Waktu menunjukan pukul 1 siang hari. Si tampan Devian sedang berdiri menghadap cermin di kamarnya. Menatap bayangan dirinya sembari sedikit membenahi tatanan rambut. Kini ia telah siap untuk berangkat menjemput sang pacar.
"Gue pakai mobil ini aja deh! Bosen pakai BMW," gumamnya seraya mengambil kunci mobil sport lamborghini.
Devian mengayunkan kakinya keluar dari kamar. Sambil bersiul ia santai berjalan menuju lift rumah mewahnya. "Tumben lo bocah, siang-siang gini mau keluar. Biasanya lo paling anti keluar siang hari." Devian segera menoleh mendengar sebuah suara.
"Gue mau jemputin nona besar," jawab Devian menanggapi ucapan Chester barusan.
"Nona besar?" Chester menatap bingung ke arah Devian. "maksudnya pacar?"
"Kepo amat dah lo." Devian beralih menatap ke arah pintu lift di depannya.
"Lo ya, di tanya baik-baik nggak menghargai gue banget!" sembur Chester kesal. Dari dulu si Chester sama Devian ini memang nggak pernah akur. Sudah kaya minyak sama air. Nggak bakal bisa menyatu.
"Eh lo nyium bau gosong nggak?" tanya Devian sambil mendengus udara disekitarnya.
"Astaganaga! Jangan-jangan ayam gue gosong." Chester panik. Ia lari terbirit-birit menuju dapur. Seingatnya kompor itu sudah ia matikan. Sebelum berpapasan dengan Devian, Chester memang sedang riweh mengungkep ayam di dapur untuk menu makan malam nanti. Urusan dapur dipercayakan kepada Chester yang menangani. Menu yang ia masak selalu TOP, rasanya tak kalah dari masakan tangan Chef berkelas.
Devian terbahak-bahak melihat kepanikan Chester saat ini. Jujur saja, ia tadi sengaja berbohong karena muak di cecar pertanyaan. Dih! Devian jahat.
"Kampret ya lo anak dracula. Berani banget bohongin gue. Awas aja nanti. Besok daging lo yang gue ungkep buat makan malam!" teriak Chester di dalam dapur. Ia kesal dan mengaku bodoh bisa percaya begitu saja oleh Devian.
Devian mulai menjalankan mobilnya. "Oke kita lihat seberapa lajunya kecepatan mobil mahal ini," katanya seraya menginjak dalam pedal gas. Memacu kecepatan mobil sport itu agar segera sampai tepat waktu di sekolah Diandra. Dia ingin menunjukan bahwa ia bukan lagi cowok yang lekat dengan julukan jam karet.
Di tengah keasyikan memacu mobil, tiba-tiba ponsel miliknya berdering. Senyum sumringah nampak menghiasi wajah. Sudah pasti penelfon itu ialah Diandra kan?
Ah, wajah Devian berubah nampak bingung menatap layar ponsel miliknya. Panggilan itu bukanlah dari Diandra, tetapi dari nomer baru yang tak ia kenali sumbernya.
Devian memutuskan menjawab panggilan tersebut. "Siapa?" tanyanya terdengar dingin.
"Tolongin gue! Siapapun di sana please tolongin gue sekarang." Suara cewek itu terdengar gemetar.
Devian mendengus kesal. "Nggak penting!" Sesingkat itu ia menjawab. Dalam hati dirinya bertanya-tanya. Darimana cewek itu tahu nomer ponsel miliknya? Sedangkan yang mengetahui nomer ponselnya hanya anggota Keluarga Bredsley dan Diandra seorang.
"Tolong gue mau diperkosa! Gue cewek yang lo tabrak waktu itu," ungkapnya. Cewek itu mengiba. Ia berucap sambil menangis terisak.
Degg...
Devian spontan menginjak pedal rem mobilnya. "Ah gue nggak peduli. Bodo amat!" ia memekik kesal. Mengacak rambutnya sendiri secara kasar.
Suara jeritan histeris terdengar lewat panggilan yang masih tersambung. Entahlah, mendadak ia beralih tertarik menolong gadis itu. Sepertinya kali ini ia tak bisa membiarkan pria jahat tersebut melakukan aksi bejatnya. Ya, ia harus mencegahnya. Ingat! Keluarga Breadsley memang selalu menargetkan korban selanjutnya dari para penjahat kelamin. Dan kali ini ia berbaik hati untuk datang menjemput mainan baru.
Devian segera melacak keberadaan cewek itu melalui nomor panggilan dan bergerak menjalankan mobilnya menuju lokasi si cewek berada. Ia segitu cepatnya lupa akan tujuan awalnya menjemput si pacar. Ya bagaimana lagi, ia juga haus akan wangi semerbak darah yang selalu membuatnya candu.
Gimana sih Devian? Katanya mau lepas dari julukan cowok jam karet.
*
Diandra menghela nafas panjang. Ia duduk berjongkok di depan pagar gerbang sekolah sambil memeluk lutut. Ekspresi wajahnya sudah susah untuk di tebak. Sebentar sedih, sebentar marah. Bagaimana nggak marah? Ia sudah menyempatkan waktu berdandan cantik juga mengatur rambutnya yang panjang di toilet sebelum pulang. Tentunya agar Devian terkesima melihat dirinya saat bertemu. Kemarin pun ia menunggu Devian selama satu jam. Kali ini justru lebih parah. Devian mengulangi lagi kesalahan yang sama. Cewek itu dibiarkan lagi menunggu dua jam di sana.
"Lo di mana sih, Devian?" gumam Diandra terdengar lemah. "Telat... lagi lagi telat." Diandra menghela nafas panjang.
Cerahnya langit siang ini mendadak terselimuti awan hitam. Tak lama petir menyambar disertai guruh. Diiringi oleh tetesan air deras yang jatuh dari langit.
Diandra sungguh kecewa. Devian belum juga muncul sampai hujan mengguyur begitu deras. Upayanya mempercantik diri sungguh percuma.
Lelah menunggu akhirnya Diandra memutuskan untuk pulang sendiri ke rumah. Tak peduli dengan hujan yang kini membasahi tubuhnya, dia melangkah perlahan meninggalkan sekolah.
Langkahnya mengarah ke ujung persimpangan untuk mencari angkotan umum di sana. Pandangan Diandra menatap lurus ke depan sambil berjalan menyusuri trotoar.
"Sialan tuh cowok! Janji sendiri mau jemput, mau ajak gue jalan. Tapi apa nyatanya?! Setidaknya dia bisa telfon kasih kabar ke gue supaya nggak buang waktu gue kayak gini." Kekesalan terasa menumpuk di dada. Cewek manis kaya Diandra, kalau sudah marah ngeri juga loh!
"Hoey Diandra!" seseorang berteriak memanggil namanya dari arah seberang jalan. Diandra mengamati sosok dengan payung merah tersebut. Sosok yang tak asing. Ah, nampak itu ialah Gio. Ya, Gio lagi, Gio lagi.
Gio berlari kecil menghampiri Diandra. "Masa kecil lo kurang bahagia ya sampek hujan-hujan nan begini. Kalau lo sakit gimana?!"
"Lo pulang aja sana! Nggak usah mikirin masa kecil gue bahagia atau nggak!" Diandra menjawab galak.
"Ayo gue anter pulang!" Gio menarik lengan Diandra seperti waktu kemarin. "Kali ini please! Lo harus nurut sama kata-kata gue. Gue bakal anter lo pulang ke rumah."
Gio tahu, sahabatnya itu nekad hujan-hujan nan karena rasa kecewa menunggu Devian yang tak kunjung datang. Semenjak tadi dia rupanya mengamati Diandra dari kejauhan. Gio berusaha menahan diri agar tak muncul dan melakukan hal kasar seperti kemarin. Ia tak mau membuat Diandra marah akibat perlakuanya yang terkesan agresif. Sejujurnya Gio hanya ingin memastikan Diandra baik-baik saja sampai Devian datang menjemputnya. Tapi sialnya, Devian justru membuat sahabatnya itu kecewa dan sedih seperti ini.
"Lepasin tangan gue! Gue bisa jalan sendiri." Diandra menepis kasar tangan Gio dan diam menurut, berjalan satu payung dengan Gio menuju mobil.
Wajah Diandra nampak lesu. Tubuhnya basah kuyup. Tapi ia tak peduli sedikitpun dengan keadaanya saat ini.
Gio membuka bagasi mobilnya, mengambil handuk yang kebetulan ada di dalam tas perlengkapan gym. Ia lalu segera masuk ke dalam mobil. Walau Diandra tak peduli dengan dirinya sendiri, tapi Gio peduli. Justru ia sangat khawatir.
"Nih pakai handuk ini buat ngeringin seragam lo," ucapnya seraya memberikan handuk berwarna biru itu.
"Thanks," balas Diandra menerima handuk tersebut.
Melihat Diandra selesai mengeringkan sedikit tubuhnya, Gio segera menjalankan mobil mengantar Diandra pulang.
Suasana di dalam mobil terasa hening. Gio sesekali melirik ke arah Diandra. Gadis manis itu sedang diam menatap ke arah luar jendela. Hujan pun nampak mulai berangsur reda.
"Lo mau mampir dulu nggak ke cafe? Minum yang anget-anget gitu," tanya Gio tiba-tiba.
"Nggak! Gue mau pulang aja." Tawaran Gio di tolak Diandra.
Berselang beberapa menit. "Eh berhenti Gio. Berhenti!" Diandra menepuk-nepuk lengan Gio. "Eh lo lihat orang yang berdiri di deket mobil lambo itu nggak? Menurut lo itu Devian bukan?"
Gio mengamati seseorang yang berdiri di depan mobilnya berjarak 3 meter tersebut. "Maksud lo pasangan di depan itu ya?" ia melirik Diandra. Waduh! Wajah Diandra kini nampak merah padam.
"Jangan sebut mereka pasangan!" sergah Diandra lantang.
"Iya sih itu Devian. Tapi kok dia sama cewek lain?" Gio menghela nafas panjang. Sepertinya ia tahu dengan apa yang akan terjadi setelah ini. Menilai sifat sahabatnya itu biarpun terkesan manis, tapi jiwa bar barnya akan muncul kalau merasa terhianati. "Bakal ada perang dunia ini kayaknya!" ledek Gio sambil terkekeh.
Eh benar saja. Diandra mulai membuka pintu dan turun dari mobil. Melangkah cepat menghampiri Devian di depan.
"B*engs*k! Gue nungguin lo sampai kehujanan, tapi lo enak-enakkan disini sama cewek lain." Kemarahan Diandra meledak. Tatapan penuh kebencian ditunjukan Diandra, mengabsen satu per satu wajah manusia berdiri di depannya.
Devian berbalik menatap Diandra tajam. Apa dia nggak terima dengan ucapan Diandra barusan? Kini cowok tampan itu mencengkram kuat bahu Diandra. "Ngapain sih lo dateng-dateng ngomel? Berisik tahu nggak!"
Degg...
Hati Diandra terasa di hujam pedang yang sangat tajam. Sakit! Disini dia yang harusnya marah. Bukan Devian. Tatapan itu kembali di suguhkan kepada Diandra. Tatapan mata mematikan milik psikopat berdarah dingin.
Namun, ia kini tersentak hebat saat baru menyadari kaos putih dan jaket jeans yang dikenakan pacarnya saat ini berlumuran oleh noda darah.
"Lo habis bunuh orang lagi?" Suara Diandra terdengar gemetar. Matanya membulat sempurna dengan pupil yang turut ikut bergetar.
Devian tersenyum sinis. Mendekat ke samping telinga Diandra. "Lo kan tahu Dear, kalau gue suka membunuh." Perkataan Devian lagi-lagi mematikan saraf indera. Diandra tak bisa berkata-kata. Hanya terlintas satu hal di fikiranya. Apa suatu saat Devian juga tak segan membunuh dirinya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Nurwana
kasian Diandra.
2021-06-07
0
Made Elviani
sebel sm Devian
2021-04-28
0
𝕽𝖈⃞Butirn𝕵⃟dBUᶜʙᵏⁱᵗᵃ
slaah devian jg si knp g ngasi kabar?" ampe diandra badah kuyup... 😒😥 pisikop pelupa...
2021-03-04
0