Keesokan harinya setelah Lily menjemput Mary, Lily langsung dihubungi untuk ke kantor Darren. Ini pertama kalinya Lily ke sana. Jadi dia tidak tahu ada hal apa sampai majikannya mendadak menyuruh begini.
“Mommy, Mommy, apa benar kita akan menemui Daddy?”
Aih, Lily belum terbiasa dengan panggilan seperti itu. Dia kan hanya wanita kampung, panggilan mewah seperti itu tidak cocok dengannya.
Lily terkekeh saja. “Iya.”
Mary meloncat-loncat riang seraya melangkah bersama Lily memasuki gedung 15 lantai itu. Langsung menuju meja resepsionis di lantai satu, Lily menanyakan Darren pada seorang wanita dengan tahi lalat di pinggir mata kanannya itu. Namun kata sang resepsionis, Darren sedang ada rapat dan akan selesai pukul 11:25.
Alhasil Lily menunggu di lobi dengan Mary yang bermain-main di sofa sambil melihat-lihat majalah. Lily terkekeh kecil memerhatikan Mary yang hanya melihat gambar majalahnya saja tanpa membaca isinya.
“Ehem!” Seseorang dari arah belakang mengagetkan Lily dengan sapaan batuk kecilnya.
“Hey! New face huh? I haven't seen you around here.”
Lily tergugu. Dia tidak tahu bahas Inggris! Sumpah. Seumur hidup dia tidak pernah menyukai pelajaran satu itu. Sehingga Lily tidak pernah memperhatikan gurunya saat mengajar. Lalu 6 tahun mengikuti Darren, Lily hanya tahu yes dan no. Lily terkadang mendengar Darren berbicara menggunakan bahasa Inggris melalui telepon, tapi dia tetap tidak menangkap maksud apapun karena dia tidak pernah tertarik.
Tapi sekarang, Lily malu karena tidak mendengar gurunya dulu di sekolah.
“Hah?”
Lelaki itu tertawa renyah melihat ekspresi bengong menggemaskan Lily.
“Aku bertanya, apa kau pertama kali ke sini?”
Lily mengerjap lalu tersadar, kemudian tersenyum seraya mengangguk. “Ah … iya, aku baru pertama kali ke sini.”
Pria itu langsung mengambil duduk di sebelah Lily dan menatapnya. “I see … that's why you look unfamiliar.”
Lily masih terlihat hilang arah. Dia hanya menatap wajah pria itu. Namun si pemilik wajah malah tersenyum-senyum.
“Ah, kau pasti baru melihat wajah tampan sepertiku ini, ya?” Dengan percaya diri dia memamerkan wajahnya dengan cara yang lucu.
Lily langsung melambaikan tangan di depan dada. “Bukan, bukan begitu. Aku hanya tidak paham bahasa Inggris, jadi tidak tahu ….” Lily menunduk dalam, lanjutan kalimatnya tertelan begitu saja, malu.
“Yaaah! Kupikir karena kau terpesona dengan wajahku,” Si lawan bicara berpura-pura sedih, habis itu dia riang kembali. “Tapi tidak apa-apa! Ah, seharusnya kau bilang dari tadi. Aku kan jadi merasa bersalah, hehehe ... omong-omong, namamu siapa?”
Lily mengerjap. Energi pria ini banyak sekali sampai sanggup berbicara cepat dalam satu tarikan napas.
“Lily?” Lily sendiri saja sampai tidak yakin harus mengenalkan dirinya pada pria asing ini atau tidak.
“Oooh, Lily. Kenalkan, aku Mike!” Mike menjulurkan tangannya, mengajak kenalan. Lily menyambutnya seraya tersenyum.
“Omong-omong, kau ke sini mau menemui siapa?” Mike kembali bertanya setelah melepas tangan Lily.
Harus jawab apa? Menemui suaminya? Majikannya?
“Aku mau menemui ayah dari anak itu.” Lily menunjuk ke arah Mary.
“Ooh, berarti kau ke sini mau menemui suamimu?”
Lily meringis. Bisa dibilang begitu, tapi tidak sampai begitu juga. Kan belum resmi, hanya pura-pura. Aih, Lily pusing!
Mike tiba-tiba berdecek. “Ck! Padahal aku menyukaimu, rupanya kau sudah ada yang punya.” Mike tersenyum percaya diri hingga lesung pipinya muncul. Melelehkan hati Lily saat itu juga.
Aih, hatiku! Lily bengong imut lagi.
Mike langsung terkekeh seraya melambai di depan wajahnya. “Aku hanya bercanda, tidak usah pasang muka begitu.”
Ish! Apa maksudnya berkata begitu! Lily kesal mendadak.
“Lily?”
Panggilan seseorang spontan menarik perhatian Lily.
“Ayaaah!” Mary langsung turun dari sofa dan memeluk kaki sosok yang berdiri tak jauh dari Lily dan Mike itu.
Mike melotot kemudian berbisik, “Darren itu suamimu?”
Tak menjawab, Lily langsung berdiri tegak. Seolah-olah dia baru saja ketahuan merayu salah satu karyawan Darren. Mana di belakang Darren ada beberapa orang bersetelan rapi sedang menatapnya lagi.
“Ke sini Lily,” panggil Darren.
“Maaf ya, aku permisi.” Lily pamit setengah berbisik dengan tatapan meminta maaf pada Mike kemudian berlari kecil menghampiri Darren.
“Iya?”
Sejenak Darren menatap intens Mike dari jauh, lalu memberikan Mary pada Lily.
“Kalian tunggulah di depan lift, aku akan mengantar klienku keluar dulu dan kita bisa bicara di kantorku setelah ini.”
Lily mengangguk ragu. “Baik.” Kemudian melangkah pergi bersama Mary dan sesekali melirik ke arah Mike yang masih duduk di sana.
...----------------...
“Kau mengenal Mike?”
Ditanyai penuh curiga oleh Darren seperti itu sesaat Lily baru mendudukkan dirinya di sofa, tentu saja ia terkejut.
“Ah, itu … kami baru kenal hari ini. Mike bertanya untuk apa aku ke sini dan akan bertemu siapa. Itu saja.”
“Hanya itu?”
‘Dan juga tadi Mike sempat mengatakan bahwa dia menyukaiku dan sangat menyesal bahwa aku sudah ada yang punya.’
Lily tidak mengatakan hal itu. Takut dia sendiri salah paham. Lily sendiri tidak yakin kenapa pria setampan Mike mau saja suka padanya. Meski tadi dia bilang hanya bercanda, tapi rasanya serius sekali. Lily kan hanya seorang pengasuh.
Lily mengangguk. “Iya. Hanya itu.”
Pundak Darren tidak lagi menegang, kepalanya mengangguk paham. Habis itu dia tiba-tiba teringat. “Ah, tapi hati-hatilah dengannya.”
“Eh?”
“Dia seorang playboy. Ayahnya mengirimnya ke sini untuk belajar bisnis dariku. Dia pernah kuliah di Amerika, tapi ayahnya merasa dia masih belum cukup mampu. Makanya dia bekerja di sini. Sudah satu bulan aku mengawasinya, dan kebiasaannya belum hilang sama sekali, jadi kau harus hati-hati dengannya. Jaga jarak.”
Lily mengerjap. Darren banyak bicara hari ini. Dia tidak terdengar tenang, lebih seperti panik dan penuh peringatan menurut Lily.
Lily mengangguk saja. Itu cara terbaik untuk tidak membuat majikannya stres.
“Kalau begitu, Tuan memanggilku ke sini ada urusan apa?”
Darren tiba-tiba meringis. “Jangan memanggilku Tuan di sini. Panggil saja namaku mulai sekarang. Kita juga sudah kenal selama 6 tahun. Aku sudah mulai bosan mendengarnya.” Darren bertingkah aneh, dia menghindari tatapan Lily.
Lily spontan memajukan tubuhnya dari sandaran kursi. “Apa ini salah satu dari rencana kita juga?” Lily berbisik polos dengan tatapan penasaran.
Darren menatap Lily sebentar, berpikir. “Bisa dibilang begitu.”
Lily membuka mulut seraya mengangguk. “Ah … begitu ya.”
Darren tiba-tiba berdiri dari sofa dan melangkah ke mejanya. Kemudian kembali dengan membawa kartu ATM.
Darren menghela napas seraya duduk kembali di sofa. “Pokoknya aku memanggilmu karena ingin memberikan ini.”
Lily mengerjap ketika diberi kartu ATM berwarna hitam itu. Dia sebenarnya tidak tahu bahwa itu kartu ATM. Soalnya jelas beda dari kartu ATM yang biasa dia lihat. Di sana tertulis American Express. Di sudut kanan bawahnya tertera nama Darren McGold.
“Kartu apa ini, Tuan?”
Darren mendesis menggigit bibirnya. “Sudah kubilang panggil saja aku Darren. Darren.”
Lily tertawa meringis.
Darren menghela napas lagi, lalu melihat kartu di tangan Lily. “Itu kartu ATM. Black card. Kau pernah dengar?”
Lily menggeleng.
“Itu kartu tanpa batas. Artinya kau bisa membeli apapun tanpa khawatir kehabisan uang. Aku memberi ini untuk makeovermu.”
“Makeover? Apa itu?”
“Aku tahu sudah merepotkanmu, tapi malam ini ada pertemuan sesama pebisnis dari beberapa negara. Aku butuh seorang pendamping, dan aku tidak ingin orang lain. Terakhir kali mereka mengolokku karena datang sendirian. Jadi aku ingin kau yang pergi bersamaku malam ini. Karena itu kau harus mempercantik diri.”
“Tapi aku tidak tahu tentang bisnis.”
“Kami tidak akan membahas bisnis di sana. Kami hanya bersenang-senang, berbagi cerita, dan ya …” Darren memiringkan kepalanya. “Mungkin sedikit membahas tentang investasi.”
“Jadi aku hanya akan berada di dekatmu saja selama acara berlangsung, begitu?”
Darren mengangguk. “Benar sekali. Kau tidak perlu melakukan banyak hal. Cukup selalu di sampingku, dan kau akan aman.”
“Lalu … bagaimana dengan Mary? Siapa yang akan menjaganya?”
Baru saat itu Darren teringat. “Ah, aku sudah memikirkannya. Aku akan menitipkannya pada sekretarisku.”
“Apa tidak merepotkan?” Lily terlihat bersalah.
Darren melambai-lambai, mengisyaratkan bahwa itu bukan masalah besar saat ini. “Kau jangan mengkhawatirkan itu dulu. Pokoknya malam ini kau sudah harus siap. Sekarang pergilah ke SM Mall of Asia bersama wakil sekretarisku. Dia yang akan mengatur pengeluaranmu. Oke?”
Lily belum sempat mencerna semuanya, karena Darren mengatakan itu semua sembari menarik tangan Lily agar keluar dari ruangannya. Padahal Lily enggan pergi karena takut meninggalkan Mary dengan orang asing.
Tapi, saat melewati ruangan sekretaris yang tembus pandang itu dan melihat Mary bermain dengan sekretaris Darren, Lily mengerjap.
Apa benar tidak mengapa meninggalkan anak itu sehari saja?
Sayangnya, wakil sekretaris Darren malah sudah menuntun Lily pergi dari gedung.
Kenapa akhir-akhir ini majikannya itu jadi seenaknya begini, ya? Bersandar pada pintu mobil sembari memandang keluar, Lily memikirkan hal aneh yang terjadi pada majikannya itu selama perjalanannya menuju SM Mall of Asia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments