar saat dia tengah bekerja. Di layar ponselnya tertulis 'My Azka'.
📞 "Iya, sayang," Ucap Mayra langsung mengusap layar ponselnya.
📞 "Selesai jam berapa hari ini?"
Suara di seberang menjawab dengan pertanyaan, yang tak lain adalah Azka, suaminya.
📞 "Sepertinya sampai maghrib, Yank. Masih ada satu kostum lagi soalnya."
Matahari mulai menjingga. Angin semeliwir menggoyangkan daun pinus menari lembut. Mayra menghirup udaranya, sejuk. Rasanya ia ingin tinggal di sana saja.
📞 "Kamu sudah di rumah?" Mayra memastikan.
📞 "Huum. Ini baru saja sampai. Anggun tidur."
Azka memandang putri kecilnya yang belum genap berusia satu setengah tahun itu.
📞 "Sudah makan?" Mayra menghawatirkan suaminya yang terpaksa mandiri itu. Karena keduanya sama-sama sibuk dengan perkerjaan masing-masing setiap harinya.
📞 "Sudah. Tapi belum."
📞 "Hah? Maksudnya?"
📞 "Aku sudah makan masakan bibi. Tapi masakan kamu belum. Hehe."
📞 "Hehehe, belum kapok juga yaa makan garam ditumis?"
📞 "Hahaha." Azka tertawa. Sudah empat tahun ia menikah dengan wanita yang sedang ia telepon itu, tapi bisa dihitung berapa kali Mayra pernah memasak untuknya.
Azka memang tidak masalah dengan istrinya yang tidak pandai memasak. Namun tetap saja, dalam hatinya ia ingin istrinya itu memasak untuknya, walau dengan rasa keasinan setiap harinya.
📞 "Maafkan aku yaa. Besok aku libur. Nanti aku masak deh. Hehe."
Di seberang Azka tersenyum. Dia memang sangat mencintai wanitanya itu. Sudah genap delapan tahun bersama, cintanya tak berkurang, malah semakin bertambah setiap harinya. Apalagi semenjak ada Anggun disampingnya. Cintanya berkali lipat bertambah jika ia mengingat perjuangan Mayra saat melahirkan putri cantiknya itu.
⬅️
"Aku tidak kuat, Yank. Sakiiiit."
Mayra yang saat itu baru pembukaan tiga, memeluk erat Azka di ruang persalinan. Mayra memang wanita yang kuat namun juga lemah dalam beberapa hal. Ia takut jarum suntik dan semua alat yang berada dalam jangkauan dokter, terutama kursi roda. Mayra takut dengan kursi itu karena beberapa kali film horor yang ditontonnya menampilkan kursi roda sebagai benda yang mistis, yang seketika bisa berputar sendiri di lorong rumah sakit yang gelap gulita.
"Tarik nafas, yank. Fuuuuwwhh, buaaaang!" Azka menuntun istrinya menarik napas sambil memraktekkannya.
Mayra menahan sakit sambil terus menarik-buang napasnya. Sudah seharian ini ia berada dalam kamar bersalin di rumah sakit tempat suaminya bekerja, namun pembukaan jalan lahirnya belum juga bertambah. Azka adalah dokter spesialis paru di Rumah Sakit Bahagia, tempat Mayra akan melahirkan anaknya.
Air mata Mayra jatuh di pundak Azka. Azka menuntun istrinya duduk pada ranjang berseprei biru itu. Ia mengusap pipi istrinya lembut.
"Sabar, yank. Kamu bisa!"
Mayra menangis. Ia teringat ibunya. Ia membayangkan ibunya saat melahirkannya, betapa sakitnya. Air matanya menetes lagi. Pantas saja Allah menaruh surga pada telapak kaki ibu. Karena memang perjuangannya melahirkan manusia baru sesakit ini. Memang tak cukup walau dunia dan isinya dibayarkan untuk membalas kebaikan seorang ibu.
"Terimakasih, Mah." Mayra membatin. Ia mengatur napasnya lagi. "Mamah belum sampai?" Mayra menanyakan ibunya.
Mereka memang hanya berdua di rumah sakit saat itu. Orang tua mereka dalam perjalanan menuju Bandung. Mereka berdua terpaksa pindah ke Bandung saat usia pernikahan mereka baru satu tahunan karena Azka ditugaskan di Rumah Sakit Bahagia ini. Orang tua Mayra dari Solo, sedangkan orang tua Azka dari Yogyakarta. Saat kemarin Mayra mulai merasakan perutnya mulas, ia dan Azka memutuskan untuk tidak dulu memberi tahu orang tua mereka, ingin memberi kejutan, niatnya. Namun sudah seharian ini bayi dalam kandungan Mayra belum juga mau keluar. Untuk itu beberapa jam lalu Azka baru menelepon orang tua dan mertuanya.
"Belum, Yank. Mungkin masih di dalam kereta. Kamu tenang ya. Ada aku di sini."
Azka mengecup kening wanitanya lembut sambil tetap menggenggam tangannya erat. Mayra mengerang.
"Aduuuh...."
Ia pegangi perutnya yang mengencang. Azka pandangi wajah istrinya yang terpejam menahan sakit. Dalam hatinya tak terputus doa, semoga istrinya selalu dalam lindungan Allah.
Azka menuntun istrinya untuk berjalan-jalan memutari kamar. Dan Alhamdulillah, pembukaan Mayra berangsur bertambah. Hingga akhirnya tangisan pertama bayi merah dari rahim Mayra nyaring terdengar memenuhi ruangan. Tangis Azka membuncah. Dipeluknya erat tubuh Mayra yang lemas.
"Alhamdulillah, Yank. Terimakasih. Aku tahu kamu pasti bisa, kamu hebat. Terimakasih." Azka membenamkan wajahnya yang basah pada pipi Mayra.
➡️
📞 "Kamu nanti jemput aku kan?" Suara Mayra di telepon mengagetkan lamunan Azka.
📞 "Iya sayang. Telepon aku kalau sudah selesai, ya."
Di tepian danau, sepasang mata memerhatikan Mayra sedari tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Veggie_Patricia
Halo kak,aku berkesempatan menjadi dubber eh novel kesukaan ku ini misinya.
Semoga suka yah dengan audio ku tapi aku belum mulai rekaman insyaallah besok😁
2021-04-30
0
🦄Olong Long
like like like
2020-10-26
0
🦄Olong Long
like 😍😍😍😍😍
2020-10-26
0