Sepuluh pagi ketika Mary dan Darren menghambur masuk ke dalam rumah, Lily buru-buru menyambut mereka.
"Mommy!!!" Mary berlari memeluk Lily yang tersenyum seraya berjongkok untuk meraihnya.
Sedangkan Darren masih menyusul di belakang dengan menenteng tas berisi barang-barang Mary selama 5 hari lalu di rumah sakit.
Namun sayangnya, ketika senyum itu terangkat menuju manik Darren, Lily buru-buru memudarkan senyumnya dengan canggung. Setelah itu dia malah membuang muka, dan menyibukkan diri dengan Mary.
"Kita ke kamar, yuk?"
Mary mengangguk cepat diajak Lily. Mereka berdua lantas melenggang pergi, meninggalkan Darren dengan perasaan tak enak di dadanya.
...----------------...
Siang pukul 12 ketika Mary lelah bermain dan ditidurkan, Lily baru bisa turun ke bawah untuk mengecek keberadaan Darren. Itupun karena ia juga harus minta izin untuk pergi ke suatu tempat.
Namun begitu dicek, rupanya Darren tidak berada di manapun. Bahkan ketika Lily memanggilnya hingga suara menggema di seluruh ruangan pun tetap tidak ada tanda-tanda.
"Apa dia ke kantor, ya?" Lily berdecak. "Tapi ini hari Minggu."
Menghela napas, Lily memutuskan untuk ke halaman belakang, siapa tahu saja Darren ada di sana.
Dan benar, dia ada di sana. Tapi ada yang aneh.
Lily mengerjap.
Darren sedang telanjang dada, Lily pikir Darren sedang berenang, tapi kenapa dia malah menguras air kolam?
"Darren ..." Lily memanggil, ia berdiri di pinggir kolam.
Darren mendongak. "Iya?"
"Kenapa dengan kolamnya?"
Darren memerhatikan kolam renang yang sedang dia kuras. Lantas terkekeh. "Untuk jaga-jaga." Lalu, dia mulai bercerita. "Saat seusia Mary, aku pernah jatuh ke dalam air. Lalu beberapa tahun kemudian, setiap saat melihat air sebanyak ini, aku selalu mengalami serangan panik, meski sekarang sudah tidak lagi. Jadi aku melakukan ini karena takut suatu waktu Mary akan mengalaminya juga."
Lily manggut-manggut. Beberapa saat ia mengerjap, mengingat ia ada urusan penting. "Kau mau makan siang? Aku bisa buatkan dengan cepat."
Darren berpikir dulu. Kemudian dia menggeleng. "Tidak perlu, aku akan pesan pizza. Apa kau mau juga?"
Lily tersenyum menolak seraya menggeleng. "Sebenarnya aku mau keluar hingga jam 3 sore."
"Kau mau ke mana?"
"Mmm ... Aku akan bertemu dengan Enid."
"Oooh, Enid temanmu itu?"
"Iya."
"Mmm ... Baiklah. Tapi, apa kau tidak ingin diantar?"
Lily melambaikan tangannya. "Tidak usah, aku bisa naik taksi."
Darren menggigit bibirnya. "Hati-hati, kalau begitu." Setelah itu ia membalikkan tubuh memunggungi Lily dan lanjut bekerja.
Lily ikut menggigit bibirnya dan dengan langkah berat pergi dari sana menuju kamarnya untuk mandi dan mengganti baju.
Percakapan barusan tidak canggung, kan? Pikir keduanya disaat yang bersamaan.
...----------------...
"Aku pergi dulu!" Teriak Lily dari ruang tengah tembus ke halaman belakang.
Hanya kepala Darren yang menyembul dari balik pintu, saat ini ia tengah menikmati pizzanya di kursi teras. "Hm! Hati-hati."
Setelah itu Lily pergi. Rumah menjadi sepi.
Di luar sana, Lily berjalan hingga ke luar komplek perumahan dan sampai di jalan besar, sembari buru-buru memesan taksi melalui telepon. Menunggu hingga beberapa menit, taksi yang Lily hubungi akhirnya menepi di pinggir jalan.
"Ke tempat biasa ya, Pak." Lily menginfokan untuk kesekian kalinya ketika ia dan bapak itu bertemu lagi di dalam mobil. Padahal tanpa diberitahu sekalipun, bapak itu sudah hapal betul ke mana tujuan Lily.
Panti asuhan.
Enid, teman Lily itu datang bersamanya ke kota untuk mencari pekerjaan, lalu mereka berpisah begitu Lily mendapat tempat tinggal di rumah Darren 6 tahun lalu. Seperti takdir, mereka dipertemukan lagi 2 tahun kemudian. Jadi, ketika Lily ada waktu, maka dia akan berkunjung ke tempat kerja Enid.
Lokasi pantinya tidak begitu jauh, hanya 30 menit dengan menggunakan taksi, itupun kalau jalanan tidak macet sekali.
"Pak, ini." Lily memberikan bayaran begitu taksi yang ditumpanginya berhenti, lalu bersiap-siap turun. "Terima kasih, ya."
Sang sopir tersenyum dan mengangguk, kemudian melaju pergi meninggalkan Lily yang kini berdiri di depan gerbang panti.
Karena sudah biasa berkunjung di tempat ini, satpam yang berjaga membiarkan Lily masuk tanpa proses. Melangkah dengan lebar, Lily menyusuri gedung bertingkat dua ini untuk menuju taman yang terletak di belakang gedung.
Di sana, Lily melihat Enid tengah bermain dengan anak-anak panti, mengawasi mereka agar tidak terjatuh, atau sesekali beristirahat sejenak dari aktivitas yang melelahkan.
Tersenyum melihatnya, Lily melangkahkan kaki menghampiri Enid yang langsung menyadari kehadirannya.
"Lily!" Enid melambai dari tempatnya duduk.
Lily langsung mendudukkan dirinya di bangku taman sebelah Enid.
"Bagaimana kabarmu?"
"Seperti biasa, melelahkan namun juga menyenangkan." Enid tersenyum, dua gigi kelincinya membuat Lily selalu tidak fokus.
Kalau bercerita tentang Enid, Lily mungkin akan memilih satu kata untuk mendeskripsikannya, yakni manis. Enid itu seperti gula. Lily bahkan pernah tersirat kecemburuan karena daya tarik wanita di hadapannya ini begitu kuat. Namun, meski begitu, Lily masih bertanya-tanya, kapan Enid akan berhenti menyibukkan dirinya dengan pekerjaan dan memilih mencari pasangan saja. Kecantikannya terlalu sayang untuk dibuang begitu saja.
"Oh, ya. Bagaimana dengan Mary?" Lanjut Enid dengan pertanyaan.
"Mary baik-baik saja, aku baru menidurkannya sebelum ke sini."
"Sekali-kali bawa dia ke sini lagi, dong. Aku rindu padanya. Ya, ya, ya?" Enid mengguncang lembut lengan Lily.
Lily tersenyum sambil mengangguk saja. "Baiklah, baik."
Baru saat itu Enid mau melepas lengan Lily, dan kembali mengawasi anak-anak. Ketika mereka berlarian di hadapannya, Enid langsung berdiri mengejar dan menghentikan mereka. Sementara Lily malah tertawa kecil melihatnya.
Ternyata, menjaga banyak anak terlihat melelahkan juga. Padahal terkadang, saat Lily menjaga Mary, Lily sempat berpikir untuk menambahkan saudara sebanyak mungkin untuk Mary, agar dia tidak kesepian bermain sendirian. Namun nyatanya itu tidak mungkin terjadi.
"Nona!"
Pikiran Lily mendadak teralihkan oleh Enid yang melambai dari tempatnya berdiri. Ketika Lily mengikuti arah pandangannya, ia terkejut melihat Victoria ada di tempat ini, berdiri tak jauh di sana, bahkan kini tengah tersenyum seraya menghampiri Enid.
Lily memerhatikan dengan alis mengkerut. Kenapa mereka begitu akrab? Dan lagi, Victoria tidak mengikutiku ke sini, kan?
Setelah bercerita sedikit, Enid kini mengajak Victoria ke arah bangku yang di duduki Lily. Mereka terlihat akrab sekali. Hati Lily jadi gelisah ketika mereka menghampirinya.
"Ah, ya. Aku ingin memperkenalkan temanku juga."
Ketika mata Victoria akhirnya bertemu dengan manik mata cokelat Lily, ia terdiam di tempatnya. Victoria sama sekali tidak menyadari keberadaan Lily di sekitar sini, hingga akhirnya Enid lah yang membawa dia untuk diperkenalkan dengan Lily.
Merasa canggung karena reaksi mereka yang sama-sama saling menatap. Enid bersuara, "Apa kalian sudah saling kenal?"
Lily mengerjap, memutuskan pandanganya dengan Victoria dan beralih menatap Enid. "Iya."
Enid tersenyum. "Baguslah, kalau begitu, aku tinggal sebentar, ya. Kalian bercerita lah. Aku harus membawa anak-anak masuk karena sudah waktunya istirahat. Aku akan kembali setelah selesai, oke."
Enid tidak butuh persetujuan mereka berdua, karena ia sudah buru-buru menuntun anak-anak untuk masuk ke dalam gedung.
Kini tinggal mereka berdua. Victoria yang berdiri canggung, dan Lily yang menunduk di bangku taman itu.
Victoria lantas berdehem. "Boleh aku duduk?"
Lily tidak menjawab. Berada di dekat Victoria membuatnya mengingat pertemuan terakhir mereka. Victoria menginterogasi Lily sampai ia harus berbohong begitu banyak. Victoria bahkan mengancam akan datang menemuinya lagi. Jadi, membayangkan hal itu, Lily hanya bisa diam. Victoria terlalu menakutkan. Kharismanya begitu kuat, sudah seperti ingin menelan harga diri Lily yang hanya seukuran semut saja.
Namun, tanpa izin dari Lily sekalipun, Victoria akhirnya duduk dengan sendirinya. Menyisakan jarak karena tidak ingin duduk terlalu dekat dengan Lily. Lagipula mereka tidak seakrab itu.
"Mmm ... Jadi kau berteman dengan Enid?" Tanya Victoria tiba-tiba.
Lily mendongak, melirik wajah Victoria, setelah itu memutuskan untuk membuang pandangannya ke arah gedung.
"Dari kami kecil."
Samar-samar Lily melihat Victoria mengangguk.
"Lalu, bagaimana keadaan Mary? Apa dia sudah pulang dari rumah sakit?"
Lily mengernyit. Dia tidak tahu bagaimana Victoria mengetahui hal itu. Tapi dia jawab saja. "Mereka pulang sekitar pukul sepuluh pagi tadi."
"Baguslah."
Setelah itu mereka terdiam lagi. Lily yang enggan mencari topik karena ingin pergi dari tempat ini sekarang juga, dan mary yang sebenarnya punya banyak hal untuk dikatakan tapi ia ragu-ragu untuk memulai dari mana. Jadi, mereka menciptakan hening yang begitu lama sambil memandangi gedung panti bersama-sama.
"Apa kau tahu ..." Victoria bersuara pada akhirnya.
Lily menoleh.
"Setelah sukses dalam karir permodelanku di Amerika, aku pulang setahun yang lalu karena aku akan menikah dengan pengusaha asal Manila beberapa bulan lagi. Tapi rasanya ... Aku tidak bisa melepaskan masa laluku yang tertinggal di sini." Victoria menoleh ke arah Lily dengan senyum sedih.
Ia lantas kembali bercerita dengan perlahan. "6 tahun adalah masa yang sulit. Tidak sedetikpun aku melupakan wajah mungilnya hari itu. Perasaan bersalah menghantuiku. Mary lahir dari sebuah kesalahan remaja masa lalu, aku tidak pernah memberitahu Darren bahwa aku hamil anaknya. Aku langsung memutuskan hubungan kami begitu saja dan sama sekali tidak menjelaskan alasannya. Nyatanya saat itu aku belum dewasa, aku tidak tahu arti dari sebuah tanggungjawab, aku tidak tahu bagaimana harus menghargai hal kecil dalam hidup. Aku pergi, lalu kembali setelah 9 bulan hanya untuk meninggalkan Mary pada Darren setelah dia lahir, memberitahunya hal terkejam di atas secarik kertas, karena aku tidak ingin dia mencariku lagi. Aku ingin membuatnya patah hati agar tidak mengharapkan agar aku kembali lagi."
Seketika Lily merasa bersalah, ia menatap iba pada Victoria yang berusaha menahan tangisnya. Lily tidak habis pikir, ternyata Victoria menyimpan rasa sakitnya selama 6 tahun. Dan faktanya, baik Darren dan Victoria, mereka sama-sama saling menyakiti karena ego mereka sendiri.
"Setahun lalu, setiap bulannya, aku mulai menyumbang bahan makanan dan pakaian untuk anak-anak di sini. Itu karena aku merasa bersalah pada Mary yang tidak sempat merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Aku selalu memikirkannya setiap saat. Bagaimana keadaannya? Apakah dia tumbuh dengan baik? Apa dia mendapat kasih sayang yang pantas? Aku ... Aku baru menyadari rasa kehilangan setelah menyerahkannya pada Darren."
Sebagaimana sesama perempuan, Lily paham, sangat paham, bahwa perasaan kehilangan yang seperti ini, selalu akan mendatangkan penyesalan yang tidak ada akhir. Karena pada nyatanya, Victoria hanyalah seorang manusia yang kapan saja berbuat salah, seorang wanita dengan hati yang lemah, sosok yang juga mengharapkan akhir bahagianya sendiri.
Dan tanpa sadar, Lily mendekat, lalu mendekap Victoria. Victoria nampak terkejut mendapati perlakuan seperti itu. Selama ini tidak ada yang mengerti penderitaannya. Ia menyimpannya sendiri. Butuh keberanian besar untuk mencurahkan kisahnya. Dan Lily malah memberikannya pelukan hangat yang tak pernah ia bayangkan akan ia dapatkan.
Pecahlah tangisnya saat itu juga. Victoria membalas pelukan Lily, mencengkram belakang bajunya karena rasa sakit dan penyesalan di dada.
Lily berusaha menenangkan Victoria, menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut, membiarkannya menangis sepuasnya, mengizinkan Victoria melepas beban di hatinya pada pundaknya yang kini sudah dibasahi oleh air mata wanita itu.
"Menangislah sepuasmu, lepaskan rasa sakitmu. Setelah ini, jadilah wanita yang tegar. Dan beranikan dirimu untuk datang meyakinkan Darren sekali lagi agar kau bisa memiliki waktu bersama Mary," bisik Lily dengan pelan nan lembut. Meski ia tahu, ia tidak ada hak untuk mengatakan hal itu, di samping Darren yang pasti akan memarahinya habis-habisan karena mengatakan hal barusan pada Victoria.
Victoria menarik hidungnya yang tersumbat, ia lantas melepaskan pelukannya. Ia menatap Lily dengan air mata yang masih berderai di pipi. Ini pemandangan yang memalukan, tapi sudah terlanjur dilihat oleh Lily sendiri.
"Tidak, tidak ..." balas Victoria dengan suara seraknya yang tertahan. "Darren tidak akan pernah berubah pikiran. Aku sudah terlanjur melukai hatinya. Dia tidak akan mau mendengarkan alasanku. Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah dimaafkan. Hari itu, di atas kapal, aku memeluknya untuk pertama kali setelah 6 tahun terakhir. Kupikir hatinya akan melembut. Namun nyatanya, dia bilang bahwa dia sudah bahagia dengan keluarganya yang sekarang."
Victoria menarik napas dalam-dalam. Berusaha melapangkan dadanya dan menerima takdirnya.
Ditatapnya lekat mata Lily, Victoria melanjutkan, "Lily ... Dia bahagia denganmu. Tidak ada ruang untukku lagi. Hanya ada kau di hatinya. Jadi kumohon ... tetaplah berada di samping mereka. Jangan sekali-kali meninggalkan mereka. Hanya kau yang mereka miliki. Lakukanlah demi aku. Aku yang tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk Mary, yang tidak bisa menjadi istri yang sempurna untuk Darren. Isilah tempat itu demi aku dan mereka, ya?"
Lily tergugu. Tapi nyatanya semua ini hanyalah kebohongan. Hubungan suami-istri, cincin pertunangan, dan segala hal tentang menjadi ibu tiri Mary. Semuanya tipuan. Dan dia harus mengiyakan permintaan seserius ini?
Victoria mengguncang lembut kedua pundak Lily. Lily mengerjap kaget. Lalu, tanpa sadar dia mengangguk. "I, iya ... Aku akan menepatinya."
Layu kelopak mata Lily hari itu mewakilkan kebimbangannya yang harus berada di antara orang-orang yang menggantungkan harapan mereka padanya. Ia telah terlanjur mengiyakan permintaan yang sebenarnya sama sekali tidak bisa ia sanggupi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments