Cinta Untuk Hana
“Ayah bangun.. tolong Ayah bangun.. siapa yang jagain Hana dan Buna kalau Ayah gak bangun?” tanya seorang gadis kecil sambil menangis tersedu-sedu.
Hana kecil tertduduk lesu disamping ibunya yang juga sedang menangis, hanya saja ibu Hana memilih untuk menangis dalam diam. Ia tidak ingin anaknya kembali menangis jika mengetahui ibunya juga menangis. Sore itu Effendi – ayah Hana, tiba-tiba jatuh pingsan. Hana yang sedang bermain bersama ayahnya sangat terkejut dan seketika menangis memanggil ibunya yang sedang berada dalam rumah. Dalam keadaan kalut mereka langsung membawa ayah Hana ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama.
“Buna, Ayah kenapa? Ayah pasti bangun kan Buna? Apa Ayah kecapean ya main sama Hana?” Seketika Kanaya – ibu Hana membawa Hana kecil ke dalam dekapannya. Dia sendiri pun tidak tahu, apakah suaminya akan kembali bangun atau tetap tertidur selamanya. Dalam hati, ia tidak berhenti berdoa agar suaminya bisa segera sadar dan berkumpul kembali bersamanya dan Hana. Hana masih terlalu kecil untuk kehilangan ayahnya, dan ia masih sangat membutuhkan suaminya. Setelah semua hal yang telah ia dan suaminya lalui untuk bersama, sungguh ia tidak rela jika harus berpisah secepat ini.
Tidak lama kemudian, seseorang menghampirinya. Kanaya, tersadar dari lamunannya, “Bagaimana keadaan suami saya Dokter?” tanya Kanaya penuh harap.
Dokter menarik nafas panjang, membuat Kanaya bertanya-tanya ada apa dengan suaminya? Apakah suaminya baik-baik saja? Kenapa suaminya bisa tiba-tiba pingsan? Banyak pertanyaan yang ingin Kanaya ajukan, tapi ia memilih untuk menunggu penjelasan dokter atas kondisi suaminya. Dokter pun memberi isyarat seakan bertanya apakah Hana baik-baik saja sembari melihat kearah Hana yang telah tertidur dikursi. Kanaya mengangguk kecil Ketika dokter melakukan hal tersebut.
“Pak Effendi terkena serangan jantung bu.” Kanaya terkejut mendengar perkataan dokter. Tanpa sadar air matanya kembali mengalir. Kanaya kembali bertanya-tanya dalam hati, kenapa bisa suaminya terkena serangan jantung? Bukankah selama ini suaminya sehat-sehat saja? Apakah suaminya tahu jika ia memiliki masalah pada jantungnya? Bagaimana dengan dirinya dan Hana nanti? Ah begitu banyak hal yang muncul dalam benak Kanaya. Namun ia yakin akan satu hal, bahwa ia harus tetap kuat untuk anak dan suaminya, Hana dan Effendi.
Kanaya kemudian menggendong Hana yang masih tertidur menuju ruang rawat ayahnya. Effendi sudah dipindahkan ke ruang rawat setelah melalui berbagai pemeriksaan untuk memastikan bahwa kondisinya sudah membaik.
“Naya…” panggil Effendi lemah.
“Iya mas? Mas mau apa? Mas lapar atau haus? Aku ambilin makan ya?”
“Maafin aku ya Naya? Kamu dan Hana pasti sangat khawatir..”
Kanaya segera memeluk suaminya, dan menumpahkan semua tangisan yang sedari tadi ia tahan. Bagi Kanaya, Effendi adalah rumahnya, begitupun sebaliknya. Apa yang telah mereka lewati berdua untuk bisa bersama membuat cinta mereka semakin kuat dan semakin besar. Terlebih lagi Ketika Hana lahir, buah cinta mereka yang kini sudah berusia lima tahun. Tiada hari yang terlewati tanpa mereka lupa mengucap rasa syukur atas apa yang telah mereka miliki.
Esoknya Hana terbangun mendengar suara yang ia tunggu-tunggu sejak kemarin. “Suara Ayah!” Hana langsung melompat dari sofa tempat ia terlelap semalam.
“Ayah kapan bangun? Ayah kok kemarin tiba-tiba tidur sih? Ayah capek ya? Maafin Hana ya Yah? Gara-gara temenin Hana main Ayah jadi kecapean..” Effendi pun tersenyum. Ia merentangkan tangannya meminta Hana memeluknya. Langsung saja disambut oleh Hana dengan penuh semangat sampai Hana melompat ke atas tubuh ayahnya membuat Kanaya kaget.
“Hana pelan-pelan! Ayah belum sehat sepenuhnya nak.” Hana seakan tidak mendengar perkataan ibunya dan tetap memeluk ayahnya dengan erat. Effendi tertawa kecil sambil melihat Kanaya.
Tok.. tok.. tok..!
Pandangan Kanaya langsung tertuju pada pintu. Siapa yang datang sepagi ini? Bukankah kunjungan dokter beberapa jam lagi? Sejak kemarin pikiran Kanaya masih belum tenang. Ada hal yang sejak kemarin, sungguh sangat ia khawatirkan. Bukan hanya mengenai Kesehatan Effendi, tapi mengenai keberadaan mereka. Ya, demi sebuah keluarga yang utuh dan bahagia, ada harga mahal yang mereka harus bayar. Beberapa tahun belakangan ini, mereka harus hidup berpindah-pindah agar tidak bisa ditemukan. “Buka aja Nay, gak apa-apa.” kata Effendi menyadari kekhawatiran istrinya.
“Mba Naya!” Carissa langsung memeluk Kanaya dengan erat. Dibelakangnya berdiri Liam, suami Carissa yang merupakan sahabat Effendi dan Kanaya. Kanaya masih mencerna situasi ini, sementara Liam menyadari ekspresi Kanaya.
“Udah aman kok, Endi sendiri yang kabarin kalau kalian lagi disini.” Kedatangan Liam dan Carissa membuat Kanaya sangat bahagia. Entah sudah berapa lama mereka tidak bertemu, selama ini mereka hanya bertukar kabar melalui pesan singkat atau sesekali berbicara melalui telepon. Hanya Liam dan Carissa yang menjadi teman setia mereka sampai saat ini.
“Papa, abang kok ditinggal!” teriak seorang anak laki-laki setengah berlari. Carissa langsung melepaskan pelukannya dan menoleh kearah suara tersebut.
Ternyata itu Ravindra, putra sulung mereka. “Astaga Mas! Kok abang sampe ditinggal sih?” Liam segera menyadari kesalahannya dan langsung menggendong Ravi. Sementara Carissa masih menatap tajam ke Liam.
“Maafin hehe.. yuk masuk. Kita jangan lama-lama depan pintu deh kayaknya.” Liam menarik tangan Carissa dan menutup pintu. Tanpa mereka sadari, sepasang mata mengawasi dari ujung koridor.
... *****...
Setelah sejam saling bertukar kabar, Kanaya tiba-tiba terdiam dan menatap Effendi. Tatapan Kanaya menyimpan berjuta kekhawatiran, apa yang akan terjadi setelah ini. “Ravi, bisa bantu Om Endi gak? Ravi bisa ajak adik Hana main diluar dulu?” Permintaan Effendi langsung disambut anggukan oleh Ravi yang memang sedari tadi memperhartikan Hana.
Kanaya kembali menatap suaminya yang dibalas dengan mengatakan tidak apa-apa. Effendi yakin Hana akan baik-baik saja. Ia akan memastikan anak dan istrinya akan baik-baik saja meskipun harus berkorban nyawa sekalipun.
“Liam, yang gue minta waktu itu sudah lo urus semua? Lo dibantu sama Dani kan?” Mendengar perkataan suaminya, tubuh Kanaya lansgung membeku. Bagaiman tidak, mendengar suaminya menyebut nama Dani membuatnya kembali mengingat kejadian empat tahun lalu. Dani, orang yang dulu setia mendampingi suaminya, justru dialah yang membuang semua barang-barang milik suaminya keluar dari rumahnya sendiri. Dan membantu Bramantyo – ayah Effendi, mengusir suaminya dan dirinya. Setiap mengingat kejadian itu, hati Kanaya seperti teriris kembali.
Effendi, yang berasal dari keluarga terpandang dan terkenal, memilih jatuh cinta dan menikahi Kanaya yang berasal dari keluarga sederhana. Hal ini membuat ayah Effendi sangat marah dan tidak terima, bahkan setelah kehadiran Hana. Puncak amarah dari Bramantyo adalah ketika perusahaan yang sejak lama menjalin kerjasama dengan perusahaan miliknya memutuskan hubungan kerja mereka dan menyebabkan kerugian yang cukup besar. Hal ini terjadi karena Effendi menolak menikah dengan putri pemilik perusahaan tersebut, Melissa Mahendra.
Lamunan Kanaya terhenti ketika Carissa menyentuh tangannya. Carissa menyadari saat ini Kanaya pasti teringat kejadian itu, kejadian yang memaksa Kanaya dan Effendi untuk hidup seperti saat ini, terus bersembunyi.
“Mba Naya jangan khawatir ya? Semua sudah diurus sm Mas Liam.” Meskipun masih belum mengerti maksud dari perkataan Carissa, Kanaya tetap tersenyum dan mengangguk.
“Makasih ya Sa, kamu dan Liam selalu ada dan selalu bisa kami andalkan. Aku gak tahu kalau gak ada kalian, mungkin akan jauh lebih berat untuk kami melewati ini.” Carissa tersenyum dan memeluk Kanaya dengan hangat.
Ada hal lain yang baru Kanaya sadari. Ada seseorang yang kurang dalam ruangan ini. “Issa, bukannya anak kamu udah dua ya? Anak kamu ada yang seumuran Hana kan? Evan ya?” Carissa tersenyum sambil menjelaskan bahwa saat ini Evan tidak ikut, karena sedang berada dirumah bersama kakek neneknya.
“Waktu tadi mau kesini, Evan masih tidur Mba, jadi gak diajak aja sekalian. Lagian kita juga sebentar langsung balik ke Jakarta lagi.” Kanaya mengangguk mengerti. Kedatangan Liam dan Carissa hari ini memberikan sedikit ketenangan untuk hatinya yang dari kemarin resah dan gelisah. Ia yakin apapun yang direncanakan oleh suaminya pasti itu untuk kebaikan mereka.
...*****...
“Aduh sakit!” Ravi pun berhenti berlari dan berbalik. Dibelakangnya Hana sudah menagis kesakitan sambil memegang lututnya. Ravi yang terkejut segera menghampiri Hana dan membantunya berdiri. Dengan perlahan Ravi membantu Hana berjalan menuju bangku yang terletak diujung taman tempat mereka bermain.
Ravi kemudian mengambil sapu tangan disakunya dan perlahan membersihkan luka yang ada pada lutut Hana. Ravi pun berlutut untuk mengikatkan sapu tangannya dilutut Hana yang terluka, kemudian menatap Hana. “Maafin kakak ya Hana, karena kakak tidak bisa jagain kamu. Mulai saat ini kakak gak akan biarkan kamu terluka lagi.” Hana tersenyum dan memeluk Ravi sambil mengucapkan terima kasih.
Carissa dan Kanaya berjalan menuju ke taman untuk menjemput Ravi dan Hana. Namun langkah kaki Kanaya terhenti melihat sesosok laki-laki yang tidak asing baginya, sedang memperhatikan Ravi dan Hana. Hanya saja Kanaya ragu apakah benar itu laki-laki yang ia pikirkan ataukah hanya perasaannya saja.
“Buna, aku disini!” teriakan Hana membuat laki-laki itu menyadari kehadiran Kanaya yang sedari tadi memperhatikannya. “Benar, itu Dani, tidak salah lagi.” gumam Kanaya. Kanaya berlari mengejar Dani meninggalkan Carissa yang sudah berada dengan Ravi dan Hana.
Bruk!
Dani menabrak sebuah kursi sampai terjatuh, dan untung saja karena hal itu Kanaya berhasil menyusul Dani. “Mau apa kamu kesini? Kenapa kamu bisa tahu kami disini? Kamu disuruh Papi Bram kan buat mengawasi kami?” tanya Kanaya tajam kepada Dani.
“Bu Naya, tolong tetap bertahan dan tetap kuat. Demi Pak Effendi, Nona Hana dan Nyonya Alita,” ujar Dani tanpa ekspresi sambil berlalu pergi meninggalkan Kanaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
LISA
aq mampir Kak
2023-10-14
0