Sembilan belas tahun kemudian..
Cuaca sore itu sedikit berawan, entah akan turun hujan atau hanya menyembunyikan matahari sementara. Pada sebuah pohon besar ditengah taman terlihat seorang gadis sedang duduk bersantai. Tiupan angin sepoy-sepoy menerbangkan rambut gadis itu dengan perlahan. Nampak gadis itu menikmati angin menyapu wajahnya. Sambil menutup mata dengan earphone ditelinganya ia menikmati alunan musik yang terputar dari ponselnya.
Hana, gadis yang sedang berada dibawah pohon itu adalah dia. Hana kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan manis. Meskipun tidak suka memakai riasan seperti gadis seusianya, paras Hana tetap menawan. Tak perlu memakai lipstick, bibir Hana sudah memperlihatkan warna merah muda lembut dengan manis. Rambut hitam yang dimilikinya menjutai lurus sampai dibawah pundak, membuat wajah Hana terlihat sempurna. Walau tidak memiliki postur tubuh setinggi model-model yang ada pada majalah, tetap membuat banyak kaum adam memuji Hana.
Kanaya telah berhasil menepati janji kepada suaminya. Ia membesarkan Hana menjadi seorang gadis hebat, memiliki hati penyanyag dan pekerja keras. Kecukupan harta yang ditinggalkan ayahnya tidak membuat Hana dengan santai. Sejak tahun pertama memasuki dunia perkuliahan, Hana sudah mulai mencari pekerjaan sampingan. Ia tidak ingin bergantung pada uang ayahnya. Hidup berdua dengan ibunya selama bertahun-tahun membuat Hana perlahan kehilangan rasa kepada ayahnya.
Bagi Hana, Effendi hanyalah ayah yang tidak pernah ia lihat lagi wujudnya selama sembilan belas tahun terakhir dihidupnya. Ia memutuskan untuk tidak mengharapkan kepulangan ayahnya. Apalagi setelah melihat potret ayahnya bersama keluarga barunya disebuah majalah beberapa tahun yang lalu. Dalam potret itu, ia melihat ayahnya tersenyum bersama dengan istri dan seorang gadis seusianya.
Melissa Mahendra, wanita yang dulu pernah dijodohkan dengan ayahnya, kini menggantikan posisi ibunya, Kanaya. Namun hal yang paling membuatnya terluka adalah ketika melihat senyum ayahnya kepada gadis lain yang berada dalam foto itu. Sasmaya Xander Lyman. Putri sambung ayahnya, anak dari Melissa dari suaminya terdahulu. Rupanya pernikahan Melissa dengan ayah Maya tidak berjalan lancer, sehingga mereka berpisah begitu Maya berusia sepuluh tahun.
Sejak melihat foto keluarga baru ayahnya dimajalah itu, Hana selalu bertanya dalam hati, mengapa ayahnya tidak pernah datang mengunjunginya sekalipun. Ia yakin bahwa ayahnya tahu dimana keberadaannya dan ibunya. Apalagi ternyata ia dan Maya ternyata saat ini berada dikampus yang sama. Bukan sebagai orang asing yang tidak saling mengenal, Hana dan Maya beberapa kali terlibat dalam beberapa kegiatan karena mereka berdua berada dalam organisasi yang sama.
Namun hal yang kadang mengusiknya, mengapa Maya tidak pernah mengatakan apapun kepadanya. Apa mungkin Maya tidak tahu bahwa ia adalah putri kandung dari ayah sambungnya? Walau sebenarnya ia berharap tidak ada satupun orang yang mengetahui bahwa ia adalah putri dari Effendi Barmantyo. Ia tidak ingin diberikan label putri yang tidak diinginkan oleh orang-orang yang mengenal keluarga ayahnya. Nyatanya saat ini kehidupan ayahnya begitu terlihat sempurna. Kehadirannya saat ini akan menjadi cacat dari kesempurnaan itu.
“Han.. Hanaaaaaaa.. yaaaaang..” bisik seorang pria yang sudah duduk disampingnya sejak tadi. Hana tidak menyadari kehadiran Evan yang sudah duduk disampingnya hampir lima belas menit. Sejak dulu hobi Evan memang memperhatikan Hana diam-diam, bahkan sampai saat ini mereka sudah menjadi sepasang kekasih. Evan adalah pria yang berhasil masuk kedalam hati Hana setelah Hana menutup hatinya untuk pria manapun karena rasa kecewanya kepada ayahnya.
Hana yang kaget dengan kehadiran Evan reflek menggeser posisi duduknya dan melihat sekelilingnya. Jalinan kasih yang sudah mereka rajut sejak dua tahun lalu nyatanya belum diketahui oleh banyak orang. Bukan karena malu Evan sebagai kekasihnya, hanya saja Hana sudah terbiasa hidup dengan membatasi orang-orang yang masuk dalam kehidupannya. Karena itu hanya sahabatnya saja dan sahabat Evan yang mengetahui hubungan mereka. Hidupnya terlalu rumit untuk menjadi bahan pembicaraan orang lain.
Awal pertemuan Hana dan Evan sedikit seperti cerita film-film romansa. Evan bertemu Hana disebuah gang dekat restoran tempat Hana bekerja. Karena restoran tempatnya bekerja hanya berjarak sepuluh menit dari rumahnya, Hana memutuskan untuk berjalan kaki menuju rumah. Sialnya malam itu Hana bertemu preman yang ingin merampoknya. Untung saja Evan lewat dan segera membantu Hana. Namun kejadian itu lantas tidak membuat mereka langsung menjadi dekat. Butuh waktu cukup lama bagi Evan untuk meluluhkan hati Hana.
Evan dapat meluluhkan hati Hana setelah mendapatkan puluhan penolakan dari Hana sendiri. Untung saja Evan bukan tipe laki-laki yang mudah menyerah. Berbagai cara ia lakukan agar Hana bisa menerimanya. Mulai dari perhatian akan hal kecil sampai beberapa tindakan nyata yang ia lakukan demi Hana. Pernah suatu waktu, Hana terbaring sakit. Selama beberapa hari ia tidak menampakkan diri dikampus. Tentu saja hal ini membuat Evan bertanya-tanya dan khawatir.
Setelah bertanya ke beberapa teman Hana, Evan pun mengetahui bahwa Hana sedang tidak sehat. Ia berinisiatif memberikan Hana kejutan dengan mengirimkan sebuah bucket bunga mawar merah dengan sebuah pesan terselip diantara bunga itu. Tentu saja ia mengirimkan bunga ini setelah memastikan bunga favorit pujaan hatinya tersebut kepada sahabat dekatnya.
"Kamu tahu apa persamaan bunga ini sama kamu? Kamu dan bunga ini sama-sama cantik. Get well soon Hana.. Hari-hari aku jadi hitam putih karena gak ada kamu yang mewarnainya hehehe.." Pesan ini sukses membuat Hana tersipu saat membacanya. Sejak hari itu Hana perlahan membuka hati untuk Evan, meskipun masih membuat sedikit jarak, Evan dengan sabar menunggunya.
Kesabaran Evan berbuah manis diusia pendekatan menuju delapan bulan. Hati Hana sudah benar-benar luluh. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana perasaan Evan saat Hana berkata menerima cintanya. Sejak saat itu Evan menjadi rumah kedua baginya. Bahkan kini menjadi satu-satunya rumah baginya. Evan menjadi tempat bagi Hana untuk berkeluh kesah dan menumpahkan seluruh isi hatinya.
"Lagi mikirin apa sih sayang? Sampe-sampe kamu gak sadar aku udah disini dari tadi. Kamu mikirin cowok lain ya?" ucap Evan menggoda Hana. Hana yang sudah terbiasa dengan sikap jahil Evan tertawa dan mencubit gemas pipi kekasihnya itu. Duduk dibawah pohon bersama dan bercanda seperti ini sudah menjadi kebiasaan mereka berdua sejak awal menjalin hubungan. Tidak seperti pasangan lain yang lebih sering jalan berdua kemana-mana, mereka lebih memilih menghabiskan waktu seperti ini saling bertukar cerita dan tertawa bersama.
Evan mengambil tangan Hana untuk diletakkan diatas tangannya. Dengan lembut ia mengusap tangan Hana kemudian menatap mata Hana dalam. "Han, kamu harus selalu ingat ada aku disini untuk kamu. Aku gak akan ninggalin kamu, aku sayang banget sama kamu Hana. Kamu tahu kan kalau gak ada kamu, duniaku bakal hitam putih aja warnanya?" Setelah mengatakan hal itu, Evan membawa Hana ke dalam pelukkannya. Hal itu membuat hanya meneteskan air mata. Hana menangis dalam diam.
Evan tidak pernah keberatan jika Hana selalu menolak ajakkannya untuk sekedar makan bersama dimall atau nonton dibioskop. Bagi Evan apapun yang membuat Hana nyaman, akan ia lakukan dengan senang hati. Evan tahu ada hal yang tidak bisa Hana ceritakan kepadanya, dan Evan tidak pernah memaksa Hana untuk menceritakan tersebut. Ia yakin suatu saat nanti ketika Hana siap, Hana akan menceritakan semuanya.
Ternyata sore itu mereka tidak sendiri, ada seorang gadis yang memperhatikan mereka dari kejauhan. Gadis dengan paras diatas rata-rata, dengan tubuh ideal layaknya seorang model. Rambut kecoklatannya terikat rapih dengan beberapa helai terjuntai dikedua sisi wajahnya. Pada wajahnya tersapu makeup tipis yang membuatnya terlihat semakin cantik. Mata coklatnya menatap tajam kearah sepasang kekasih yang sedang duduk dibawah pohon ditengah taman itu.
Gadis itu mengepalkan tangannya dengan geram. Ia tidak suka hal yang barusan ia lihat. "Udah gue duga, pasti mereka ada apa-apa. Ternyata firasat gue benar buat ngikutin mereka. Sial! Kenapa harus Hana sih? Gak akan gue biarin lo bahagia setelah lo ngambil Evan dari gue, Hana!" Gadis itu beranjak pergi setelah memastikan apa yang ia curigai belakangan ini. Ia adalah Sasmaya, saudara tiri Hana.
...*****...
Semesta berjalan dengan sendirinya tanpa memperdulikan orang lain. Membuat Hana, Evan, dan Maya kali ini berada dilingkar kehidupan yang sama. Siapa sangka Hana akan berada diantara Maya dan Evan. Nyatanya Maya-lah yang lebih dulu mengenal Evan. Dan Maya-lah yang lebih dulu jatuh cinta kepada Evan. Maya jatuh cinta pada Evan sejak mereka duduk dibangku sekolah menengah.
Namun sayang, saat itu semesta belum memihak pada Maya. Berkali-kali Maya mencoba menarik perhatian Evan. Bahkan dengan rasa percaya diri yang tinggi, Maya secara terang-terangan mendekati Evan. Ia sangat yakin Evan akan tertarik dengannya, toh selama ini banyak laki-laki yang antri untuk mendekatinya. Tapi hal itu tidak berlaku untuk Evan. Evan bagaikan gunung es yang sangat sulit mencair. Maya sangat frustasi karena semua usahanya tidak menghasilkan apa-apa. Evan sama sekali tidak memberikan respon apa-apa. Bahkan ketika Evan tahu bahwa Maya juga sengaja masuk ke universitas yang sama dengannya, Evan tetap tidak melirik Maya.
Kini melihat Evan bersama Hana, membuat kesabaran Maya habis. Ia tidak bisa terima bahwa Hana yang bukan siapa-siapa bisa mendapatkan Evan bahkan tanpa berusaha sedikit pun. Justru Evan-lah yang mengejar-ngejar Hana. Memikirkannya saja sudah membuat emosi Maya sampai diubun-ubun. Ia tidak bisa membiarkan Hana memiliki apa yang selama ini ia inginkan. Kali ini ia bertekad untuk mendapatkan Evan apapun caranya.
Setelah membalas pesan Evan sebelum tidur, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Hana. Betapa terkejutnya ketika melihat pesan itu, bukan karena berasal dari nomor yang tidak ia kenali, melainkan isi pesan itu sendiri. "Ashana Effendi Bramantyo. Gue tahu siapa lo sebenarnya. Percuma lo sembunyiin identitas lo." Hana mematung untuk beberapa saat. Pikirannya berkecamuk penuh tanda tanya. Tidak ada satu orang pun yang mengetahui nama lengkapnya. Sejak awal ia masuk sekolah, ibunya memutuskan untuk tidak memakaikan nama lengkapnya demi menyembunyikan identitas Hana yang sebenarnya.
Ketakutan mulai mendatangi Hana. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia merasa telah membuat usaha dan pengorbanan ibunya selama ini sia-sia. Selama ini ibunya rela berdiam diri dirumah dan hanya keluar seperlunya saja, melakukan apapun agar mereka bisa hidup dengan tenang termasuk menutup diri dari siapa pun. Ibunya takut kalau keluarga ayahnya akan menyakitinya. Ia bahkan rela memutus kontak dari semua orang yang ingin membantunya. Semua demi agar Hana bisa hidup tenang.
"Buna, Hana harus apa sekarang?" Hana menangis sambil menatap foto ibunya. Foto yang menjadi foto terakhir Hana bersama ibunya sebelum ia benar-benar sendiri. Dalam foto itu Kanaya terlihat kehilangan banyak berat badannya. Meski tersenyum bahagia, namun tetap saja ada kekosongan yang terpancar dari sorot matanya.
Takdir kembali memberikan pukulan berat kepada keluarga mereka. Kali ini Hana yang harus merasakan pukulannya. Belum cukup rasanya ia hidup tanpa sosok seorang ayah, kini ia harus hidup tanpa sosok seorang ibu untuk selamanya. Kanaya telah berpulang sejak tiga tahun yang lalu, meninggalkan Hana untuk bertahan sendirian.
Menahan rindu nyatanya tidak mudah bagi Kanaya. Bertahun-tahun mencoba tetap bertahan dan kuat demi Hana, justru semakin membuat ia merindukan sosok suaminya. Tidak adanya tempat berbagi cerita dan keluh kesah, membuatnya menyimpan sendiri semua dalam dada. Rasa sesak yang kian menumpuk perlahan-lahan menggerogoti Kanaya dari dalam. Kesehatannya perlahan menurun, tubuh Kanaya terus melemah. Hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti dan menyerahkan estafet penantian panjangnya kepada Hana.
"Maafkan Hana, Buna.. Hana akan berusaha melewati ini semua.. Tolong sesekali hadir dalam mimpi Hana ya Buna? Hana kangen." Tangis pilu Hana terdengar dari dalam kamar. Begitu pilu hingga membuat siapapun yang mendengarnya mungkin akan merasakan sakitnya juga.
Setelah puas menumpahkan kesedihannya, Hana kembali menatap ponselnya. Ia kembali membaca isi pesan singkat itu. Ada satu nama yang muncul didalam pikirannya setalah membaca kembali pesan itu. Hanya saja ia bertanya-tanya, mengapa baru muncul sekarang jika selama ini orang itu hanya diam. Mencoba menepis rasa takutnya, ia pun memberanikan diri untuk membalas pesan tersebut. “Sepertinya kamu salah orang,” ketik Hana singkat.
Berharap setelah ini pesan itu cukup berhenti sampai disitu saja. Hana tidak ingin tahu siapa yang mengirim pesan itu. Ada banyak hal yang ia harus pikirkan saat ini. Hidupnya belum kembali tertata normal sejak kepergian ibunya. Bahkan setelah tiga tahun lamanya ia masih sangat berduka. Bagaimana tidak, ia telah kehilangan satu-satunya tumpuan hidupnya. Ia telah kehilangan rumahnya.
Ting!
Ponsel Hana berbunyi menandakan ada sebuah pesan singkat yang masuk. Semesta pasti sedang bercanda kepadanya. Hana meraih ponselnya perlahan dan menatap layarnya sejenak. Separuh dirinya tidak ingin melihat isi pesan itu, namun separuhnya lagi seperti ingin menggerakkan tangannya membuka pesan itu. Sambil menarik nafas panjang, Hana akhirnya membuka pesan tersebut.
Kali ini pesan itu berisikan sebuah gambar. Tidak, lebih tepatnya sebuah foto keluarga kecil yang bahagia. Foto yang sangat ia kenali karena ia pun memiliki foto tersebut diatas meja belajarnya. Ada seorang pria yang tersenyum manis sedang menggendong seorang anak perempuan yang tertawa. Disebelahnya berdiri seorang wanita dengan senyum yang teduh dan berparas cantik sedang merangkul pinggang pria itu.
Foto itu adalah foto sewaktu Hana masih kecil bersama kedua orang tuanya. Satu-satunya foto yang ia miliki bersama ayahnya. Hanya dua orang yang memiliki foto itu, dirinya dan ayahnya. Apa ayahnya yang mengirim pesan ini? Tapi mengapa ayahnya mengirim pesan seperti ini? Tujuannya apa? Banyak pertanyaan yang muncul dalam kepala Hana.
Belum selesai dengan semua pertanyaan itu, ponsel Hana kembali berbunyi. Sebuah pesan singkat kembali dikirimkan oleh nomor itu. “Kaget ya? Pasti kaget dong. Halo sis! Semoga kita bisa akur ya.” Hana hanya bisa tertunduk lesu setelah membaca pesan pada ponselnya. Pesan itu berasal dari Maya. Hana yakin maksud dari pesan Maya tidaklah baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments