Ajakan Menikah

Dua hari berlalu setelah pengakuannya. Dini hari itu masih bagaikan mimpi bagiku. Aku benar-benar nyaris tidak percaya. Rupanya dia sudah menikah. Ucapan orang yang sudah menikah, kebanyakan tidak bisa dipercaya. Begitulah gejolak batinku. Tapi disisi lain, ada hatiku yang berkata bahwa dia sama sekali tidak berbohong. Dari obrolannya selama ini denganku, selain dia intelek dan tegas, dia orang yang cukup religius. Rasanya tidak mungkin dia berani menempuh jalan begini kecuali situasi dan keadaan disana sudah membuatnya tercekik. Aku juga masih tidak terlalu paham dengan ucapannya untuk memantapkan hati untuk calon istri. Bermacam-macam dugaan berkecamuk dalam pikiranku hingga tak terasa adzan subuh menggema. Kutunaikan ibadahku dan segera bersiap untuk berangkat kerja.

Baru saja selesai mandi, handphoneku berdering. Dari Adnan.

"Saya udah didepan."

"Maaf baru selesai mandi. Kayaknya kamu kepagian."

"Saya pengen ajak kamu keliling-keliling sebelum cari sarapan."

"Ya udah. Tolong tunggu sebentar."

Ku tutup telephone dan buru-buru memakai pakaian, jaket, dan sepatu. Tak lupa kuambil helm dan memakai masker agar tidak terkena polusi udara. Adnan menyambutku dengan tersenyum. Mengisyaratkan untuk cepat naik agar tidak bertemu jam macet.

Sepanjang jalan, aku hanya diam saja. Kupilih melihat-lihat pemandangan dikanan atau kiriku. Dia memacu kendaraannya sedikit pelan.

"Kamu gak apa-apa?"tanyanya.

"Sehat bugar."

"Oh mantap. Seneng dengernya,"dia merespon tertawa.

"Kamu katanya mau sarapan."

"Kamu ikut makan juga ya. Cobain nasi kuning. Enak,"pintanya.

"Iya deh sedikit aja tapi,"aku mengalah.

Dia mengangguk-angguk dan mengarahkan motornya ketempat Abang Nasi Kuning yang biasa jadi langganannya. Dia memintaku makan agak cepat karena masih ingin berkeliling. Kuperiksa jam tanganku, masih pukul 5:20 pagi.

*****

Diatas motor, dalam suasana pagi yang lumayan sepi, kuberanikan diri bertanya kepadanya.

"Hmm..itu, maaf, boleh bicara sesuatu?"

"Bolehlah. Silakan,"jawabnya.

"Maaf ya, gak ada maksud aneh-aneh. Kamu bilang kemarin tentang memantapkan hati untuk calon istri. Itu, kamu meminta saya jadi pasangan halal?"kusampaikan pelan-pelan dan sangat amat hati-hati.

Dia terdiam sebentar mempertimbangkan jawaban.

"Bisa peluk lebih erat? Biar badan kamu maju dan kedengeran saya ngomong."

"Lagi serius tapi masih modus,"omelku.

"Ketimpa suara angin kalau jawab disini.

Mangkanya saya minta kamu lebih deketan posisinya. Bonusnya dipeluk erat,"candanya membuatku menatap dia sebal.

Dia melirikku dari kaca spionnya, dan kembali tertawa.

"Benar. Saya mau ajak kamu nikah. Saya sangat ingin halalin kamu. Cuma saya lagi ada masalah setahunan ini. Mau saya selesaikan dulu. Saya mau minta kamu jadi istri kedua saya. Atau bisa jadi yang pertama. Yang jelas, saya ingin kita menikah,"ungkapnya.

Aku tersentak. Bingung harus merespon apa. Akan tetapi, tiada amarah yang kurasakan dalam hatiku.

"Kalau kamu gak mau nikah sama saya, gak sanggup jadi yang kedua, ya udah, saya gak memaksa. Tapi saya nantinya berakhir hanya jadi temanmu saja. Jujur, saya gak mau,"dia diam sebentar kemudian melanjutkan kalimatnya.

"Saya sebenernya sayang, ya sayang. Sayang banget sama kamu. Perasaan saya lebih besar ke kamu daripada istri saya sendiri. Saya ingin bersamamu. Dan tentunya dalam ikatan halal,"dia melanjutkan dengan sangat berhati-hati, dan tentunya nada bicaranya berusaha agar terdengar lembut.

"Ada kepikiran untuk cerai tapi anggapan keluarga besar saya gimana? Terlalu rumit. Kalau memang takdirnya cerai, oh ya udah. Tapi saya mikirnya, mending cari istri yang bisa nerima kondisi saya. Dan saya nemu itu dalam diri kamu,"tuturnya lagi, dan aku masih menyimak dalam diam.

"Kamu tahu gak? Habis nikah dan hidup bareng, udah kayak neraka. Adu mulut sering. Hape saya dicek sampai berantem dichat sama temen saya. Cemburuan parah. Saya harus begini, harus begitu. Sumpah sesak dirumah itu. Dia juga sering debatin saya. Udah watak. Gak bakalan bisa berubah,"keluhnya.

"Saya tahu saya gak tahu diri. Serius, saya gak mau lepasin kamu. Ayo sama-sama membina rumah tangga dalam kebaikan,"sambungnya dengan nada lirih.

Aku semakin terhenyak mendengar luapan emosinya. Kulirik spion, wajahnya yang terlihat sedih, marah, kesal, dan juga...menyesal. Kuberanikan diri mengelus lengannya yang cukup kekar dan mengecup pelan lengannya.

"Maaf saya tanya ini. Orangtuamu masih lengkap?"

"Masih."

"Boleh saya melamarmu ke Bapakmu? Saya tanya dulu biar gak malu. Ntar tahu-tahu kamu gak mau."

"Andaikan saya mau, belum tentu dikasih izin orangtuaku. Soalnya jadi yang kedua,"ujarku.

"Mangkanya saya mau nemuin duluan sebelum bawa orangtua saya melamarmu. Saya jelaskan dan meminta restu. Saya juga akan bicara dengan orangtua saya terlebih dahulu sebelum saya menemui orangtuamu,"terangnya.

"Memang orangtua kamu sendiri, akan setuju dengan istri kedua?"tanyaku.

"Saya itu paling keras dalam keluarga. Orangtua saya mengenal saya dengan baik. Saya yakin kamu akan diterima. Apalagi sikap saya nantinya setelah kita nikah, akan menunjukkan jawaban kenapa saya ingin nikahi kamu,"jelasnya.

Aku masih mendengarkan dalam diam. Kupalingkan wajahku melihat sekeliling.

"Saya gak akan paksa kamu. Saya sendiri juga meminta dalam do'a saya. Saya mau jagain kamu. Bimbing kamu. Hidup bersamamu. Saya gak mau lepasin begitu aja cewek langka kayak kamu. Lebih baik saya berusaha ambil sebagai istri saya daripada kamu lepas ketangan oranglain,"lanjutnya meyakinkanku.

Nada bicaranya tegas, dan tidak ada keraguan sedikitpun yang kurasakan. Iseng-iseng, aku beri dia pertanyaan yang mungkin akan membuatnya jengkel.

"Nanti istrinya gimana? Emang gak izin?"

"Ngapain izin. Itu urusan saya. Kamu gak usah mikirin kesitu. Saya gak bakal biarin kamu sengsara juga. Kan saya yang minta. Saya harus melindungi kamu sebisa mungkin,"dia menjawab sedikit emosial namun buru-buru mengendalikan diri.

"Maaf,"ujarku pelan.

"Oh enggak. Saya ngerti pemikiranmu. Saya masih mampu kok menafkahimu. Keluarga besar saya ada yang tokoh agama. Ntar orangtua saya banyak ditanya kalau saya pilih pisah. Itu semua udah saya pikirkan jauh sebelum ketemu kamu. Kalau takdirnya saya pisah sama dia, ya saya jalani. Dikeluarga saya ada beberapa yang beristri dua. Orangtua saya ngerti kalau nanti saya jelaskan kalau kamu yakin nerima lamaran saya,"sambungnya dengan penuh keyakinan dan ketegasan.

"Boleh dipikirkan dulu? Sambil berdo'a juga dalam sholat,"pintaku.

"Terima kasih. Ya boleh lah. Semoga hatimu mau ya ke saya. Saya gak mau berlama-lama juga. Kalau semua lancar dan dimudahkan, kita nikah. Saya akan berusaha semampu saya membahagiakanmu. Walaupun hati kecil saya yakin kamu gak akan nuntut saya ini itu,"dia berkata dengan penuh semangat. Pada akhirnya aku jadi tertawa.

Kalau dia sudah serius begini, tidak ada salahnya kupertimbangkan. Hatiku juga seolah melunak mendengar permintaan menjadi istri kedua. Tuhan seakan punya rencana lain dibalik semua ini.

Setelah pembicaraan berat tadi, dia memilih untuk membahas bisnisnya. Dia sedang menjalankan bisnis baru. Dia memintaku membantunya untuk bagian administrasi dan paper work, selepas pulang kerja hari ini. Dia menawariku mengerjakannya di Moon Backs sambil bersantai.

*****

Tak terasa, kami sudah mau sampai di Hotel Yuki. Aku buru-buru menepuk bahunya.

"Turun disini. Pemberhentian angkot. Deket halte,"aku mengingatkannya.

"Lumayan kamu jalan lima menitan,"

"Gak apa-apa. Biar ada jeda habis kamu datang,"jawabku sambil turun dari motornya.

"Sini helm nya sama saya,"

Kuberikan helm tersebut padanya dengan tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Tiba-tiba dia melepas helmnya dan..........set! Dia mencium bibirku dengan penuh semangat. Astagaaaa ini orang, sat set banget. Kucoba membalas sebisaku dan menepuk lengannya pelan mengingatkan bahwa ini jalanan umum. Dia melepaskan kecupannya dan tertawa renyah.

"Iya iya. Nanti ada orang. Cantik kamu itu beda. Hatinya cantik sih! Mangkanya nikah aja yuk! Biar sah jadi milik saya,"ucapnya membelai rambutku.

"Malu,"jawabku singkat,'membuatnya tertawa.

"Sana kamu duluan. Mau jalan juga nih! Udah jam 6,"kutunjukkan jam tanganku kepadanya.

Dia mencium keningku, mengenakan helm nya dan meminta izin untuk duluan. Aku bergegas menuju Hotel Yuki untuk mulai bekerja.

Pagi ini aku shift bareng dengan Zeyna. Aku lumayan bersemangat karena kemungkinan bisa melihat adegan ala-ala India dimana Adnan sibuk menghindari Zeyna, sementara Zeyna sibuk mengejarnya jika ada kesempatan. Belum lagi saat pertukaran shift, Lanny pasti gelendotan dilengan Adnan, dan Alita serta Trihas berebut lengan yang satunya lagi.

Hahaha, jangankan cemburu, aku malah menikmatinya. Sedari dulu kuperhatikan wajah Adnan pasti masam apabila terjebak disituasi begitu. 'Ah, lumayan untuk refresh otak 'pikirku sambil tersenyum. Maaf ya Adnan, tapi itu hal yang selama ini membuatku geli dan sulit menahan tawa. Pasti capek sekali ya jadi kamu.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!