BAB 14

Sore itu mereka habiskan dengan menyelami pikiran masing-masing. Tak ada pembicaraan lagi setelah apa yang Hana utarakan kepada Evan. Evan meninggalkan rumah Hana sebelum matahari tenggelam.

Sebelum memacu motornya, Evan mengirimkan pesan kepada seseorang. Ternyata ia mengirim pesan kepada Maya. Evan mengajak Maya untuk bertemu. Ia perlu tahu lebih banyak mengenai masalah keluarga Hana.

Karena Evan tidak ingin salah mengambil langkah. Dan terus terang saja, saat ini Evan mulai ragu dengan perasaannya terhadap Hana. Ia memang menyayangi Hana, tetapi ia merasa belum yakin bisa terlibat jauh dalam kehidupan Hana.

Kini Evan mengerti mengapa Hana selama ini begitu tertutup mengenai kehidupannya, memang tidak mudah untuk menjalaninya dengan masalah seperti itu.

"*Okey, Van. Kamu kerumah aku aja ya? Nanti aku kirim lokasinya.*" balasan pesan dari Maya telah Evan terima. Tentu saja Maya dengan senang hati menerima ajakan Evan. Ia segera membawa motornya menuju ke lokasi rumah yang telah Maya kirimkan. Rumah Maya berada dalam kompleks perumahan elit disalah satu kawasan ibukota.

Evan telah sampai dilokasi perumahan yang Maya kirimkan. Sebelum melewati gerbang perumahan Evan bertemu seorang satpam yang menanyakan tujuan kedatangannya, satpam itu juga meminta Evan memperlihatkan kartu identitasnya. Setelah satpam itu selesai memeriksa dan Evan pun telah memberitahukan tujuan kedatangannya, barulah Evan dipersilahkan masuk ke dalam perumahan tersebut.

Tak lama kemudian Evan berhenti didepan sebuah rumah mewah bergaya minimalis dengan sentuhan arsitek. Pagarnyaa menjulang tinggi menutupi separuh fasad dari rumah tersebut. Evan mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Maya. Tak lama setelah ia menutup teleponnya, seorang pria bertubuh kekar keluar dari balik pintu pagar mempersilahkan Evan masuk.

Evan sedang menunggu kedatangan Maya ketika seseorang memasuki ruang tamu. Rupanya itu Effendi. Ia baru saja pulang dari kantor. Evan mengenali rupa Effendi melalui foto yang pernah Maya kirimkan kepadanya. Evan kemudian berdiri dan tersenyum sopan kepada Effendi.

Effendi membalas senyuman Evan lalu bermaksud meneruskan langkahnya menuju kamar tidurnya, tetapi ia segera menghentikan langkahnya ketika ia menyadari wajah Evan mirip seseorang yang sangat ia kenali. "Wajah itu\- ah Liam!" serunya dalam hati.

Effendi segera berjalan kembali menuju arah ruang tamu untuk menemui Evan. Ia sudah sangat lama tidak bertemu dengan sahabatnya tersebut. Effendi sangat ingin mengetahui kabar Liam dan Carissa.

"Kamu anaknya Liam ya?" tanya Effendi ragu\-ragu.

"Iya Om. Nama saya Evan," jawab Evan sembari menyalami tangan Effendi. Andai saja ada Hana saat ini bersamanya pasti Hana sudah bisa bertemu dengan ayahnya, batin Evan. Hanya saja keadaan mereka tidak sesederhana itu.

"Bagaimana kabar Papa sama Mama kamu? Sehat\-sehat saja kan?" tanya Effendi dengan sangat antusias.

"Alhamdulillah Papa sama Mama sehat Om," Evan menjawab sambil tersenyum. Sejujurnya banyak yang ingin Evan tanyakan dan katakan, tetapi ia merasa kurang pantas melakukan itu saat ini.

Effendi lalu mengeluarkan selembar kartu nama dan menuliskan sesuatu dibaliknya. Ia menyerahkan kartu nama tersebut kepada Evan. "Evan, tolong berikan ini ke Papa kamu ya," ujar Effendi tersenyum. Evan mengangguk dan tersenyum kepada Effendi.

"Loh Papa udah pulang ya?" tanya Maya sembari berjalan menuju ke arah ruang tamu.

"Iya, May. Papa tinggal dulu ya," jawab Effendi lalu beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan melewati Maya setelah mengusap rambut putri sambungnya itu. Maya tersenyum.

Kini ia hanya tinggal berdua dengan Evan diruang tamu. Maya lalu duduk di sofa yang letaknya berada di seberang sofa tempat Evan duduk. Evan sedikit terpaku melihat Maya saat itu. Maya mengenakan sedikit make\-up diwajahnya dan menjepit setengah rambut panjangnya. Pantulan cahaya lampu malam itu membuat wajah Maya terlihat semakin cantik.

"Ada apa, Van? Kenapa tiba\-tiba pengen ketemu?" tanya Maya santai. Ia tidak menyadari bahwa Evan sedang memperhatikannya sejak tadi.

"Gue kesini pengen ngomong baik\-baik. Tolong jangan lukai Hana. Yang lo lakuin ini udah keterlaluan, May. Hana sampe masuk rumah sakit," Evan mencoba mengatur kata\-katanya sebaik mungkin. Tujuan kedatangannya ini memang untuk berbicara baik\-baik dengan Maya.

Maya hanya terdiam namun matanya tetap menatap Evan. Ia lalu menarik nafas panjang dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, seakan\-akan ia sangat lelah.

"Sesayang ini ya kamu sama Hana, Van? Aku jadi tambah iri dengan Hana," ucap Maya tersenyum lirih.

"Sebenarnya aku gak terlibat sama sekali dengan apa yang menimpa Hana kali ini, Van. Aku memang mengirimkan teror\-teror untuk Hana. Tapi hanya sampai disitu saja. Aku tidak akan bisa menyakiti Hana lebih jauh lagi, Van," Maya melanjutkan omongannya.

"Lalu apa yang kamu bilang waktu itu\-" Evan menatap Maya tidak percaya. Ia masih mencurigai Maya hanya beralasan tidak mencelakai Hana.

"Aku hanya menggunakan kesempatan yang takdir sediakan untukku, Van. Tidak lebih," kali ini Maya berbicara dengan nada yang sangat serius. Maya sadar ia tidak akan bisa bertindak lebih jauh lagi. Terlalu banyak yang ia pertaruhkan jika ia benar\-benar ingin mencelakai Hana.

Meskipun Hana tidak tinggal bersama ayahnya, namun Maya yakin bahwa ayahnya selalu mengawasi Hana. Maka akan sangat beresiko baginya jika ia berani mencelakai Hana. Ayah sambungnya pasti tidak akan tinggal diam, terlebih lagi ayah sambungnya pasti tidak akan memaafkannya. Belum lagi jika sampai harus berurusan dengan hukum. Akan banyak pihak yang terlibat dan ia bisa mencoreng nama baik keluarganya.

Evan merasa lega mendengar apa yang Maya katakan. Ia bisa tenang sekarang. Evan pun kembali bertanya kepada Maya perihal hubungan Effendi dengan Hana. Ia ingin tahu apakah ada celah untuk bisa mempertemukan mereka atau bahkan apakah ada kesempatan untuk Hana bisa berkumpul kembali bersama ayahnya.

Maya hanya mengatakan apa yang ketahui. Ia belum mendengar apa\-apa lagi sampai saat ini. Yang ia tahu Bramantyo saat ini sering mengunjungi rumah sakit untuk memeriksakan kesehatannya. Lagipula Maya memang tidak pernah menanyakan hal\-hal personal kepada anggota keluarga mereka yang lain.

Meskipun Maya dan Melissa diperlakukan sangat baik dikeluarga Bramantyo, tetapi tetap saja bagi Maya mereka belum diterima sepenuhnya. Maya tetap merasa ada jarak yang tak terlihat diantara dirinya dan anggota keluarga yang lainnya.

Tanpa sadar Evan dan Maya sudah berbincang selama tiga jam lamanya. Suasan diantara mereka sudah tidak kaku lagi, mereka bertukar cerita dengan santai. Bahkan mereka sedikit bernostalgia mengenang masa\-masa saat sedang duduk dibangku sekolah menengah.

"May, mari berteman. Gue, Hana, dan lo. Kita bisa berteman baik," ujar Evan sebelum meninggalkan rumah Maya. Maya mengangguk menyetujui. Ia merasa tidak ada yang salah dari apa yang Evan katakan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!