BAB 2

Udara pagi yang sejuk dan suara alam yang tenang, memang bisa menjadi obat penenang alami. Setelah sebulan keluar dari rumah sakit, Effendi memutuskan untuk mengajak Hana dan Kanaya berlibur disalah satu daerah puncak di Bandung. Dengan sangat riang Hana berlarian di taman depan vila yang mereka tempati. Vila sederhana dengan pemandangan luar biasa. Pohon-pohon tinggi menjulang, deru suara air sungai terdengar samar-samar. Burung berkicau saling bersahut-sahutan.

Rasanya sangat sempurna ketika melihat Hana dan Kanaya tertawa gembira, namun Effendi justru merasa bersalah dalam hatinya. “Aku mohon, tetaplah tertawa seperti ini meskipun kita tidak bersama.” Effendi menangis dalam diam.

“Mas, kamu kenapa? Apa yang sedang kamu pikirkan?” Effendi tidak menyadari Kanaya sudah berdiri dihadapannya. Kanaya bisa merasakan bahwa suaminya sedang memiliki beban pikiran yang sangat berat. Sejak keluar dari rumah sakit, Effendi memang lebih sering melamun dan berdiam diri. Setelah mendengar cerita Kanaya yang bertemu dengan Dani saat dirumah sakit, ketakutan seakan menghantui Effendi tiap saat. Kini ia dihadapkan oleh pilihan yang sangat sulit.

“Aku bersyukur dan sangat bahagia memiliki kamu dan Hana. Tidak ada sedikitpun penyesalan dalam diriku telah melepaskan semua yang aku punya demi bersama kamu Naya.” Kata-kata yang indah tapi mampu membuat Kanaya menagis haru dipelukan suaminya. Jauh sebelum Effendi mengatakan ini, Kanaya pun merasakan hal yang sama. Setiap hari ia bersyukur karena telah memiliki Effendi dan Hana dihidupnya.

“Buna, Hana lapar.” Effendi dan Kanaya seketika tertawa melihat putrinya yang sudah cemberut. “Ayo bertahan lebih lama lagi.” Ujar Effendi pada sambil menatap Hana. Perkataan ayahnya sukses membuat Hana kebingungan.

Selama perjalanan pulang kerumah Hana tertidur dengan lelap. Bagaimana tidak, setengah dari hari ini ia habiskan untuk berlarian mengejar kupu-kupu dan burung yang ia temukan. Bahkan setibanya mereka dirumah Hana pun masih tetap tertidur. Setelah membawa Hana masuk ke kamarnya, Effendi duduk ditaman belakang rumahnya menyusul Kanaya. Taman itu tidak luas, beratapkan kaca bening, dan terdapat beberapa bunga disetiap sudutnya. Tapi taman itu selalu memberikan ketenangan bagi dia dan Kanaya. Jangan tanya bagi Hana, tentu saja taman itu merupakan tempat bermain favoritnya.

Effendi menggenggam tangan Kanaya dengan hangat sambil menatap langit malam yang cerah. Disebelahnya Kanaya duduk dengan menyandarkan kepalanya dibahu Effendi. Mereka sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing, sebelum suara dari pintu ruang tamu terdengar. Tersadar dari lamunan, mereka saling bertatapan. Siapa yang datang disaat seperti ini? Terlebih lagi, siapa yang mengetahui mereka tinggal disini? Jangan salah paham, Effendi dan Kanaya adalah tetangga yang baik, mereka hanya sedikit menutup diri dari orang lain.

...*****...

Suara ketukan kembali terdengar. Kali ini disertai dengan suara seorang wanita. “Nay, itu suara..” mata Effendi tertuju kembali pada pintu ruang tamu. Kanaya tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. Ia tahu suaminya begitu merindukan ibunya, ia pun sangat merindukan ibu mertuanya. Alita – ibu Effendi berdiri dibalik pintu. Ingin rasanya Kanaya segera berlari membuka pintu itu dan memeluk Alita, tapi langkahnya terhenti. Ia takut jika menemukan sosok Bramantyo ikut bersama ibu mertuanya. “Mas, Mami..” Kanaya menoleh ke arah Effendi. Ia tahu suaminya juga memikirkan hal yang sama.

Alita yakin anak dan menantunya ada dibalik pintu. Ibu mana yang bisa menahan rindu terpisah dari anaknya selama bertahun-tahun. Alita kembali mengetuk, namun kali ini Alita mengatakan sesuatu yang tidak bisa membuat Effendi maupun Kanaya tetap diam dibalik pintu. “Mami kangen banget nak, tolong buka pintunya.” Benar saja, ketika Effendi membuka pintu, Alita langsung memeluk Effendi penuh haru. Rasa rindu yang telah ia pendam bertahun-tahun lamanya hari ini bisa ia lepaskan dipelukan putra semata wayangnya.

Kanaya mengambil jarak dibelakang suaminya, memberikan ruang pada ibu mertunya untuk melepaskan rindunya kepada putranya. Ada rasa hangat yang masuk kedalam hati Kanaya melihat pemandangan ini. Ia merasa sangat bersalah karena telah membuat Effendi mengambil jalan untuk berpisah dengan ibunya sendiri demi tetap bersamanya. “Maafkan aku Tuhan, maafkan aku karena aku telah egois memisahkan seorang putra dengan ibunya..” ucap lirih Kanaya sambil menyembunyikan tangisnya.

“Naya, sini nak.. Mami juga kangen sama kamu..” Kanaya pun berjalan perlahan menuju Alita. Air mata mulai membasahi pipinya, betapa ia sangat merindukan pelukan hangat seorang ibu. Kanaya sejak remaja telah menjadi yatim piatu, itulah mengapa Bramantyo tidak pernah bisa menerima Kanaya bersanding dengan putra semata wayangnya. Baginya, Kanaya hanya seorang wanita yatim piatu yang tidak jelas asal usulnya dari mana. Sebuah aib besar bagi seorang Bramantyo Permadi jika orang-orang tahu bahwa ia memiliki menantu yang bukan siapa-siapa.

Bagi Kanaya, Alita adalah kesempatan kedua yang diberikan Tuhan untuknya, kesempatan untuk berbakti kepada seorang ibu. Kanaya sangat menyayangi Alita dan selalu menganggap Alita adalah ibu kandungnya. Alita menjadi salah satu alasan mengapa Kanaya bisa tetap bertahan dalam pernikahannya dengan Effendi. Karena berbeda dengan Bramantyo, Alita memperlakukan Kanaya dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Layaknya seorang ibu menyayangi dan mengasihi anaknya sendiri.

Suasan haru terhenti ketika terdengar suara dari arah kamar Hana. Hana yang sedari tadi sudah terbangun mencari dimana ibu dan ayahnya. Hana berjalan keluar kamar sambil membawa boneka kesayangannya. "Ayah, Buna, kok diem aja waktu Hana cariin?" protesnya setengah merengek.

Hana yang masih belum sepenuhnya sadar, belum menyadari keberadaan Alita. Perlahan Alita mendekati Hana. Tatapan takjub diberikan Alita kepada Hana, rasanya baru kemarin ia menggendong Hana ketika baru lahir. Dalam hati ia membatin, jika saja hati suaminya tidak sekeras batu, mungkin saat ini mereka sedang bermain bersama cucu tercintanya ini.

Hana bersembunyi dibalik tubuh ayahnya. Ia merasa asing dengan kehadiran Alita. Menyadari hal itu, Effendi kemudian menggendong Hana. "Hana, ini Buna-nya Ayah. Hana bisa panggil Buna-nya Ayah dengan sebutan Oma. Cium tangan dulu sayang." Hana masih sedikit takut ketika melaksanakan perintah ayahnya. Apalagi ketika melihat Alita menangis setelah Hana mencium tangannya. Hana jadi ikut menangis, karena berpikir bahwa ia telah membuat ibu dari ayahnya menangis.

Melihat Hana menangis, Alita buru-buru menghapus air matanya dan membelai lembut rambut cucunya. Melihat Hana, seperti melihat Effendi saat kecil. "Oma nangis bukan karena sedih kok sayang, Oma nangis karena bahagia banget bisa ketemu kamu lagi. Oma kangen banget sama Hana." Alita mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam tasnya, hadiah yang sudah ia siapkan untuk cucu tercintanya. Sebuah kalung berinisialkan nama Hana dengan permata kecil membentuk hurufnya.

Hana begitu bahagia ketika menerima kalung pemberian dari Alita. Ia pun berjanji tidak akan menjaga dan tidak akan melepaskan kalung itu. Malam itu berlalu dengan penuh kehangatan yang telah hilang selama enam tahun lamanya. Menyisahkan kenangan indah untuk keluarga kecil mereka ditengah banyaknya kenangan buruk yang tersimpan. Namun ternyata tidak ada yang bisa menyangka, bahwa setelah ini takdir menyakitkan harus mereka alami.

...*****...

Malam semakin larut, langit menjadi semakin gelap. Tak ada satupun bintang menghiasi langit saat itu. Awan pun menutupi cahaya bulan. Satu persatu tetesan hujan turun membasahi bumi. Semesta tahu, bahwa malam ini mungkin akan menjadi malam terakhir bagi mereka untuk bisa tertawa bersama. Ya, kunjungan ibunya tadi bukan hanya sekedar melepas rindu, tetapi juga membawa kabar yang mungkin akan mengubah hidup Effendi dan keluarganya.

“Bagaimana aku harus memberitahu kepada Kanaya mengenai hal ini? Dia pasti akan kembali terluka..” ucap Effendi lirih. Langkah kakinya terasa berat ketika berjalan menuju kamar tidurnya. Ia yakin Kanaya sudah menunggunya dengan segudang pertanyaan. Effendi bisa merasakan bahwa sejak tadi, Kanaya pun bertanya-tanya apa maksud dibalik kedatangan Alita. Meskipun sangat bahagia bisa berkumpul bersama walau hanya sesaat, tapi Kanaya yakin ada hal lain selain rindu yang ingin Alita sampaikan.

Benar saja, begitu Effendi membuka pintu kamar, ia bisa langsung melihat tatapan istrinya. Sejak Alita pulang, Kanaya sudah menunggu suaminya untuk menjelaskan maksud kedatangan ibu mertunya itu. Sebelum berjalan kearah Kanaya, Effendi menatap seisi kamar tidurnya itu. Ruangan itu tidak besar, tapi cukup untuk meletakkan sebuah ranjang besar. Terdapat sofa panjang tepat dibawah jendela dan sebuah meja rias disamping tempat tidur. Kamar itu menjadi tempat untuk Effendi dan Kanaya memadu kasih, saling menyemangati, dan menjadi tempat istirahat setelah mereka melewati hari yang berat.

Melihat sikap suaminya itu membuat Kanaya beranjak dari tempat tidur untuk menghampiri Effendi. Seperti waktu untuk tetap bersama suaminya sudah tidak akan lama lagi, Kanaya memeluk Effendi dengan sangat erat. Ada rasa sesak yang ia rasakan di dalam hatinya. Kini ia tahu maksud kedatangan dari ibu mertuanya. Mereka berdua sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

“Apa kali ini kita benar-benar harus berpisah Mas? Apa sudah tidak ada lagi yang bisa kita lakukan?” suara Kanaya bergetar memecah keheningan diantara mereka. Effendi kembali mengencangkan pelukkannya. Kali ini, ia tidak mampu menyembunyikan air matanya lagi. Effendi merasa bersalah karena telah gagal menjaga keutuhan keluarganya.

“Bolehkah aku sekali lagi egois Naya? Bolehkah sekali lagi aku minta kamu untuk tetap kuat dan bertahan? Sekali lagi kita harus berjuang Naya.. untuk kita.. untuk Hana..” permintaan Effendi disambut anggukkan Kanaya dalam pelukannya.

Mereka berdua berjalan menuju kamar Hana. Effendi membuka pintu kamar Hana dengan perlahan dan masuk bersama Kanaya. Hana kembali tidur setelah Alita pulang. Kanaya membelai lembut kepala Hana, sementara Effendi menggenggam tangan Hana. Hanya suara rintik hujan yang terdengar. Ingin rasanya membuat waktu berhenti agar pagi tidak datang. Namun nyatanya itu mustahil. Mereka berdua saling berpelukan dengan Hana berada diantar mereka. Waktu mereka sudah tidak banyak lagi. Bahkan mungkin, sudah tidak ada esok untuk mereka berdua bisa berpelukan seperti ini.

...*****...

Kanaya terbangun dari tidurnya setelah mendengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Semalam ia dan Effendi tertidur dikamar Hana. Sementara Hana masih tertidur, Kanaya mencari keberadaan suaminya. Sebelum menemukan sosok Effendi, suara ketukan kembali terdengar. Dengan enggan Kanaya berjalan menuju pintu dan membukanya. Betapa terkejutnya ia melihat sosok Dani dibalik pintu itu. Belum sempat mengajukan pertanyaan, Dani langsung memberikannya sebuah amplop kepadanya.

Amplop berwarna coklat dengan ukuran sedang. Tidak ada tulisan apapun pada amplop itu, sehingga membuat Kanaya ragu-ragu untuk menerimanya. Namun rasa penasarannya lebih besar dari rasa ragunya. Dengan hati-hati Kanaya menerima amplop itu dan mengeluarkan isi amplop itu. Didalamnya terdapat buku tabungan dan sebuah kunci rumah. Dengan tatapan heran ia menatap Dani. “Silahkan dibaca dulu suratnya Bu. Saya akan tunggu Bu Naya dan Nona Hana diluar,” ujar Dani sambil memberikan sepucuk surat kepada Kanaya.

Untuk istriku, Kanaya..

Maafkan aku harus pergi seperti ini. Maaf aku tidak menunggumu bangun agar bisa berpamitan. Aku tidak ingin melihatmu menagisi kepergianku. Demi Tuhan Naya, terlalu berat untukku meninggalkanmu dan Hana. Tapi maafkan aku, aku harus pergi. Demi keselamatanmu dan Hana, biarkan aku berkorban. Aku tidak bisa membayangkan bisa hidup didunia yang tidak ada kamu dan Hana didalamnya. Meski jarak memisahkan kita, tapi aku bisa tenang jika kalian baik-baik saja.

Kanaya, dalam amplop ini ada buku tabungan dan sebuah kunci rumah yang nantinya bisa kamu gunakan untuk hidup bersama Hana. Aku telah menyiapkan sebuah rumah untuk kamu tinggali bersama Hana. Hiduplah dengan tenang disana bersama Hana, kepergianku ini menjadi jaminannya Naya. Buku tabungan itu berisikan sejumlah uang yang bisa kamu gunakan untuk keperluan hidup dan biaya sekolah Hana sampai selesai nantinya. Aku sangat mencintaimu Kanaya, hanya kamu satu-satunya wanita dihatiku. Hatiku akan selamanya tertutup untuk orang lain, karena kamulah kuncinya Kanaya. Tolong besarkan malaikat kecil kita ya Nay? Maaf aku tidak disampingmu untuk membersamai pertumbuhannya. Aku yakin kamu bisa mendidiknya menjadi anak yang hebat. Ceritakan padanya cita-cita yang kita berdua telah impikan, membangun sebuah rumah yang indah dan bisa membawa kebahagiaan bagi siapa saja yang bernaung didalamnya.

Tunggu aku kembali Kanaya. Percayalah, kepergianku ini demi menjadikan keluarga kita kembali utuh dan bisa hidup bahagia bersama kembali. Aku akan kuat Kanaya karena aku yakin kamu juga akan kuat. Titip peluk dan cium untuk Hana ya?

Aku mencintaimu selalu dan selamanya...

___Effendi___

Isi surat itu seperti menghantam dadanya, menciptakan rasa sesak yang menyakitkan. Sambil tertunduk masih memegang surat itu, air mata Kanaya menetes satu persatu. Seakan menolak apa yang baru saja ia baca, Kanaya berteriak memanggil-manggil nama suaminya dengan pilu. Dani yang mendengar teriakan Kanaya dibalik pagar hanya bisa tertunduk diam tak bisa berbuat apa-apa. Teriakan Kanaya juga membuat Hana terbangun dan berlari keluar dari kamarnya. Mendapati ibunya menangis, gadis kecil itu langsung memeluk ibunya.

Seakan tahu isi hati ibunya, Hana mencoba menenangkan Kanaya dengan terus memeluknya. “Buna, ada Hana disini. Buna tidak sendirian, ada aku Buna. Ashana Effendi Bramantyo, anak ayah dan Buna.” Kata-kata Hana membuat Kanaya menatap putri kecilnya. Perkataan Hana membuat Kanaya sadar, benar yang dikatakan suaminya. Bahwa ia harus kuat dan bertahan, demi Hana.

Kanaya menarik nafas Panjang mencoba untuk menenangkan dirinya. Setelah merasa cukup tenang, ia menghapus air matanya. Kemudian menatap Hana dan tersenyum. “Terima kasih saying. Buna bahagia ada kamu disini. Kita harus kuat ya Hana? Agar Ayah juga bisa bertahan disana. Sekarang Ayah sedang tidak bersama kita, tapi Ayah tetap menjaga kita dari jauh,” ucap Kanaya sembari mencium kening Hana. Meskipun tidak mengerti maksud ibunya, Hana tetap mengangguk dan tersenyum.

Setelah selesai mengemas barang-barang mereka, Kanaya dan Hana keluar dari rumah yang telah empat tahun ini mereka tinggali. Kanaya menggenggam erat tangan Hana, berjanji dalam hati tidak akan melepaskannya apapun yang terjadi. “Saya sudah siap. Antarkan kami ke rumah yang telah disiapkan Effendi.” Dani pun mengangguk dan mempersilahkan Kanaya dan Hana naik ke mobil.

Terpopuler

Comments

Arisya R

Arisya R

Aaa.. surat dari ayah Hana sedih sekali.. 😭😭semangat kakk up nyaa.. 😚

2023-09-27

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!