Jam dinding dikamar Evan telah menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit ketika Evan membuka mata. Semalam ia terlalu asyik memainkan gim yang baru ia beli hingga akhirnya tidur sangat larut. Evan langsung beranjak dari tempat tidurnya dan berlari ke kamar mandi.
Rencananya pagi ini ia akan mengajak Hana untuk sarapan bersama diwarung bubur kesukaan Hana, meskipun sebelumnya ia belum memberitahukan Hana. Ia ingin membuat kejutan kecil untuk Hana karena melihat kekasihnya kemarin sedikit murung.
“Evan kamu sudah bangun ya? Ayok sini turun sarapan bareng,” teriak Carissa dari ruang makan. Benar, Evan adalah anak dari Liam dan Carissa, sahabat Effendi dan Kanaya. Evan dengan setengah berlari menuju ruang makan. Memberikan ciuman selamat pagi ke pipi Carissa sebelum meminum susu yang sudah disiapkan untuknya.
“Lah tumben banget lo dek jam segini udah cakep dikit? Jam segini buat lo kan kayaknya masih subuh ya?” ledek Ravi ketika melihat Evan sudah berpakaian rapih.
“Gue mau breakfast date. Emang kayak lo, jomblo,” balas Evan usil ke abangnya.
“Ooh lo salah besar, gue jomblo karena pilihan. Gue udah ketemu calon jodoh gue dari lima belas tahun yang lalu,” ujar Ravi santai.
Namun saat ini fokus Evan sudah beralih ke pesan singkat yang ia terima sejak lima menit yang lalu. Ternyata Maya juga mengirimkan pesan kepada Evan. Pesan yang berisikan foto keluarga Hana sewaktu Hana masih kecil. Evan tahu foto itu karena Hana pernah memperlihatkannya kepada Evan.
Beberapa detik kemudian sebuah pesan singkat kembali masuk diponsel Evan. “Gue yakin lo tau ini foto siapa. Tapi gue gak yakin lo kenal sepenuhnya dengan pemilik foto ini. Mau gue spill gak? Gue tunggu lo di taman perumahan lo sekarang juga.”
Tanpa menunggu lama, Evan segera beranjak dari kursinya dan pergi tanpa aba-aba. Membuat Carissa dan Ravi saling menatap heran dengan sikap Evan. Karena raut wajah Evan langsung berubah seratus delapan puluh derajat setelah melihat ponselnya.
Namun ternyata ada yang lebih mengusik rasa penasaran Carissa, yaitu kalimat yang Ravi katakan mengenai pertemuannya dengan calon jodohnya lima belas tahun yang lalu. Menyadari tatapan ibunya, Ravi pun heran.
“Mah, kok liatin Abang gitu banget? Ada yang aneh ya sama wajah Abang?” tanya Ravi sambil memengan wajahnya.
“Bang, lima belas tahun yang lalu emang kamu ketemu siapa sih? Kok Mama gak tahu?” tanya Carissa kembali ke Ravi dengan penuh rasa penasaran. Tidak lama kemudian Liam terlihat sudah menuju ruang makan. Langsung saja Carissa memanggil Liam agar duduk disampingnya untuk mendengarkan jawaban Ravi.
“Mas, Abang ternyata udah ada calonnya loh,” kata Carissa bersemangat pada Liam. Liam yang kini ikut merasakan penasaran, menatap Ravi meminta jawaban.
Melihat kelakuan kedua orang tuanya membuat Ravi tertawa dan malah ingin menjahili mereka juga. Ravi memberikan isyarat ingin menghabiskan sarapannya dahulu kemudian akan menjawab pertanyaan rasa penasaran mereka. “Yaudah kalau begitu Papa juga mau sarapan dulu,” kata Liam sambil menyodorkan piring ke Carissa.
Lima belas menit berlalu nyatanya tidak membuat Carissa dan Liam melupakan hal yang mereka tunggu sejak tadi. Kini mereka sudah kembali menatap Ravi yang sedang memainkan ponselnya. Sadar sedang menjadi pusat perhatian dari kedua orang tuanya, Ravi tersenyum dan meletakkan ponselnya. Ravi berlagak memperbaiki posisi duduknya seakan-akan ingin membahas hal yang sangat penting, namun dengan lucunya malah diikuti oleh Carissa dan Liam.
“Mama sama Papa ingat gak dulu kita pernah jengukin teman Papa dirumah sakit? Yang ada anak perempuannya itu loh Ma, yang aku temenin main di taman. Ingat gak?” tanya Ravi ke Carissa. Carissa dan Liam saling menatap. Mereka tidak percaya Ravi masih mengingat pertemuan mereka dengan Effendi dan keluarganya sembilan belas tahun yang lalu.
“Entah mengapa tapi Abang sampai hari ini masih suka kepikiran sama gadis kecil anak teman Mama sama Papa itu. Sejak hari itu Abang selalu bertanya-tanya kapan Abang bisa ketemu dia lagi,” kata Ravi kali ini dengan nada serius.
Mendengar perkatan anaknya, raut wajah Liam dan Carissa menjadi sedih. Carissa bahkan sampai meneteskan air mata. Bagaimana tidak, lima belas tahun yang lalu merupakan pertemuan terakhir mereka dengan Effendi dan Kanaya. Sebelum Effendi dan Kanaya berpisah, dan akhirnya kini Kanaya sudah berpulang lebih dulu.
Ravi menyadari atmosfir disekitar mereka telah berubah. Kedua orang tuanya tidak lagi bersemangat, melaikan mereka bersedih. Apalagi setelah melihat Carissa meneteskan air mata. Dengan hati-hati Ravi bertanya kepada kedua orang tuanya, apa yang terjadi sampai mereka berdua bisa menjadi sedih seperti ini mengingat pertemuan itu.
“Ravi, sebelum Papa cerita, kamu harus tahu bahwa didunia ini, tidak semua orang hidupnya bahagia dan berjalan dengan lancer sesuai dengan keinginannya. Ada sebagian orang yang harus berjuang hanya untuk sebuah senyuman dan tawa dihidupnya,” kata Liam sambil menatap Ravi dalam.
“Effendi dan Kanaya adalah orang-orang itu Ravi. Mereka berdua sahabat Papa sejak kuliah. Papa adalah saksi hidup bagaimana mereka harus berjuang demi sebuah senyuman dan tawa untuk putri kecil mereka, Hana.” Mendengar Liam menyebut nama Hana, Ravi merasakan sesuatu didalam dirinya. Seperti ada kupu-kupu kecil yang terbang didalam dadanya.
“Papa tidak tahu sekarang kehidupan Effendi seperti apa, yang Papa tahu sebulan setelah keluar dari rumah sakit, Effendi kembali ke rumah orang tuanya. Sedangkan Kanaya dan Hana…,” mulut Liam menjadi kelu membuat Ravi memajukan kursinya seperti meminta ayahnya melanjutkan ceritanya.
“Kanaya dan Hana pindah ke rumah yang sudah Effendi siapkan untuk memulai hidup baru hanya berdua. Papa tahu karena Papa membantu seluruh proses legalitas aset yang akan Effendi berikan kepada Kanaya dan Hana,” jelas Liam ke Ravi. Saat itu Effendi meminta bantuan Liam sebagai seorang pengacara untuk memastikan semua aset yang Effendi berikan kepada Kanaya dan Hana tidak bisa direbut kembali oleh ayanhya.
“Sudah sejak lama Papa tidak berkomunikasi lagi dengan dia. Effendi seakan menutup pintu untuk semua akses komunikasi dengannya. Sedangkan dengan Kanaya, masih beberapa kali bertukar kabar dengan kami. Sampai saat tiga tahun yang lalu, kami dikabari bahwa Kanaya sudah duluan berpulang.” Kali ini tangis Carissa terdengar lebih jelas. Liam memeluk istrinya, ia sangat paham kesedihan yang dirasakan istrinya. Karena selama ini Carissa-lah yang lebih sering bertukar kabar dengan Kanaya.
“Lalu Hana gimana Pa? Dimana Hana sekarang? Dia kembali tinggal dengan Om Effendi kan?” tanya Ravi khawatir. Ia tidak bisa membayangkan jika Hana harus hidup sendiri.
“Tidak nak. Hana tetap tinggal dirumahnya. Papa bahkan ragu apakah Effendi mengetahui atau tidak bawha Kanaya sudah meninggal,” jawab Liam.
Merasa istrinya sudah cukup tenang, Liam menawarkan kepada Carissa berkunjung ke makam Kanaya. Ia tahu Carissa sudah lama ingin berkunjung ke makam Kanaya. Tentu saja ajakan itu langsung disetujui oleh Carissa. Kali ini Ravi ikut bersama mereka.
...*****...
Pagi itu Hana memutuskan untuk berkunjung ke makam ibunya setetah semalaman menangis hingga tertidur. Rasa rindu yang sangat besar kembali ia rasakan setelah mendapatkan pesan dari Maya. Ia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi untuk berbagi cerita. Masih sulit rasanya untuk menceritakan semuanya kepada Evan. Hana takut menyeret Evan kedalam masalah keluarganya yang rumit, dan membuat Evan pergi meninggalkannya.
Makam Kanaya sudah mulai ditumbuhi rumput liar. Melihat hal itu, Hana kemudian mulai membersihkan pembaringan terakhir ibunya itu. Setelah semua rumput ia bersihkan, Hana lalu mengambil selembar tisu untuk membersihkan nisan makam ibunya. Namun Hana tiba-tiba menangis, meski sudah tiga tahun lamanya, membaca nama pada nisan itu tetap bisa membuatnya merasa kehilangan untuk kesekian kalinya.
Tangis yang sama ia keluarkan ketika Kanaya dinyatakan telah berpulang oleh dokter tiga tahun yang lalu. “Buna, kenapa pergi secepat ini? Hana sendirian Buna..” ujar Hana sambil terisak.
“Tuhan, apa salahku? Kenapa aku harus sendirian di dunia ini? Ayah sudah bersama keluarga barunya dan Buna sudah Engkau panggil, aku sendirian Tuhan. Tolong berikan aku kekuatan, karena aku lelah.” Hana terus saja menangis hingga tanpa sadar ia mulai kehilangan kesadarannya.
Untung saja sebelum badannya menyentuh tanah, ada seorang pria yang sigap langsung menangkap tubuhnya. Tepat sebelum Hana mulai menangis, ternyata Ravi, beserta Liam dan Carissa sudah berjalan menuju makam Kanaya. Langkah mereka terhenti ingin memberi Hana waktu untuk sendiri dahulu di pusara makam ibunya.
Namun begitu Ravi melihat Hana sudah mulai kehilangan kesadaran, ia langsung berlari menuju tempat Hana duduk dan membawa Hana dalam pelukkannya. “Maafkan aku Hana,” bisik Ravi spontan ditelinga Hana. Ravi sendiri heran mengapa ia mengatakan hal itu kepada Hana, meskipun entah Hana mendengarnya atau tidak,
Carissa menyuruh Ravi membawa Hana kedalam mobil mereka. Mereka kemudian bergegas membawa Hana kerumah sakit agar mendapatkan pemeriksaan. Carissa dan Liam khawatir melihat wajah Hana yang sangat pucat. Jangan tanya bagaimana Ravi, meskipun sudah tidak bertemu selama sembilan belas tahun lamanya, entah mengapa tetap membuatnya sangat khawatir dengan kondisi Hana.
Beberapa saat kemudian mereka tiba dirumah sakit dan Hana langsung ditangani oleh dokter. Untungnya tidak ada penyakit serius yang diderita Hana, ia hanya kelelahan dan kurang istirahat. Dokter memberitahukan pada Carissa agar Hana tetap beristirahat dan menunggu hingga cairan infus yang diberikan habis barulah ia bisa pulang.
Setelah mendengar penjelasan dokter, Carissa pergi untuk mengurus administrasi rumah sakit dan Liam ke apotek untuk menebus obat dan vitamin yang telah dokter resepkan untuk Hana. Meninggalkan Ravi yang tidak berpindah dari samping tempat tidur Hana. Sejak tadi mata Ravi hanya tertuju pada wajah Hana. “Kamu pasti udah lelah banget ya, Han,” ujar Ravi yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
“Aku ada dimana? Kamu siapa?” tanya hanya bingung menatap Ravi.
“Kamu ada dirumah sakit. Tadi kamu pingsan, jadi kamu dibawa kesini,” jawab Ravi berusaha tenang. Ia terkejut ketika Hana tiba-tiba terbangun dan bertanya kepadanya.
Tidak lama kemudian Carissa dan Liam muncul dan mendekatinya, membuat Hana semakin bingung. Melihat Hana kebingungan, Carissa mendekati Hana perlahan. “Kamu pasti bingung ya? Nama tante Carissa, ini Om Liam, dan ini anak tante Namanya Ravi. Kami sahabat orang tua kamu,” Carissa menjelaskan dengan pelan kepada Hana.
Hana merasa tidak asing dengan wajah Carissa dan Liam, seingatnya ia pernah melihat mereka hadir dipemakaman ibunya. Saat Kanaya dimakamkan, memang tidak banyak orang yang datang melayat. Jadi Hana masih bisa mengingat siapa saja yang hadir saat pemakaman ibunya.
Setelah tiga puluh menit berlalu akhirnya cairan infus Hana habis dan Hana sudah diperbolehkan pulang. Liam dan Carissa menawarkan untuk mengantar Hana pulang. Lebih tepatnya bersikeras akan mengantar Hana, membuat Hana mau tidak mau harus berkata iya. Selama perjalanan menuju ke rumah Hana, suasana sangat hening. Hanya suara tape radio mobil yang terdengar.
Tanpa Hana sadari, Ravi diam-diam sesekali menatap Hana melalui kaca mobil. Sejak tadi mereka hanya sekali saja saling bertukar kata. Meskipun banyak hal yang ingin Ravi tanyakan, tapi lidahnya kelu untuk berucap dihadapan Hana.
Akhirnya mereka tiba didepan rumah Hana. Carissa dan Liam mengantar Hana masuk kedalam rumah sementara Ravi menunggu didalam mobil. Melihat Hana masuk ke dalam rumah bersama kedua orang tuanya, membuat Ravi kembali teringat dengan cerita Liam tadi pagi kepadanya.
"Hana, boleh gak kali ini gue ngobatin lo lagi? Izinin gue buat ngobatin hati lo.." gumam Ravi sambil menatap punggu Hana yang perlahan menghilang dari pandangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Beerus 🎉
Penulisnya jenius!
2023-09-28
2