Bloodthirsty Handsome
Seorang cowok muda sedang duduk santai bersandar pada sofa. Menyilangkan satu kakinya dengan sebatang rokok diselipan jari. Ia nampak mulai geram. Menunggu seseorang yang tak kunjung datang, melengkapi personel keluarga mereka yang berjumlah 7 cogan tersebut.
"5 menit sampai Si Dracula itu nggak nongol di sini...gue potong tuh kakinya biar nggak bisa jalan sekalian." Amarah Chester mencapai puncaknya. Sudah satu jam lamanya ia menunggu. Jujur, si tampan Chester ini sangat benci dengan orang yang tak tepat waktu.
"Santai Boy santai. Lo marah-marah terus, ntar cepat tua loh! Bentar lagi pasti nongol tuh bocah." Felix menyahut. Meredam si gunung merapi yang bersiap memuntahkan lahar panas. Maksudnya amarah Si Chester tuh!
Saat ini ke enam cowok tampan sedang berkumpul bersama disebuah Club malam. Tongkrongan rutin yang dilakukan mereka semua saat malam minggu datang. Berkumpulnya mereka selalu saja memancing perhatian dari para gadis yang berkunjung. Bagaimana tidak?! Aset ketampanan dari setiap wajah mereka sangat istimewa. Selalu sukses melelehkan hati setiap gadis yang melihatnya.
Seperti saat ini, semua wanita di dalam Club sedang menyoroti mereka semua dengan pandangan lapar.
“Duh mau dong satu aja dari mereka gue bawa pulang! Boleh nggak?”
“Gue rela mutusin cowok gue demi salah satu dari mereka.”
“Duh ganteng banget sih mereka. Bawa adek ke KUA dong bang buat di halalin."
Wah, nggak salah mereka ngomong begitu? Tarik lagi kata-katanya deh sebelum nyesal setelah tahu kepribadian dari masing-masing cowok yang kalian elu-elukan.
Tinggal satu cowok saja yang belum terlihat batang hidungnya. Si cowok tampan yang mereka juluki sebagai Dracula.
Tak lama muncul seorang cowok dengan kemeja putih menghampiri mereka. Dengan santai ia duduk disofa kosong sebelah Felix. Tanpa merasa bersalah membiarkan teman-temannya lama menunggu. “Noh si Dracula gantengnya udah datang,” celetuk sambutan dari Felix untuk Devian. Tapi, mereka semua serentak memperhatikan Devian saat mendapati kemeja putihnya bersimbah darah.
“Gue tahu nih! Lo dateng telat karena asyik bermain ya.” Aland menebak sambil mengembangkan senyum.
“Cewek atau cowok nih lawanya?” Denzel menimpali. Naik turun alisnya bergerak sambil menunggu jawaban.
“Dicium dari aromanya ini pasti cewek.” Kali ini giliran Halbert yang menebak. Ia dari tadi duduk menempeli tubuh Devian, menghirup sisa darah segar dikemeja tersebut.
“Tuh sudah dijawab sama Halbert.” Devian menoleh sekilas lalu kembali menatap kedepan. Jelas Halbert tahu. Darah baginya bak bunga harum yang tiap hari wajib ia hirup. Seperti heroin yang mampu membuatnya candu.
Chester membuang puntung rokok. Menatap Devian tajam. “Dasar jam karet lo! Selalu aja telat kalau waktunya kumpul. Waktu itu berharga, Devian. 1 jam kita semua cuma duduk mematung disini nungguin lo dodol.” Chester akhirnya memuntahkan amarah yang sedari tadi bergejolak. Chester kalau ngomel suaranya udah nyamain knalpot bajaj. Nyaring bikin telinga panas.
Devian memutar bola mata jengah “Lo kalau ngomel persis banget kayak emak-emak antri sembako! Di rem sedikit tu mulut biar nggak berisik!" Ejek Devian tak mau kalah.
“Sudah sudah! Lo Chaster…sudah tahu si Devian masih labil. Lebih tua lo umurnya dibanding dia. Kalau kasih nasehat pelan-pelan biar kata-kata lu masuk ke otaknya.” Arley menengahi. Selain tampan dia juga bijaksana.
“Lo juga Devian…makin dewasa lo harus juga berubah. Jangan terus kekanak-kanakan. Sudah tahu salah gengsi banget minta maaf.” Wow! 10 jempol dah buat Arley yang dewasa banget sifatnya.
“Iya gue minta maaf.” Devian mengulurkan tangan lebih dulu kepada Chaster. Nasihat emas dari Arley berhasil melunakkan hatinya.
Chester terkekeh lalu menjabat tangan Devian. Bagaimanapun juga mereka tetaplah satu keluarga.
Felix mengangkat satu tangannya. Satu pelayan bergegas menghampiri. Pelayan itu membungkuk setengah badan. “Ada yang bisa dibantu Tuan Felix?”
“Bawa kemari wine favorite gue.” Pelayan itu segera pergi. Tanpa banyak bertanya, ia paham minuman kesukaan pemilik club tersebut.
Tak lama pelayan datang membawakan beberapa botol wine pesanan Felix. “Lo juga harus minum, Devian!” Pinta Felix sembari menuangkan wine ke gelas kaca.
“Terserah lo. Gue nurut aja.” Devian tak keberatan.
Mereka sama-sama mengangkat gelas berisikan wine ke atas lalu serempak bersulang sembari berucap “Chears”
Dentuman musik semakin keras saat hari semakin larut malam. Sorak sorai melantang memenuhi ruangan. Begitu juga dengan mereka- cogan dari keluarga Breadsley, hanyut menikmati musik sambil menari di lantai depan. Terkecuali si Dracula ganteng- Devian Almero. Ia tetap diam, duduk ditempatnya sembari meneguk wine. Jujur saja Devian kurang menyukai suasana ramai dengan musik keras seperti ini. Ia lebih suka suara jerit kesakitan dari setiap mangsanya. Bagai alunan musik penghantar tidur untuknya.
Jangan pernah tertipu oleh topeng pesona ketampanan mereka. Karena dibalik topeng itu tersimpan kepribadian mereka yang mengerikan. Sifat menyimpang saat mencari kesenangan yang justru merugikan orang lain. Disaat kalian lemas ketika melihat darah, berbalik dengan mereka yang justru akan terasa mati saat tak melihatnya. Contohnya si Devian ini, dijuluki Dracula karena ia selalu haus oleh darah. Hasrat membunuh tak pernah membuatnya puas. Setiap hari selalu ada korban incaran berikutnya untuk dijadikan boneka permaianan. Masih mau dekat-dekat dengan keluarga Breadsley?
“Sial! Bosen banget rasanya.” Devian berdecak kesal. Wine di meja telah habis ia teguk sendirian. Devian meletakkan dagunya menempel di atas meja, memandang lurus kedepan melihat teman-temanya menari ria. Seorang gadis rupanya sedari tadi mengamatinya dari kejauhan. Lalu memutuskan untuk menghampiri Devian. Gadis itu kini sudah berdiri tepat di samping mejanya. “Hai ganteng!” Sapanya lembut terdengar. Devian masih saja diam, sedikitpun tak niat merespon bahkan menoleh. Gadis itu memberanikan diri menyentuh lengan Devian mengetahui cowok itu tak acuh padanya. “Sayang gue temenin minum ya! Gue yang tuangin minumanya buat lo!” Devian balas melirik tajam. Auranya seketika berubah mematikan. Cepat Devian mengambil pisau lipat dari dalam saku celana. Menancapkan ujung mata pisau di atas meja, tepat disamping tangan gadis itu diletakkan. Badan pisau yang tajam berhasil sedikit menggores permukaan kulit. Gadis itu kontan terkaget. Lalu segera pergi begitu saja meninggalkan Devian dengan tubuh gemetar. “Untung hari ini gue udah dapet mangsa. Kalau belum, kelar hidup lo hari ini.”
Devian berniat pergi meninggalkan Club. Memasukan pisau lipat kembali dalam saku celana. Namun, sesuatu yang menarik berhasil membatalkan niatnya. Melintas seorang gadis yang ditarik kasar oleh seorang pria. Gadis tersebut menoleh sekilas menatap Davian bercucuran air mata. Entah mengapa tatapan gadis itu seketika membuat jantungnya berpacu cepat. Timbul rasa kasihan yang mustahil bisa dirasakan psikopat sepertinya.
Devian memutuskan mengikuti gadis tersebut. Pisau yang sudah tersimpan ia keluarkan kembali. Secepat kilat Devian menyerang dari arah belakang, menusukkan pisaunya mengenai leher pria tua itu. Darah segar muncrat sesaat Devian mencabut pisaunya. Tak sampai disitu, Devian beralih menusuk bagian tubuh bertubi-tubi. Sampai pria itu tewas dengan luka parah ditubuhnya.
Gadis itu berteriak histeris. Memancing munculnya para bodyguard. Kini Devian dikelilingi oleh pria berbadan besar sepertinya.
Tatapan sengit ditunjukan Devian. Hasrat membunuhnya kian membuncah. 5 lawan 1 tak mengerutkan nyalinya. Justru merekalah yang harus berhati-hati melawan psikopat dari keluarga Breadsley. Bisa-bisa pulang dari Club hanya tinggal nama doang.
Devian memulai serangan. Pisau andalanya memang selalu lincah bergerak dan tepat menggores sasaran.
Semua pengunjung gempar, lari keluar meninggalkan club tersebut. Bagaimana mereka tak lari, melihat darah kini penuh membasahi lantai.
Felix dan Chester mendekat. Apa mereka akan membantu Devian? Jawabnya tidak! Mereka justru tertawa senang sambil menempatkan diri duduk santai di atas sofa. Perlu kalian ingat! Mereka semua psikopat berdarah dingin. Tontonan seperti itu malah jadi hiburan layaknya menonton sirkus.
Bagaimana dengan keluarga Breadsley yang lain? Ah mereka malah lebih kocak. Daripada membantu Devian, mereka lebih memilih diam dengan kesibukan masing-masing. Aland membaca komik anime Another kesukaanya. Sedangkan Halbert, dia fokus mengamati mayat si pria tua. Memandangnya penuh minat. Berfikir untuk mana yang lebih dahulu ia congkel. Mata atau jari kuku?
Lalu si jenius dan bijak Arley dimana? Ia sibuk membaca buku ilmu kedokteran favoritenya. Ngomong-ngomong, diantara mereka Arley lah yang berumur lebih tua. Otaknya jenius luar biasa. Ia bisa menghafal isi buku yang tebal hanya dalam dua kali baca. Amazing!
Diandra. Ia memeluk lutut, menyembunyikan wajah sambil terus menangis. Ingin berlari, namun kaki terlanjur melemas. Tubuhnya bergemetar hebat. Lepas dari cengkraman pria tua malah berakhir disituasi yang tak pernah ia alami sebelumnya.
Suara tepuk tangan terdengar kompak. Felix dan Chaster bertepuk tangan melihat Devian berhasil mengalahkan musuh. Terengah-engah Devian berjalan sembari melepas kemejanya yang kini basah terkena cipratan darah. Tubuh kekar, abs menonjol bak batangan coklat terpampang nyata.
Melihat pertunjukan sirkus telah usai, mereka pergi meninggalkan club. Sebelumnya Felix sudah berpesan kepada para pelayan untuk membersihkan para korban bergletakan. Membersihkan dalam artian mengirim mayat itu kedalam ruang rahasianya. Ruang eksekusi pribadi milik Felix yang tersembunyi dalam club miliknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Vitamincyu
...
2024-05-31
0
Novianti Ratnasari
serem bgd semua cogan nya Spikopat
2022-09-27
0
Nurul Azizah
q
2022-09-21
0