Devian melenggang pergi begitu saja. Tak menoleh sedikitpun pada sosok gadis malang tersebut. Meninggalkan Diandra sendirian disana.
"Nona...tempat ini akan segera tutup. Dimohon agar Nona keluar dari sini," perintah seorang pelayan secara sopan. Diandra yang sedang duduk termenung, akhirnya bangkit perlahan lalu mengayunkan kakinya pergi.
"Bisakah mulai sekarang gue hidup dengan tenang?" gumam Diandra seraya melangkah gontai menyusuri trotoar. Dengan mata kepalanya sendiri, Diandra melihat pria tua itu tewas ditangan cowok yang sama sekali tak ia kenali.
Sungguh malang nasibnya. Dari kecil ia sudah menyandang status yatim piatu. Kehidupanya dulu sempat berjalan bahagia saat ia diangkat sebagai anak oleh seorang bujangan pengusaha kaya. Tapi saat ia menginjak dewasa, tiba-tiba Ayahnya jatuh sakit. Uang beserta semua aset berharga perlahan habis untuk membiayai pengobatan sang Ayah yang mengidap kanker otak stadium akhir. Dokter sudah memvonis sisa hidup ayahnya tak lama lagi, dan menyarankan untuk mengakhiri masa pengobatan yang dianggap percuma. Mengetahui biaya pengobatan Kanker yang cukup fantastis. Harapan hidup untuk sang Ayah sangatlah tipis. Penyakit ganas tersebut telah berhasil menjalar ke organ tubuh yang lain.
Tapi Diandra menolak keras, menentang saran dari Dokter. Tetap akan mengupayakan dana pengobatan Ayahnya. Selama Sang Ayah masih bernafas, ia akan selalu terus berjuang.
Sampai pada hari itu akhirnya ia nekad, pergi mencari pinjaman kepada rentenir Berto- Si Pria tua yang terkenal kejam dan mata keranjang.
Jangan berbelas kasih melihat fisik Berto yang menua. Tua-tua keladi. Makin tua makin jadi. Catat!
Ia sengaja memberi kemudahan meminjamkan uang pada Diandra. Mulut manisnya sengaja berkata bahwa uang pinjaman tersebut boleh digunakan tanpa bunga. Garis bawahi SENGAJA! Sama halnya ia menggiring hewan buruan agar masuk perangkapnya.
Fikiran picik muncul saat Berto tertarik dengan pesona mematikan Diandra. Tua-tua begitu dalam memilih wanita, Berto masih jagonya.
Gadis manis berambut coklat dengan bola mata kebiruan. Kulit putih, bibir merah seksi, body menawan, kaki jenjang, juga lesung menghiasi pipi. Siapa mengira gadis manis itu ternyata masih duduk dibangku SMA. Satu kata untuk Diandra, SEMPURNA!
Hingga pada puncaknya, di malam itu Diandra tak lagi bisa berkutik. Dipaksa melayani Berto sebagai ganti bunga uang pinjaman. Tak tanggung-tanggung Berto memberikan bunga pinjaman yang mencekik leher. Jika Diandra menolak, Berto tak segan menghabisi nyawa Diandra juga sang Ayah. Disinilah bakti dari seorang anak diuji. Memikul beban berat sendirian demi Ayah tercinta.
"Arrgghh"
Kakinya terkilir. Diandra terduduk dipinggir jalan sembari memijat pelan kakinya. Ia menggigit bibir, menahan sakit. "Sial! Gara-gara dipaksa memakai high hels jadi begini."
Buru-buru high hels itu dilepas lalu ia melempar, membuangnya kedalam tong sampah begitu saja. Kakinya kini nampak lecet akibat tak biasa memakainya.
Diandra yang lebih suka berpakaian simple. Kaos diselimuti jaket hodie dan sepatu kets sudah menjadi andalanya.
Sebuah mobil BMW berwarna hitam berkecepatan standar melintas di depan Diandra. "Itu kan cowok yang tadi!" gumamnya mengenali sang pengemudi. Kebetulan kaca mobil Devian saat ini sedang terbuka.
Diandra terperangah. Ia baru menyadari sosok malaikat penyelamat itu berwajah tampan. Padahal Diandra hanya melihatnya sekilas. Bagaimana jika wajah keduanya bertemu saling beradu tatap? Dijamin Diandra akan mimisan tanpa henti.
Tertatih-tatih Diandra kembali berjalan tanpa alas kaki. Ia lebih memilih jalan nyeker seperti ayam ketimbang memakai high hels terkutuk itu. Diandra ingin segera sampai dirumah. Ayahnya pasti sangat khawatir menunggu kedatanganya.
*
Devian memarkirkan mobil, dan segera masuk kedalam rumah keluarga besar Breadsley. Rumah besar bergaya modern eropa. Jauh dari peradaban juga keramaian. Hamparan luas tanah lapang memutari rumah tersebut. Sudah pasti, kalian yang baru pertama kali datang ke rumah itu akan tersesat.
Felix bersama Aland tengah asyik bermain bilyard diruang tengah. Melihat Devian muncul, Felix mengajaknya untuk gabung bermain bersama.
Devian hanya diam. Felix mengernyitkan kening. Menatap heran melihat Devian mengabaikan ajakanya. "Si dracula kenapa Land?" Felix bertanya pada Aland, "Kena penyakit bisu dadakan kalik!" Aland mengejek. Disusul suara Felix tertawa terbahak-bahak.
Felix kontan menurunkan volume suara tawa saat merasakan remasan kuat dari belakang mencengkram bahunya. Ia memutar arah tubuh, mendapati Devian menatapnya tajam. "Gue jahit tuh mulut biar mingkem! Berisik!" ancam Devian geram.
"Woo... santai cuy." Felix tersenyum. "Ini nih akibatnya si Chester kalau masak kebanyakan garam! Devian jadi kena penyakit darah tinggi kan! Bercanda sedikit cepet marah." Imbuh Felix mengejek. Dia memang cowok over santai sedunia. Diancam dracula kaya Devian juga nggak bakal mempan, nggak ada rasa takutnya.
"Mau gue tolongin ambil jarum sekalian benang nggak?!" Aland menimpal. Senyumnya mengembang diikuti gerakan alis naik turun. Dih serem amat si Aland. Dia justru senang melihat mulut Felix dijahit oleh Devian.
"Lo kenapa sih bocah?! Sensitif amat nggak kaya biasanya!" Felix menyingkirkan tangan Devian dari bahunya.
Devian tersadar. Emosi mulai bisa ia kendalikan. Cowok itu menghela nafas. "Waktu di Club, gue ngerasain hal aneh. Baru kali ini gue sudi bela'in orang asing kaya tadi."
"Maksud lo si cewek yang di Club?" Tanya Felix terdengar menggoda.
Devian membuang muka, menandakan kebenaran ucapan dari Felix.
"Jantung lo berdebar nggak waktu liat tuh cewek?!" Tanya Aland memberi penekanan.
"Kaya mau copot rasanya." Cepat Devian menjawab.
"Sial...!" Aland berdecak kesal. "Itu tandanya lo jatuh cinta bocah!" Aland kesal terhadap Devian. Hal umum seperti itu saja Devian tak tahu.
Felix mendekatkan wajah ke telinga Devian. Lalu berbisik lembut "love at the first sight."
"Maksud Lo... gue jatuh cinta pandangan pertama?!"
Aland dan Felix kompak mengangguk. Membenarkan pernyataan Devian barusan.
Wajah Devian jelas merona. Pipi sampai telinga memanas. Wajar saja jika ia masih bingung akan perasaanya. Jujur, baru kali ini ia merasakan rasa aneh yang dinamakan jatuh cinta. Lebih tepatnya "Cinta Pandangan Pertama"
"Kalau hati sudah memilih, otakku ini bisa apa?" batinya sambil tersenyum senang. Ia menandai gadis yang ia jumpai tadi sebagai milik.
Devian meraih jaket hitam yang tersampir di atas bahu Aland. "Eh itu jaket gue--"
"Gue pinjem sebentar," ucap Devian seraya pergi keluar dari rumah.
*
Diandra melirik arloji. Sudah jam 1 malam rupanya. Wajahnya ditekuk, kening mengkerut, dan bibir meruncing. Ia kesal, menanti angkutan umum yang tak kunjung lewat. Dan sialnya lagi, ponselnya tertinggal dirumah saat Berto menyeret Diandra ikut denganya. Padahal jika ada ponsel, ia tak sampai berakhir seperti ini. Dapat menghubungi temannya untuk menjemput.
Telapak kaki terasa panas menebal. Seakan tak sanggup lagi meneruskan perjalanan pulang kerumah yang jaraknya masih terlampau jauh.
"Duh! Apes banget gue hari ini. Mana jalanan sepi banget." Diandra terduduk dibawah pohon pinggir jalan. Ia memeluk lutut, menopangkan dagunya diatas lutut sembari memandang lurus ke jalan. Dia menghela nafas. "Dah mirip gembel aja gue duduk disini."
Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di depanya. Spontan Diandra menegapkan posisi tubuhnya. Matanya menajam mengamati pergerakan pintu mobil yang dibuka, dan kini matanya berubah membulat mendapati seorang cowok turun dari mobil itu. "Dia lagi?! Kenapa dia kemari?" batinya kini merasa cemas.
Sekilas gambaran pembunuhan di Club itu terputar diotaknya. Dan kini tubuh Diandra bergemetar melihat pelakunya tengah berdiri tegap dihadapanya. Menatap Diandra mulai ujung kaki ke ujung kepala. Mungkin Diandra berfikir cowok itu datang untuk gantian membunuhnya.
Kini 2 pasang mata saling bertemu. Dilihat jelas oleh Diandra bola mata cowok itu berwarna senada dengan bola mata miliknya. Sama-sama kebiruan.
Si cowok menambah langkahnya, mendekat pada Diandra. Oh tidak! Saat ini Diandra membutuhkan pasokan oksigen lebih banyak. Beradu tatap dengan cowok tampan membuat nafasnya terasa berat. Groginya nggak ketulungan.
Si cowok memiringkan sedikit wajahnya, lalu mendekat ke samping telinga Diandra. "Lo punya hutang budi sama gue, Dear!" bisiknya lembut.
Diandra membeku seketika. Kharisma si cowok ini tergolong mematikan. Ia sampai susah payah menelan ludah. Jantungnya ikut bergemuruh, berpacu tak karuan.
Si cowok menarik posisi wajahnya. Diandra tahu cowok itu yang melepaskan cengkraman Berto darinya. Gugup, Diandra menjawab "I-Iya gue lupa bilang makasih sama lo. Terimakasih banyak atas bantuanya. Kalau lo nggak ada, gue pasti sudah berakhir na'as."
"Itu aja...?!" jawabnya dingin.
Diandra tercengang. "Jadi lo mau apa?! Kalau lo minta uang, maaf gue cuma cewek miskin dan nggak bisa kasih lo imbalan uang." Suara Diandra terdengar gemetar. Perasaan senang yang tadi sempat terlintas, sirna terganti cemas.
"Gue nggak butuh uang dari lo. Yang gue mau cuma lo, Dear."
Belum sampai Diandra menjawab, si cowok dengan berani meraih tanganya. Menarik, mengajak Diandra masuk ke dalam mobil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Novianti Ratnasari
kaya nya seru nich cerita
2022-09-27
0
lovetoon
jangan lo - gue thor ,,
loe gue cocok nya buat anak SMA , Menurut saya sih
2021-06-22
0
Rahmie Kartika
nyimak dulu ya thor
2021-06-10
0