NovelToon NovelToon

Cinta Untuk Hana

BAB 1

“Ayah bangun.. tolong Ayah bangun.. siapa yang jagain Hana dan Buna kalau Ayah gak bangun?” tanya seorang gadis kecil sambil menangis tersedu-sedu.

Hana kecil tertduduk lesu disamping ibunya yang juga sedang menangis, hanya saja ibu Hana memilih untuk menangis dalam diam. Ia tidak ingin anaknya kembali menangis jika mengetahui ibunya juga menangis. Sore itu Effendi – ayah Hana, tiba-tiba jatuh pingsan. Hana yang sedang bermain bersama ayahnya sangat terkejut dan seketika menangis memanggil ibunya yang sedang berada dalam rumah. Dalam keadaan kalut mereka langsung membawa ayah Hana ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama.

“Buna, Ayah kenapa? Ayah pasti bangun kan Buna? Apa Ayah kecapean ya main sama Hana?” Seketika Kanaya – ibu Hana membawa Hana kecil ke dalam dekapannya. Dia sendiri pun tidak tahu, apakah suaminya akan kembali bangun atau tetap tertidur selamanya. Dalam hati, ia tidak berhenti berdoa agar suaminya bisa segera sadar dan berkumpul kembali bersamanya dan Hana. Hana masih terlalu kecil untuk kehilangan ayahnya, dan ia masih sangat membutuhkan suaminya. Setelah semua hal yang telah ia dan suaminya lalui untuk bersama, sungguh ia tidak rela jika harus berpisah secepat ini.

Tidak lama kemudian, seseorang menghampirinya. Kanaya, tersadar dari lamunannya, “Bagaimana keadaan suami saya Dokter?” tanya Kanaya penuh harap.

Dokter menarik nafas panjang, membuat Kanaya bertanya-tanya ada apa dengan suaminya? Apakah suaminya baik-baik saja? Kenapa suaminya bisa tiba-tiba pingsan? Banyak pertanyaan yang ingin Kanaya ajukan, tapi ia memilih untuk menunggu penjelasan dokter atas kondisi suaminya. Dokter pun memberi isyarat seakan bertanya apakah Hana baik-baik saja sembari melihat kearah Hana yang telah tertidur dikursi. Kanaya mengangguk kecil Ketika dokter melakukan hal tersebut.

“Pak Effendi terkena serangan jantung bu.” Kanaya terkejut mendengar perkataan dokter. Tanpa sadar air matanya kembali mengalir. Kanaya kembali bertanya-tanya dalam hati, kenapa bisa suaminya terkena serangan jantung? Bukankah selama ini suaminya sehat-sehat saja? Apakah suaminya tahu jika ia memiliki masalah pada jantungnya? Bagaimana dengan dirinya dan Hana nanti? Ah begitu banyak hal yang muncul dalam benak Kanaya. Namun ia yakin akan satu hal, bahwa ia harus tetap kuat untuk anak dan suaminya, Hana dan Effendi.

Kanaya kemudian menggendong Hana yang masih tertidur menuju ruang rawat ayahnya. Effendi sudah dipindahkan ke ruang rawat setelah melalui berbagai pemeriksaan untuk memastikan bahwa kondisinya sudah membaik.

“Naya…” panggil Effendi lemah.

“Iya mas? Mas mau apa? Mas lapar atau haus? Aku ambilin makan ya?”

“Maafin aku ya Naya? Kamu dan Hana pasti sangat khawatir..”

Kanaya segera memeluk suaminya, dan menumpahkan semua tangisan yang sedari tadi ia tahan. Bagi Kanaya, Effendi adalah rumahnya, begitupun sebaliknya. Apa yang telah mereka lewati berdua untuk bisa bersama membuat cinta mereka semakin kuat dan semakin besar. Terlebih lagi Ketika Hana lahir, buah cinta mereka yang kini sudah berusia lima tahun. Tiada hari yang terlewati tanpa mereka lupa mengucap rasa syukur atas apa yang telah mereka miliki.

Esoknya Hana terbangun mendengar suara yang ia tunggu-tunggu sejak kemarin. “Suara Ayah!” Hana langsung melompat dari sofa tempat ia terlelap semalam.

“Ayah kapan bangun? Ayah kok kemarin tiba-tiba tidur sih? Ayah capek ya? Maafin Hana ya Yah? Gara-gara temenin Hana main Ayah jadi kecapean..” Effendi pun tersenyum. Ia merentangkan tangannya meminta Hana memeluknya. Langsung saja disambut oleh Hana dengan penuh semangat sampai Hana melompat ke atas tubuh ayahnya membuat Kanaya kaget.

“Hana pelan-pelan! Ayah belum sehat sepenuhnya nak.” Hana seakan tidak mendengar perkataan ibunya dan tetap memeluk ayahnya dengan erat. Effendi tertawa kecil sambil melihat Kanaya.

Tok.. tok.. tok..!

Pandangan Kanaya langsung tertuju pada pintu. Siapa yang datang sepagi ini? Bukankah kunjungan dokter beberapa jam lagi? Sejak kemarin pikiran Kanaya masih belum tenang. Ada hal yang sejak kemarin, sungguh sangat ia khawatirkan. Bukan hanya mengenai Kesehatan Effendi, tapi mengenai keberadaan mereka. Ya, demi sebuah keluarga yang utuh dan bahagia, ada harga mahal yang mereka harus bayar. Beberapa tahun belakangan ini, mereka harus hidup berpindah-pindah agar tidak bisa ditemukan. “Buka aja Nay, gak apa-apa.” kata Effendi menyadari kekhawatiran istrinya.

“Mba Naya!” Carissa langsung memeluk Kanaya dengan erat. Dibelakangnya berdiri Liam, suami Carissa yang merupakan sahabat Effendi dan Kanaya. Kanaya masih mencerna situasi ini, sementara Liam menyadari ekspresi Kanaya.

“Udah aman kok, Endi sendiri yang kabarin kalau kalian lagi disini.” Kedatangan Liam dan Carissa membuat Kanaya sangat bahagia. Entah sudah berapa lama mereka tidak bertemu, selama ini mereka hanya bertukar kabar melalui pesan singkat atau sesekali berbicara melalui telepon. Hanya Liam dan Carissa yang menjadi teman setia mereka sampai saat ini.

“Papa, abang kok ditinggal!” teriak seorang anak laki-laki setengah berlari. Carissa langsung melepaskan pelukannya dan menoleh kearah suara tersebut.

Ternyata itu Ravindra, putra sulung mereka. “Astaga Mas! Kok abang sampe ditinggal sih?” Liam segera menyadari kesalahannya dan langsung menggendong Ravi. Sementara Carissa masih menatap tajam ke Liam.

“Maafin hehe.. yuk masuk. Kita jangan lama-lama depan pintu deh kayaknya.” Liam menarik tangan Carissa dan menutup pintu. Tanpa mereka sadari, sepasang mata mengawasi dari ujung koridor.

... *****...

Setelah sejam saling bertukar kabar, Kanaya tiba-tiba terdiam dan menatap Effendi. Tatapan Kanaya menyimpan berjuta kekhawatiran, apa yang akan terjadi setelah ini. “Ravi, bisa bantu Om Endi gak? Ravi bisa ajak adik Hana main diluar dulu?” Permintaan Effendi langsung disambut anggukan oleh Ravi yang memang sedari tadi memperhartikan Hana.

Kanaya kembali menatap suaminya yang dibalas dengan mengatakan tidak apa-apa. Effendi yakin Hana akan baik-baik saja. Ia akan memastikan anak dan istrinya akan baik-baik saja meskipun harus berkorban nyawa sekalipun.

“Liam, yang gue minta waktu itu sudah lo urus semua? Lo dibantu sama Dani kan?” Mendengar perkataan suaminya, tubuh Kanaya lansgung membeku. Bagaiman tidak, mendengar suaminya menyebut nama Dani membuatnya kembali mengingat kejadian empat tahun lalu. Dani, orang yang dulu setia mendampingi suaminya, justru dialah yang membuang semua barang-barang milik suaminya keluar dari rumahnya sendiri. Dan membantu Bramantyo – ayah Effendi, mengusir suaminya dan dirinya. Setiap mengingat kejadian itu, hati Kanaya seperti teriris kembali.

Effendi, yang berasal dari keluarga terpandang dan terkenal, memilih jatuh cinta dan menikahi Kanaya yang berasal dari keluarga sederhana. Hal ini membuat ayah Effendi sangat marah dan tidak terima, bahkan setelah kehadiran Hana. Puncak amarah dari Bramantyo adalah ketika perusahaan yang sejak lama menjalin kerjasama dengan perusahaan miliknya memutuskan hubungan kerja mereka dan menyebabkan kerugian yang cukup besar. Hal ini terjadi karena Effendi menolak menikah dengan putri pemilik perusahaan tersebut, Melissa Mahendra.

Lamunan Kanaya terhenti ketika Carissa menyentuh tangannya. Carissa menyadari saat ini Kanaya pasti teringat kejadian itu, kejadian yang memaksa Kanaya dan Effendi untuk hidup seperti saat ini, terus bersembunyi.

“Mba Naya jangan khawatir ya? Semua sudah diurus sm Mas Liam.” Meskipun masih belum mengerti maksud dari perkataan Carissa, Kanaya tetap tersenyum dan mengangguk.

“Makasih ya Sa, kamu dan Liam selalu ada dan selalu bisa kami andalkan. Aku gak tahu kalau gak ada kalian, mungkin akan jauh lebih berat untuk kami melewati ini.” Carissa tersenyum dan memeluk Kanaya dengan hangat.

Ada hal lain yang baru Kanaya sadari. Ada seseorang yang kurang dalam ruangan ini. “Issa, bukannya anak kamu udah dua ya? Anak kamu ada yang seumuran Hana kan? Evan ya?” Carissa tersenyum sambil menjelaskan bahwa saat ini Evan tidak ikut, karena sedang berada dirumah bersama kakek neneknya.

“Waktu tadi mau kesini, Evan masih tidur Mba, jadi gak diajak aja sekalian. Lagian kita juga sebentar langsung balik ke Jakarta lagi.” Kanaya mengangguk mengerti. Kedatangan Liam dan Carissa hari ini memberikan sedikit ketenangan untuk hatinya yang dari kemarin resah dan gelisah. Ia yakin apapun yang direncanakan oleh suaminya pasti itu untuk kebaikan mereka.

...*****...

“Aduh sakit!” Ravi pun berhenti berlari dan berbalik. Dibelakangnya Hana sudah menagis kesakitan sambil memegang lututnya. Ravi yang terkejut segera menghampiri Hana dan membantunya berdiri. Dengan perlahan Ravi membantu Hana berjalan menuju bangku yang terletak diujung taman tempat mereka bermain.

Ravi kemudian mengambil sapu tangan disakunya dan perlahan membersihkan luka yang ada pada lutut Hana. Ravi pun berlutut untuk mengikatkan sapu tangannya dilutut Hana yang terluka, kemudian menatap Hana. “Maafin kakak ya Hana, karena kakak tidak bisa jagain kamu. Mulai saat ini kakak gak akan biarkan kamu terluka lagi.” Hana tersenyum dan memeluk Ravi sambil mengucapkan terima kasih.

Carissa dan Kanaya berjalan menuju ke taman untuk menjemput Ravi dan Hana. Namun langkah kaki Kanaya terhenti melihat sesosok laki-laki yang tidak asing baginya, sedang memperhatikan Ravi dan Hana. Hanya saja Kanaya ragu apakah benar itu laki-laki yang ia pikirkan ataukah hanya perasaannya saja.

“Buna, aku disini!” teriakan Hana membuat laki-laki itu menyadari kehadiran Kanaya yang sedari tadi memperhatikannya. “Benar, itu Dani, tidak salah lagi.” gumam Kanaya. Kanaya berlari mengejar Dani meninggalkan Carissa yang sudah berada dengan Ravi dan Hana.

Bruk!

Dani menabrak sebuah kursi sampai terjatuh, dan untung saja karena hal itu Kanaya berhasil menyusul Dani. “Mau apa kamu kesini? Kenapa kamu bisa tahu kami disini? Kamu disuruh Papi Bram kan buat mengawasi kami?” tanya Kanaya tajam kepada Dani.

“Bu Naya, tolong tetap bertahan dan tetap kuat. Demi Pak Effendi, Nona Hana dan Nyonya Alita,” ujar Dani tanpa ekspresi sambil berlalu pergi meninggalkan Kanaya.

BAB 2

Udara pagi yang sejuk dan suara alam yang tenang, memang bisa menjadi obat penenang alami. Setelah sebulan keluar dari rumah sakit, Effendi memutuskan untuk mengajak Hana dan Kanaya berlibur disalah satu daerah puncak di Bandung. Dengan sangat riang Hana berlarian di taman depan vila yang mereka tempati. Vila sederhana dengan pemandangan luar biasa. Pohon-pohon tinggi menjulang, deru suara air sungai terdengar samar-samar. Burung berkicau saling bersahut-sahutan.

Rasanya sangat sempurna ketika melihat Hana dan Kanaya tertawa gembira, namun Effendi justru merasa bersalah dalam hatinya. “Aku mohon, tetaplah tertawa seperti ini meskipun kita tidak bersama.” Effendi menangis dalam diam.

“Mas, kamu kenapa? Apa yang sedang kamu pikirkan?” Effendi tidak menyadari Kanaya sudah berdiri dihadapannya. Kanaya bisa merasakan bahwa suaminya sedang memiliki beban pikiran yang sangat berat. Sejak keluar dari rumah sakit, Effendi memang lebih sering melamun dan berdiam diri. Setelah mendengar cerita Kanaya yang bertemu dengan Dani saat dirumah sakit, ketakutan seakan menghantui Effendi tiap saat. Kini ia dihadapkan oleh pilihan yang sangat sulit.

“Aku bersyukur dan sangat bahagia memiliki kamu dan Hana. Tidak ada sedikitpun penyesalan dalam diriku telah melepaskan semua yang aku punya demi bersama kamu Naya.” Kata-kata yang indah tapi mampu membuat Kanaya menagis haru dipelukan suaminya. Jauh sebelum Effendi mengatakan ini, Kanaya pun merasakan hal yang sama. Setiap hari ia bersyukur karena telah memiliki Effendi dan Hana dihidupnya.

“Buna, Hana lapar.” Effendi dan Kanaya seketika tertawa melihat putrinya yang sudah cemberut. “Ayo bertahan lebih lama lagi.” Ujar Effendi pada sambil menatap Hana. Perkataan ayahnya sukses membuat Hana kebingungan.

Selama perjalanan pulang kerumah Hana tertidur dengan lelap. Bagaimana tidak, setengah dari hari ini ia habiskan untuk berlarian mengejar kupu-kupu dan burung yang ia temukan. Bahkan setibanya mereka dirumah Hana pun masih tetap tertidur. Setelah membawa Hana masuk ke kamarnya, Effendi duduk ditaman belakang rumahnya menyusul Kanaya. Taman itu tidak luas, beratapkan kaca bening, dan terdapat beberapa bunga disetiap sudutnya. Tapi taman itu selalu memberikan ketenangan bagi dia dan Kanaya. Jangan tanya bagi Hana, tentu saja taman itu merupakan tempat bermain favoritnya.

Effendi menggenggam tangan Kanaya dengan hangat sambil menatap langit malam yang cerah. Disebelahnya Kanaya duduk dengan menyandarkan kepalanya dibahu Effendi. Mereka sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing, sebelum suara dari pintu ruang tamu terdengar. Tersadar dari lamunan, mereka saling bertatapan. Siapa yang datang disaat seperti ini? Terlebih lagi, siapa yang mengetahui mereka tinggal disini? Jangan salah paham, Effendi dan Kanaya adalah tetangga yang baik, mereka hanya sedikit menutup diri dari orang lain.

...*****...

Suara ketukan kembali terdengar. Kali ini disertai dengan suara seorang wanita. “Nay, itu suara..” mata Effendi tertuju kembali pada pintu ruang tamu. Kanaya tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. Ia tahu suaminya begitu merindukan ibunya, ia pun sangat merindukan ibu mertuanya. Alita – ibu Effendi berdiri dibalik pintu. Ingin rasanya Kanaya segera berlari membuka pintu itu dan memeluk Alita, tapi langkahnya terhenti. Ia takut jika menemukan sosok Bramantyo ikut bersama ibu mertuanya. “Mas, Mami..” Kanaya menoleh ke arah Effendi. Ia tahu suaminya juga memikirkan hal yang sama.

Alita yakin anak dan menantunya ada dibalik pintu. Ibu mana yang bisa menahan rindu terpisah dari anaknya selama bertahun-tahun. Alita kembali mengetuk, namun kali ini Alita mengatakan sesuatu yang tidak bisa membuat Effendi maupun Kanaya tetap diam dibalik pintu. “Mami kangen banget nak, tolong buka pintunya.” Benar saja, ketika Effendi membuka pintu, Alita langsung memeluk Effendi penuh haru. Rasa rindu yang telah ia pendam bertahun-tahun lamanya hari ini bisa ia lepaskan dipelukan putra semata wayangnya.

Kanaya mengambil jarak dibelakang suaminya, memberikan ruang pada ibu mertunya untuk melepaskan rindunya kepada putranya. Ada rasa hangat yang masuk kedalam hati Kanaya melihat pemandangan ini. Ia merasa sangat bersalah karena telah membuat Effendi mengambil jalan untuk berpisah dengan ibunya sendiri demi tetap bersamanya. “Maafkan aku Tuhan, maafkan aku karena aku telah egois memisahkan seorang putra dengan ibunya..” ucap lirih Kanaya sambil menyembunyikan tangisnya.

“Naya, sini nak.. Mami juga kangen sama kamu..” Kanaya pun berjalan perlahan menuju Alita. Air mata mulai membasahi pipinya, betapa ia sangat merindukan pelukan hangat seorang ibu. Kanaya sejak remaja telah menjadi yatim piatu, itulah mengapa Bramantyo tidak pernah bisa menerima Kanaya bersanding dengan putra semata wayangnya. Baginya, Kanaya hanya seorang wanita yatim piatu yang tidak jelas asal usulnya dari mana. Sebuah aib besar bagi seorang Bramantyo Permadi jika orang-orang tahu bahwa ia memiliki menantu yang bukan siapa-siapa.

Bagi Kanaya, Alita adalah kesempatan kedua yang diberikan Tuhan untuknya, kesempatan untuk berbakti kepada seorang ibu. Kanaya sangat menyayangi Alita dan selalu menganggap Alita adalah ibu kandungnya. Alita menjadi salah satu alasan mengapa Kanaya bisa tetap bertahan dalam pernikahannya dengan Effendi. Karena berbeda dengan Bramantyo, Alita memperlakukan Kanaya dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Layaknya seorang ibu menyayangi dan mengasihi anaknya sendiri.

Suasan haru terhenti ketika terdengar suara dari arah kamar Hana. Hana yang sedari tadi sudah terbangun mencari dimana ibu dan ayahnya. Hana berjalan keluar kamar sambil membawa boneka kesayangannya. "Ayah, Buna, kok diem aja waktu Hana cariin?" protesnya setengah merengek.

Hana yang masih belum sepenuhnya sadar, belum menyadari keberadaan Alita. Perlahan Alita mendekati Hana. Tatapan takjub diberikan Alita kepada Hana, rasanya baru kemarin ia menggendong Hana ketika baru lahir. Dalam hati ia membatin, jika saja hati suaminya tidak sekeras batu, mungkin saat ini mereka sedang bermain bersama cucu tercintanya ini.

Hana bersembunyi dibalik tubuh ayahnya. Ia merasa asing dengan kehadiran Alita. Menyadari hal itu, Effendi kemudian menggendong Hana. "Hana, ini Buna-nya Ayah. Hana bisa panggil Buna-nya Ayah dengan sebutan Oma. Cium tangan dulu sayang." Hana masih sedikit takut ketika melaksanakan perintah ayahnya. Apalagi ketika melihat Alita menangis setelah Hana mencium tangannya. Hana jadi ikut menangis, karena berpikir bahwa ia telah membuat ibu dari ayahnya menangis.

Melihat Hana menangis, Alita buru-buru menghapus air matanya dan membelai lembut rambut cucunya. Melihat Hana, seperti melihat Effendi saat kecil. "Oma nangis bukan karena sedih kok sayang, Oma nangis karena bahagia banget bisa ketemu kamu lagi. Oma kangen banget sama Hana." Alita mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam tasnya, hadiah yang sudah ia siapkan untuk cucu tercintanya. Sebuah kalung berinisialkan nama Hana dengan permata kecil membentuk hurufnya.

Hana begitu bahagia ketika menerima kalung pemberian dari Alita. Ia pun berjanji tidak akan menjaga dan tidak akan melepaskan kalung itu. Malam itu berlalu dengan penuh kehangatan yang telah hilang selama enam tahun lamanya. Menyisahkan kenangan indah untuk keluarga kecil mereka ditengah banyaknya kenangan buruk yang tersimpan. Namun ternyata tidak ada yang bisa menyangka, bahwa setelah ini takdir menyakitkan harus mereka alami.

...*****...

Malam semakin larut, langit menjadi semakin gelap. Tak ada satupun bintang menghiasi langit saat itu. Awan pun menutupi cahaya bulan. Satu persatu tetesan hujan turun membasahi bumi. Semesta tahu, bahwa malam ini mungkin akan menjadi malam terakhir bagi mereka untuk bisa tertawa bersama. Ya, kunjungan ibunya tadi bukan hanya sekedar melepas rindu, tetapi juga membawa kabar yang mungkin akan mengubah hidup Effendi dan keluarganya.

“Bagaimana aku harus memberitahu kepada Kanaya mengenai hal ini? Dia pasti akan kembali terluka..” ucap Effendi lirih. Langkah kakinya terasa berat ketika berjalan menuju kamar tidurnya. Ia yakin Kanaya sudah menunggunya dengan segudang pertanyaan. Effendi bisa merasakan bahwa sejak tadi, Kanaya pun bertanya-tanya apa maksud dibalik kedatangan Alita. Meskipun sangat bahagia bisa berkumpul bersama walau hanya sesaat, tapi Kanaya yakin ada hal lain selain rindu yang ingin Alita sampaikan.

Benar saja, begitu Effendi membuka pintu kamar, ia bisa langsung melihat tatapan istrinya. Sejak Alita pulang, Kanaya sudah menunggu suaminya untuk menjelaskan maksud kedatangan ibu mertunya itu. Sebelum berjalan kearah Kanaya, Effendi menatap seisi kamar tidurnya itu. Ruangan itu tidak besar, tapi cukup untuk meletakkan sebuah ranjang besar. Terdapat sofa panjang tepat dibawah jendela dan sebuah meja rias disamping tempat tidur. Kamar itu menjadi tempat untuk Effendi dan Kanaya memadu kasih, saling menyemangati, dan menjadi tempat istirahat setelah mereka melewati hari yang berat.

Melihat sikap suaminya itu membuat Kanaya beranjak dari tempat tidur untuk menghampiri Effendi. Seperti waktu untuk tetap bersama suaminya sudah tidak akan lama lagi, Kanaya memeluk Effendi dengan sangat erat. Ada rasa sesak yang ia rasakan di dalam hatinya. Kini ia tahu maksud kedatangan dari ibu mertuanya. Mereka berdua sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

“Apa kali ini kita benar-benar harus berpisah Mas? Apa sudah tidak ada lagi yang bisa kita lakukan?” suara Kanaya bergetar memecah keheningan diantara mereka. Effendi kembali mengencangkan pelukkannya. Kali ini, ia tidak mampu menyembunyikan air matanya lagi. Effendi merasa bersalah karena telah gagal menjaga keutuhan keluarganya.

“Bolehkah aku sekali lagi egois Naya? Bolehkah sekali lagi aku minta kamu untuk tetap kuat dan bertahan? Sekali lagi kita harus berjuang Naya.. untuk kita.. untuk Hana..” permintaan Effendi disambut anggukkan Kanaya dalam pelukannya.

Mereka berdua berjalan menuju kamar Hana. Effendi membuka pintu kamar Hana dengan perlahan dan masuk bersama Kanaya. Hana kembali tidur setelah Alita pulang. Kanaya membelai lembut kepala Hana, sementara Effendi menggenggam tangan Hana. Hanya suara rintik hujan yang terdengar. Ingin rasanya membuat waktu berhenti agar pagi tidak datang. Namun nyatanya itu mustahil. Mereka berdua saling berpelukan dengan Hana berada diantar mereka. Waktu mereka sudah tidak banyak lagi. Bahkan mungkin, sudah tidak ada esok untuk mereka berdua bisa berpelukan seperti ini.

...*****...

Kanaya terbangun dari tidurnya setelah mendengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Semalam ia dan Effendi tertidur dikamar Hana. Sementara Hana masih tertidur, Kanaya mencari keberadaan suaminya. Sebelum menemukan sosok Effendi, suara ketukan kembali terdengar. Dengan enggan Kanaya berjalan menuju pintu dan membukanya. Betapa terkejutnya ia melihat sosok Dani dibalik pintu itu. Belum sempat mengajukan pertanyaan, Dani langsung memberikannya sebuah amplop kepadanya.

Amplop berwarna coklat dengan ukuran sedang. Tidak ada tulisan apapun pada amplop itu, sehingga membuat Kanaya ragu-ragu untuk menerimanya. Namun rasa penasarannya lebih besar dari rasa ragunya. Dengan hati-hati Kanaya menerima amplop itu dan mengeluarkan isi amplop itu. Didalamnya terdapat buku tabungan dan sebuah kunci rumah. Dengan tatapan heran ia menatap Dani. “Silahkan dibaca dulu suratnya Bu. Saya akan tunggu Bu Naya dan Nona Hana diluar,” ujar Dani sambil memberikan sepucuk surat kepada Kanaya.

Untuk istriku, Kanaya..

Maafkan aku harus pergi seperti ini. Maaf aku tidak menunggumu bangun agar bisa berpamitan. Aku tidak ingin melihatmu menagisi kepergianku. Demi Tuhan Naya, terlalu berat untukku meninggalkanmu dan Hana. Tapi maafkan aku, aku harus pergi. Demi keselamatanmu dan Hana, biarkan aku berkorban. Aku tidak bisa membayangkan bisa hidup didunia yang tidak ada kamu dan Hana didalamnya. Meski jarak memisahkan kita, tapi aku bisa tenang jika kalian baik-baik saja.

Kanaya, dalam amplop ini ada buku tabungan dan sebuah kunci rumah yang nantinya bisa kamu gunakan untuk hidup bersama Hana. Aku telah menyiapkan sebuah rumah untuk kamu tinggali bersama Hana. Hiduplah dengan tenang disana bersama Hana, kepergianku ini menjadi jaminannya Naya. Buku tabungan itu berisikan sejumlah uang yang bisa kamu gunakan untuk keperluan hidup dan biaya sekolah Hana sampai selesai nantinya. Aku sangat mencintaimu Kanaya, hanya kamu satu-satunya wanita dihatiku. Hatiku akan selamanya tertutup untuk orang lain, karena kamulah kuncinya Kanaya. Tolong besarkan malaikat kecil kita ya Nay? Maaf aku tidak disampingmu untuk membersamai pertumbuhannya. Aku yakin kamu bisa mendidiknya menjadi anak yang hebat. Ceritakan padanya cita-cita yang kita berdua telah impikan, membangun sebuah rumah yang indah dan bisa membawa kebahagiaan bagi siapa saja yang bernaung didalamnya.

Tunggu aku kembali Kanaya. Percayalah, kepergianku ini demi menjadikan keluarga kita kembali utuh dan bisa hidup bahagia bersama kembali. Aku akan kuat Kanaya karena aku yakin kamu juga akan kuat. Titip peluk dan cium untuk Hana ya?

Aku mencintaimu selalu dan selamanya...

___Effendi___

Isi surat itu seperti menghantam dadanya, menciptakan rasa sesak yang menyakitkan. Sambil tertunduk masih memegang surat itu, air mata Kanaya menetes satu persatu. Seakan menolak apa yang baru saja ia baca, Kanaya berteriak memanggil-manggil nama suaminya dengan pilu. Dani yang mendengar teriakan Kanaya dibalik pagar hanya bisa tertunduk diam tak bisa berbuat apa-apa. Teriakan Kanaya juga membuat Hana terbangun dan berlari keluar dari kamarnya. Mendapati ibunya menangis, gadis kecil itu langsung memeluk ibunya.

Seakan tahu isi hati ibunya, Hana mencoba menenangkan Kanaya dengan terus memeluknya. “Buna, ada Hana disini. Buna tidak sendirian, ada aku Buna. Ashana Effendi Bramantyo, anak ayah dan Buna.” Kata-kata Hana membuat Kanaya menatap putri kecilnya. Perkataan Hana membuat Kanaya sadar, benar yang dikatakan suaminya. Bahwa ia harus kuat dan bertahan, demi Hana.

Kanaya menarik nafas Panjang mencoba untuk menenangkan dirinya. Setelah merasa cukup tenang, ia menghapus air matanya. Kemudian menatap Hana dan tersenyum. “Terima kasih saying. Buna bahagia ada kamu disini. Kita harus kuat ya Hana? Agar Ayah juga bisa bertahan disana. Sekarang Ayah sedang tidak bersama kita, tapi Ayah tetap menjaga kita dari jauh,” ucap Kanaya sembari mencium kening Hana. Meskipun tidak mengerti maksud ibunya, Hana tetap mengangguk dan tersenyum.

Setelah selesai mengemas barang-barang mereka, Kanaya dan Hana keluar dari rumah yang telah empat tahun ini mereka tinggali. Kanaya menggenggam erat tangan Hana, berjanji dalam hati tidak akan melepaskannya apapun yang terjadi. “Saya sudah siap. Antarkan kami ke rumah yang telah disiapkan Effendi.” Dani pun mengangguk dan mempersilahkan Kanaya dan Hana naik ke mobil.

BAB 3

Sembilan belas tahun kemudian..

Cuaca sore itu sedikit berawan, entah akan turun hujan atau hanya menyembunyikan matahari sementara. Pada sebuah pohon besar ditengah taman terlihat seorang gadis sedang duduk bersantai. Tiupan angin sepoy-sepoy menerbangkan rambut gadis itu dengan perlahan. Nampak gadis itu menikmati angin menyapu wajahnya. Sambil menutup mata dengan earphone ditelinganya ia menikmati alunan musik yang terputar dari ponselnya.

Hana, gadis yang sedang berada dibawah pohon itu adalah dia. Hana kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan manis. Meskipun tidak suka memakai riasan seperti gadis seusianya, paras Hana tetap menawan. Tak perlu memakai lipstick, bibir Hana sudah memperlihatkan warna merah muda lembut dengan manis. Rambut hitam yang dimilikinya menjutai lurus sampai dibawah pundak, membuat wajah Hana terlihat sempurna. Walau tidak memiliki postur tubuh setinggi model-model yang ada pada majalah, tetap membuat banyak kaum adam memuji Hana.

Kanaya telah berhasil menepati janji kepada suaminya. Ia membesarkan Hana menjadi seorang gadis hebat, memiliki hati penyanyag dan pekerja keras. Kecukupan harta yang ditinggalkan ayahnya tidak membuat Hana dengan santai. Sejak tahun pertama memasuki dunia perkuliahan, Hana sudah mulai mencari pekerjaan sampingan. Ia tidak ingin bergantung pada uang ayahnya. Hidup berdua dengan ibunya selama bertahun-tahun membuat Hana perlahan kehilangan rasa kepada ayahnya.

Bagi Hana, Effendi hanyalah ayah yang tidak pernah ia lihat lagi wujudnya selama sembilan belas tahun terakhir dihidupnya. Ia memutuskan untuk tidak mengharapkan kepulangan ayahnya. Apalagi setelah melihat potret ayahnya bersama keluarga barunya disebuah majalah beberapa tahun yang lalu. Dalam potret itu, ia melihat ayahnya tersenyum bersama dengan istri dan seorang gadis seusianya.

Melissa Mahendra, wanita yang dulu pernah dijodohkan dengan ayahnya, kini menggantikan posisi ibunya, Kanaya. Namun hal yang paling membuatnya terluka adalah ketika melihat senyum ayahnya kepada gadis lain yang berada dalam foto itu. Sasmaya Xander Lyman. Putri sambung ayahnya, anak dari Melissa dari suaminya terdahulu. Rupanya pernikahan Melissa dengan ayah Maya tidak berjalan lancer, sehingga mereka berpisah begitu Maya berusia sepuluh tahun.

Sejak melihat foto keluarga baru ayahnya dimajalah itu, Hana selalu bertanya dalam hati, mengapa ayahnya tidak pernah datang mengunjunginya sekalipun. Ia yakin bahwa ayahnya tahu dimana keberadaannya dan ibunya. Apalagi ternyata ia dan Maya ternyata saat ini berada dikampus yang sama. Bukan sebagai orang asing yang tidak saling mengenal, Hana dan Maya beberapa kali terlibat dalam beberapa kegiatan karena mereka berdua berada dalam organisasi yang sama.

Namun hal yang kadang mengusiknya, mengapa Maya tidak pernah mengatakan apapun kepadanya. Apa mungkin Maya tidak tahu bahwa ia adalah putri kandung dari ayah sambungnya? Walau sebenarnya ia berharap tidak ada satupun orang yang mengetahui bahwa ia adalah putri dari Effendi Barmantyo. Ia tidak ingin diberikan label putri yang tidak diinginkan oleh orang-orang yang mengenal keluarga ayahnya. Nyatanya saat ini kehidupan ayahnya begitu terlihat sempurna. Kehadirannya saat ini akan menjadi cacat dari kesempurnaan itu.

“Han.. Hanaaaaaaa.. yaaaaang..” bisik seorang pria yang sudah duduk disampingnya sejak tadi. Hana tidak menyadari kehadiran Evan yang sudah duduk disampingnya hampir lima belas menit. Sejak dulu hobi Evan memang memperhatikan Hana diam-diam, bahkan sampai saat ini mereka sudah menjadi sepasang kekasih. Evan adalah pria yang berhasil masuk kedalam hati Hana setelah Hana menutup hatinya untuk pria manapun karena rasa kecewanya kepada ayahnya.

Hana yang kaget dengan kehadiran Evan reflek menggeser posisi duduknya dan melihat sekelilingnya. Jalinan kasih yang sudah mereka rajut sejak dua tahun lalu nyatanya belum diketahui oleh banyak orang. Bukan karena malu Evan sebagai kekasihnya, hanya saja Hana sudah terbiasa hidup dengan membatasi orang-orang yang masuk dalam kehidupannya. Karena itu hanya sahabatnya saja dan sahabat Evan yang mengetahui hubungan mereka. Hidupnya terlalu rumit untuk menjadi bahan pembicaraan orang lain.

Awal pertemuan Hana dan Evan sedikit seperti cerita film-film romansa. Evan bertemu Hana disebuah gang dekat restoran tempat Hana bekerja. Karena restoran tempatnya bekerja hanya berjarak sepuluh menit dari rumahnya, Hana memutuskan untuk berjalan kaki menuju rumah. Sialnya malam itu Hana bertemu preman yang ingin merampoknya. Untung saja Evan lewat dan segera membantu Hana. Namun kejadian itu lantas tidak membuat mereka langsung menjadi dekat. Butuh waktu cukup lama bagi Evan untuk meluluhkan hati Hana.

Evan dapat meluluhkan hati Hana setelah mendapatkan puluhan penolakan dari Hana sendiri. Untung saja Evan bukan tipe laki-laki yang mudah menyerah. Berbagai cara ia lakukan agar Hana bisa menerimanya. Mulai dari perhatian akan hal kecil sampai beberapa tindakan nyata yang ia lakukan demi Hana. Pernah suatu waktu, Hana terbaring sakit. Selama beberapa hari ia tidak menampakkan diri dikampus. Tentu saja hal ini membuat Evan bertanya-tanya dan khawatir.

Setelah bertanya ke beberapa teman Hana, Evan pun mengetahui bahwa Hana sedang tidak sehat. Ia berinisiatif memberikan Hana kejutan dengan mengirimkan sebuah bucket bunga mawar merah dengan sebuah pesan terselip diantara bunga itu. Tentu saja ia mengirimkan bunga ini setelah memastikan bunga favorit pujaan hatinya tersebut kepada sahabat dekatnya.

"Kamu tahu apa persamaan bunga ini sama kamu? Kamu dan bunga ini sama-sama cantik. Get well soon Hana.. Hari-hari aku jadi hitam putih karena gak ada kamu yang mewarnainya hehehe.." Pesan ini sukses membuat Hana tersipu saat membacanya. Sejak hari itu Hana perlahan membuka hati untuk Evan, meskipun masih membuat sedikit jarak, Evan dengan sabar menunggunya.

Kesabaran Evan berbuah manis diusia pendekatan menuju delapan bulan. Hati Hana sudah benar-benar luluh. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana perasaan Evan saat Hana berkata menerima cintanya. Sejak saat itu Evan menjadi rumah kedua baginya. Bahkan kini menjadi satu-satunya rumah baginya. Evan menjadi tempat bagi Hana untuk berkeluh kesah dan menumpahkan seluruh isi hatinya.

"Lagi mikirin apa sih sayang? Sampe-sampe kamu gak sadar aku udah disini dari tadi. Kamu mikirin cowok lain ya?" ucap Evan menggoda Hana. Hana yang sudah terbiasa dengan sikap jahil Evan tertawa dan mencubit gemas pipi kekasihnya itu. Duduk dibawah pohon bersama dan bercanda seperti ini sudah menjadi kebiasaan mereka berdua sejak awal menjalin hubungan. Tidak seperti pasangan lain yang lebih sering jalan berdua kemana-mana, mereka lebih memilih menghabiskan waktu seperti ini saling bertukar cerita dan tertawa bersama.

Evan mengambil tangan Hana untuk diletakkan diatas tangannya. Dengan lembut ia mengusap tangan Hana kemudian menatap mata Hana dalam. "Han, kamu harus selalu ingat ada aku disini untuk kamu. Aku gak akan ninggalin kamu, aku sayang banget sama kamu Hana. Kamu tahu kan kalau gak ada kamu, duniaku bakal hitam putih aja warnanya?" Setelah mengatakan hal itu, Evan membawa Hana ke dalam pelukkannya. Hal itu membuat hanya meneteskan air mata. Hana menangis dalam diam.

Evan tidak pernah keberatan jika Hana selalu menolak ajakkannya untuk sekedar makan bersama dimall atau nonton dibioskop. Bagi Evan apapun yang membuat Hana nyaman, akan ia lakukan dengan senang hati. Evan tahu ada hal yang tidak bisa Hana ceritakan kepadanya, dan Evan tidak pernah memaksa Hana untuk menceritakan tersebut. Ia yakin suatu saat nanti ketika Hana siap, Hana akan menceritakan semuanya.

Ternyata sore itu mereka tidak sendiri, ada seorang gadis yang memperhatikan mereka dari kejauhan. Gadis dengan paras diatas rata-rata, dengan tubuh ideal layaknya seorang model. Rambut kecoklatannya terikat rapih dengan beberapa helai terjuntai dikedua sisi wajahnya. Pada wajahnya tersapu makeup tipis yang membuatnya terlihat semakin cantik. Mata coklatnya menatap tajam kearah sepasang kekasih yang sedang duduk dibawah pohon ditengah taman itu.

Gadis itu mengepalkan tangannya dengan geram. Ia tidak suka hal yang barusan ia lihat. "Udah gue duga, pasti mereka ada apa-apa. Ternyata firasat gue benar buat ngikutin mereka. Sial! Kenapa harus Hana sih? Gak akan gue biarin lo bahagia setelah lo ngambil Evan dari gue, Hana!" Gadis itu beranjak pergi setelah memastikan apa yang ia curigai belakangan ini. Ia adalah Sasmaya, saudara tiri Hana.

...*****...

Semesta berjalan dengan sendirinya tanpa memperdulikan orang lain. Membuat Hana, Evan, dan Maya kali ini berada dilingkar kehidupan yang sama. Siapa sangka Hana akan berada diantara Maya dan Evan. Nyatanya Maya-lah yang lebih dulu mengenal Evan. Dan Maya-lah yang lebih dulu jatuh cinta kepada Evan. Maya jatuh cinta pada Evan sejak mereka duduk dibangku sekolah menengah.

Namun sayang, saat itu semesta belum memihak pada Maya. Berkali-kali Maya mencoba menarik perhatian Evan. Bahkan dengan rasa percaya diri yang tinggi, Maya secara terang-terangan mendekati Evan. Ia sangat yakin Evan akan tertarik dengannya, toh selama ini banyak laki-laki yang antri untuk mendekatinya. Tapi hal itu tidak berlaku untuk Evan. Evan bagaikan gunung es yang sangat sulit mencair. Maya sangat frustasi karena semua usahanya tidak menghasilkan apa-apa. Evan sama sekali tidak memberikan respon apa-apa. Bahkan ketika Evan tahu bahwa Maya juga sengaja masuk ke universitas yang sama dengannya, Evan tetap tidak melirik Maya.

Kini melihat Evan bersama Hana, membuat kesabaran Maya habis. Ia tidak bisa terima bahwa Hana yang bukan siapa-siapa bisa mendapatkan Evan bahkan tanpa berusaha sedikit pun. Justru Evan-lah yang mengejar-ngejar Hana. Memikirkannya saja sudah membuat emosi Maya sampai diubun-ubun. Ia tidak bisa membiarkan Hana memiliki apa yang selama ini ia inginkan. Kali ini ia bertekad untuk mendapatkan Evan apapun caranya.

Setelah membalas pesan Evan sebelum tidur, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Hana. Betapa terkejutnya ketika melihat pesan itu, bukan karena berasal dari nomor yang tidak ia kenali, melainkan isi pesan itu sendiri. "Ashana Effendi Bramantyo. Gue tahu siapa lo sebenarnya. Percuma lo sembunyiin identitas lo." Hana mematung untuk beberapa saat. Pikirannya berkecamuk penuh tanda tanya. Tidak ada satu orang pun yang mengetahui nama lengkapnya. Sejak awal ia masuk sekolah, ibunya memutuskan untuk tidak memakaikan nama lengkapnya demi menyembunyikan identitas Hana yang sebenarnya.

Ketakutan mulai mendatangi Hana. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia merasa telah membuat usaha dan pengorbanan ibunya selama ini sia-sia. Selama ini ibunya rela berdiam diri dirumah dan hanya keluar seperlunya saja, melakukan apapun agar mereka bisa hidup dengan tenang termasuk menutup diri dari siapa pun. Ibunya takut kalau keluarga ayahnya akan menyakitinya. Ia bahkan rela memutus kontak dari semua orang yang ingin membantunya. Semua demi agar Hana bisa hidup tenang.

"Buna, Hana harus apa sekarang?" Hana menangis sambil menatap foto ibunya. Foto yang menjadi foto terakhir Hana bersama ibunya sebelum ia benar-benar sendiri. Dalam foto itu Kanaya terlihat kehilangan banyak berat badannya. Meski tersenyum bahagia, namun tetap saja ada kekosongan yang terpancar dari sorot matanya.

Takdir kembali memberikan pukulan berat kepada keluarga mereka. Kali ini Hana yang harus merasakan pukulannya. Belum cukup rasanya ia hidup tanpa sosok seorang ayah, kini ia harus hidup tanpa sosok seorang ibu untuk selamanya. Kanaya telah berpulang sejak tiga tahun yang lalu, meninggalkan Hana untuk bertahan sendirian.

Menahan rindu nyatanya tidak mudah bagi Kanaya. Bertahun-tahun mencoba tetap bertahan dan kuat demi Hana, justru semakin membuat ia merindukan sosok suaminya. Tidak adanya tempat berbagi cerita dan keluh kesah, membuatnya menyimpan sendiri semua dalam dada. Rasa sesak yang kian menumpuk perlahan-lahan menggerogoti Kanaya dari dalam. Kesehatannya perlahan menurun, tubuh Kanaya terus melemah. Hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti dan menyerahkan estafet penantian panjangnya kepada Hana.

"Maafkan Hana, Buna.. Hana akan berusaha melewati ini semua.. Tolong sesekali hadir dalam mimpi Hana ya Buna? Hana kangen." Tangis pilu Hana terdengar dari dalam kamar. Begitu pilu hingga membuat siapapun yang mendengarnya mungkin akan merasakan sakitnya juga.

Setelah puas menumpahkan kesedihannya, Hana kembali menatap ponselnya. Ia kembali membaca isi pesan singkat itu. Ada satu nama yang muncul didalam pikirannya setalah membaca kembali pesan itu. Hanya saja ia bertanya-tanya, mengapa baru muncul sekarang jika selama ini orang itu hanya diam. Mencoba menepis rasa takutnya, ia pun memberanikan diri untuk membalas pesan tersebut. “Sepertinya kamu salah orang,” ketik Hana singkat.

Berharap setelah ini pesan itu cukup berhenti sampai disitu saja. Hana tidak ingin tahu siapa yang mengirim pesan itu. Ada banyak hal yang ia harus pikirkan saat ini. Hidupnya belum kembali tertata normal sejak kepergian ibunya. Bahkan setelah tiga tahun lamanya ia masih sangat berduka. Bagaimana tidak, ia telah kehilangan satu-satunya tumpuan hidupnya. Ia telah kehilangan rumahnya.

Ting!

Ponsel Hana berbunyi menandakan ada sebuah pesan singkat yang masuk. Semesta pasti sedang bercanda kepadanya. Hana meraih ponselnya perlahan dan menatap layarnya sejenak. Separuh dirinya tidak ingin melihat isi pesan itu, namun separuhnya lagi seperti ingin menggerakkan tangannya membuka pesan itu. Sambil menarik nafas panjang, Hana akhirnya membuka pesan tersebut.

Kali ini pesan itu berisikan sebuah gambar. Tidak, lebih tepatnya sebuah foto keluarga kecil yang bahagia. Foto yang sangat ia kenali karena ia pun memiliki foto tersebut diatas meja belajarnya. Ada seorang pria yang tersenyum manis sedang menggendong seorang anak perempuan yang tertawa. Disebelahnya berdiri seorang wanita dengan senyum yang teduh dan berparas cantik sedang merangkul pinggang pria itu.

Foto itu adalah foto sewaktu Hana masih kecil bersama kedua orang tuanya. Satu-satunya foto yang ia miliki bersama ayahnya. Hanya dua orang yang memiliki foto itu, dirinya dan ayahnya. Apa ayahnya yang mengirim pesan ini? Tapi mengapa ayahnya mengirim pesan seperti ini? Tujuannya apa? Banyak pertanyaan yang muncul dalam kepala Hana.

Belum selesai dengan semua pertanyaan itu, ponsel Hana kembali berbunyi. Sebuah pesan singkat kembali dikirimkan oleh nomor itu. “Kaget ya? Pasti kaget dong. Halo sis! Semoga kita bisa akur ya.” Hana hanya bisa tertunduk lesu setelah membaca pesan pada ponselnya. Pesan itu berasal dari Maya. Hana yakin maksud dari pesan Maya tidaklah baik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!