BAB 7

Maya menutup pintu kamarnya dengan kasar. Lagi-lagi hatinya terluka melihat perlakuan Evan kepada Hana saat di mall tadi. Kali ini ia mendapati Evan sedang membeli perhiasan untuk Hana. Ia tidak bisa terima, ia merasa Evan tidak memperdulikan perkataannya saat kali terakhir mereka bertemu.

Maya menarik nafas panjang berusaha menenangkan hati dan pikirannya. Ia harus tenang sebelum mengambil tindakan, ia tidak ingin gegabah dan membuat Evan semakin tidak bisa ia jangkau. Jika ia tidak bisa membujuk Evan, mungkin ia bisa membujuk Hana, pikirnya dalam hati.

“Hana, kita bisa ketemu gak? Gue kerumah lo ya,” ketik Maya singkat.

Tanpa menunggu balasan dari Hana, Maya bergegas mengambil tas dan kunci mobil miliknya. Ia langsung berangkat menuju rumah Hana. Ia ingin mencoba berbicara dari hati ke hati dengan Hana, berharap Hana bisa merelakan Evan untuknya. Sudah cukup baginya menunggu Evan berpaling dengan sendirinya.

Kali ini, Maya benar-benar akan membuang rasa malu dan harga dirinya. Ia tidak perduli bagaimana nanti Hana akan memandangnya. Bagaimana nanti jika image yang selama ini ia bangun sebagai wanita berkelas incaran para pria hilang jika ia ketahuan membujuk Hana untuk melepaskan Evan buatnya.

Maya menghabiskan waktu berkendara selama satu jam tiga puluh lima menit sebelum akhirnya sampai dirumah Hana. Tidak masalah baginya menempuh jarak yang cukup jauh asalkan ia bisa membujuk Hana. Ia tidak peduli lebih tepatnya.

Setelah memarkirkan mobilnya didepan rumah Hana, Maya bergegas turun dari mobil dan memasuki pekarangan rumah Hana. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar seseorang memanggilnya.

Betapa terkejutnya Maya ketika ia menoleh dan mendapati ada Hana disana sedang berdiri dengan ekspresi penuh tanda tanya. Maya yakin Hana baru saja diantar pulang oleh Evan. Untung saja Evan tidak melihat keberadaan Maya di halaman rumah Hana. Bisa gagal rencana Maya untuk membujuk Hana.

Maya berusaha mengatur ritme nafas dan gestur tubuhnya agar terlihat tenang dihadapan Hana. Maya mencoba mengulas senyum paling manis yang ia miliki dibibirnya. Ia tidak ingin memberikan kesan pertemuan pertama yang buruk kepada Hana, mengingat sebelumnya ia pernah mengirimkan pesan yang telah mengguncang mental Hana.

“Mau apa kamu kesini? Kamu tahu rumah saya dari mana?” tanya Hana penuh curiga.

“Sepertinya lo belum liat pesan dari gue ya? Boleh gak kita ngomongnya didalam aja?” pinta Maya dengan nada sesopan mungkin pada Hana.

Hana berjalan melewati Maya dengan enggan. Ia kemudian mempersilahkan Maya masuk kedalam rumahnya dan meminta Bi Siti untuk membuatkan Maya minuman. Hana memperhatikan Maya dengan seksama, membuat Maya jadi salah tingkah dan sedikit gugup.

“Lo pasti kaget ya sama kedatangan gue kesini. Gue gak bakal macam-macam kok, gue pengen ngomong baik-baik ke lo,” ujar Maya menatap Hana sambil tersenyum. Namun justru hal itu membuat Hana semakin curiga dan was-was dengan maksud kedatangan Maya.

“Kamu mau ngomong soal apa? Soal pesan singkat kamu waktu itu? Maaf, tapi saya tidak tertarik membahas masa lalu,” jawab Hana datar. Tidak bisa Maya pungkiri, aura Hana saat ini sangat mengintimidasinya. Maya mencoba kembali mengatur nafasnya, ia harus memilih kata-kata dengan sangat hati-hati, ia tidak ingin usahanya kali ini gagal.

“Kalau untuk itu gue minta maaf. Gue bener-bener gak ada maksud apa-apa. Waktu itu gue baru tahu kalau lo itu anak kandung Papa Effendi. Makanya gue kirim pesan seperti itu ke lo,” Maya berbohong. Tentu saja saat itu ia sengaja melakukannya.

“Stop. Gak usah diterusin. Saya tidak mau dengar apapun mengenai ayah,” ujar Hana tegas. Ia tidak ingin bagian dari masa lalunya diungkit lagi. Saat ini ia hanya fokus menjalani lembar baru hidupnya. Sama yang seperti ayahnya lakukan, bersama Maya.

“Gue kesini bukan mau ngebahas itu, ada hal lain yang gue ingin lo tahu,” Maya lalu berdiri dan berjalan menuju tempat Hana duduk. Tentu saja sikap Maya ini membuat Hana semakin heran.

Kemudian secara tiba-tiba, Maya berlutut dihadapan Hana. Air mata perlahan keluar dari sudut mata Maya. Hana benar-benar terkejut sehingga reflek memegang keduan lengan Maya ingin membantunya berdiri. Tetapi Maya tetap ingin berlutut dihadapan Hana.

“Gue suka sama Evan, Han. Gue suka sama Evan dari tujuh tahun yang lalu. Gue sampe bela-belain masuk ke universitas yang sama dengan dia cuma supaya Evan bisa liat gue, Han. Cuma supaya Evan tahu kalau gue ada. Gue cinta sama Evan, Han. Tolong gue,” ungkap Maya sambil terisak.

“May, ayo bangun dulu. Kamu gak perlu kayak gini, saya jadi gak tahu harus ngapain kalau kamu kayak gini,” Hana mcncoba menenangkan Maya.

“Hana, gue mohon, tolong relakan Evan buat gue. Hana tolong, gue mohon..” Maya memohon sambil memegang tangan Hana. Hana menatap Maya tidak percaya. Perlahan Hana melangkah mundur menciptakan jarak diantara ia dan Maya.

“Maksud kamu apa Maya? Saya harus merelakan Evan untuk kamu? Kamu pasti bercanda,” Hana masih tidak percaya dengan permintaan Maya kepadanya. Apa yang kurang dari hidup Maya hingga ia harus meminta Hana merelakan satu-satunya pria yang ia cintai.

“Gue mohon Hana, gue mohon banget ke lo. Gue cinta banget sama Evan, gue gak bisa kalau bukan Evan, Han. Gue udah coba buat suka sama orang lain, tapi tetep gak bisa. Please Han, gue mohon…” Maya masih terus memohon kepada Hana sambil terisak.

“Maaf Maya, tapi hal itu tidak akan pernah terjadi. Saya juga mencintai Evan, saya butuh Evan dalam hidup saya. Evan menjadi salah satu alasan saya untuk melanjutkan hidup saat ini,” jawab Hana dingin.

Mendengar jawaban dari Hana membuat hati Maya terbakar api amarah. Sia-sia ia memohon hingga berlutut dihadapan Hana. Sia-sia ia membuang harga dirinya. Kali ini ia kembali tidak mendapatkan hasil yang ia inginkan.

Seketika isak tangis Maya terhenti, seperti sejak awal ia tidak pernah mengeluarkan setetes pun air mata. Perlahan ia mengusap kedua pipinya yang basah karena tangisannya tadi. Ia kemudian menarik nafas panjang dengan kesal, kemudian berdiri sembari mengibaskan tangan disekitar rok yang ia kenakan, membersihkan kotoran yang menempel ketika berlutut tadi.

Ekspersi Maya seketika pula menjadi datar dan dingin. Kali ini ia sudah berdiri sejajar dengan tubuh Hana. Ia mulai menatap Hana dari ujung kaki hingga ke wajahnya. Tatapan Maya begitu merendahkan sosok Hana. Setelah itu ia menatap mata Hana dengan tajam.

“Ternyata keras kepala juga ya, gue kira lo bakal iba ngelihat gue mohon-mohon kayak tadi. Baiklah kalau kayak gitu, gue bakal pake cara lain buat dapetin Evan. Jaga diri lo baik-baik ya, sis!” Maya pergi meninggalkan Hana.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!