Patah hati?
Mike merasakannya untuk pertama kali, untuk seorang wanita yang bahkan belum lama ia temui, untuk seorang perempuan yang dunianya hanya tertuju pada satu pria, dan itu adalah Darren.
Perasaannya mungkin belum begitu dalam, dan mengetahui fakta bahwa Lily menyukai Darren lebih dulu---tentu membuka jalan untuknya agar lebih merelakan perempuan itu, tapi tetap saja, mungkin akan butuh waktu untuk menyembuhkan hatinya yang retak.
Pagi itu, seperti hari kemarin, Mike berangkat kerja dan juga berkesempatan merasakan masakan Lily yang ternyata sangat enak. Persis masakan rumah yang selalu dirindukan anak rantau.
"Aku berangkat!"
"Hm! Hati-hati!"
Senyuman Lily adalah hal yang terakhir dilihat Mike begitu menutup pintu apartemennya.
Setelah itu, selama perjalanan menuju kantor, ia bukan lagi dirinya yang tetap tenang selama berada di dekat Lily. Ia menjadi orang lain dengan satu tujuan; yakni menemui Darren untuk bicara.
Begitu sampai di kantor, kedua asisten Darren yang biasanya lebih dulu datang hanya bisa saling melempar tatapan ketika Mike masuk ke ruangan Darren tanpa beramah-tamah.
Ophelia yang lebih peka dengan keadaan langsung menyusul masuk ke ruangan.
"Mmm ... Pak?"
Mike menoleh, dirinya nampak tegang ketika duduk di sofa, rautnya bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda sikap bercanda yang sering ia tampilkan.
"Tuan McGold belum tiba, mungkin sekitar 5 menit lagi."
"Saya akan menunggu."
Mendapat jawaban yang begitu tegas dan dingin untuk pertama kalinya, Ophelia langsung pamit keluar dari ruangan. Ia cukup merinding. Semarah-marahnya orang pendiam, kadang lebih mengerikan marahnya orang humoris. Dan pagi ini Ophelia harus mengalami hal itu. Benar-benar mimpi buruk.
"Ada apa?" Diana bertanya setelah Ophelia kembali ke mejanya.
Ophelia mengedikkan bahunya. "Entah. Tapi Mike kelihatannya marah sekali."
Ia kembali menatap pintu ruang kerja Darren. Meresahkan. Seberapapun menjengkelkannya Darren dengan sikap bossynya itu, dia tidak mungkin membuat karyawannya sampai datang ke kantor pagi-pagi sekali dalam keadaan marah begitu. Terlebih, Mike bukan sembarang karyawan, ayahnya itu seorang pemegang saham terbanyak di perusahaan ini.
"Pagi."
Ophelia terlonjak dari pekerjaannya ketika bosnya menyapa seperti biasa. Tapi kali ini ada yang tidak beres dengan tampang Darren. Dia terlihat kusut dan tak terawat. Sebenarnya kenapa banyak sekali hal aneh yang terjadi pagi ini?
"Pagi," Ophelia dan Diana membalas bersamaan seraya memandangi punggung Darren yang menghilang di balik pintu.
Di dalam sana, Darren tidak cukup menyadari keberadaan Mike, ia berjalan dengan malas ke arah meja kerja lalu melepaskan kemejanya dan menggantungnya.
Mike berdehem dengan tatapan tajam menusuk ke arah bosnya itu.
Darren mendongak. "Sedang apa kau?"
"Aku ingin bicara."
Darren memijat pelipis seraya memejamkan matanya. Ia tampak kacau. "Nanti saja, aku sedang tidak bisa."
"Aku tidak meminta izinmu."
Menyadari sikap pemaksa itu, Darren mengerjap, lalu mendongak. Menatap sejenak Mike di sana dengan kening berkerut. Perlahan ia menyandarkan bahunya di punggung kursi.
"Baiklah. Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Aku hanya akan langsung ke intinya, kau pasti penasaran ke mana pengasuh kesayanganmu itu, kan?" Mike tersenyum miring, begitu sombong dan arogan.
Jelas sekali dia hanya ingin memanas-manasi Darren.
Darren yang sensitif dengan hal itu seketika menatap tidak suka.
"Sebenarnya apa yang ingin kau bahas?"
"Apa lagi kalau bukan tentang Lily."
"Apa maksudmu?"
Mike memutar bola matanya, sudah habis dengan kesabaran yang dia punya. Sedetik kemudian ia meninju meja kaca yang ada di depannya.
"Are you nuts! Kemarin, kau membuat Lily menangis! Dia bahkan menangis bak orang yang putus harapan. Tidakkah kau punya hati, huh? Atau kau memang terlalu bodoh untuk menyadari?"
Darren tidak bereaksi. Ia tidak membalas dengan teriakan, apalagi mengamuk. Ia malah menatap tajam, begitu mendung dan tak bernyawa.
"Dan kenapa kau begitu peduli tentangnya? Kau bahkan bukan siapa-siapanya, kenapa kau mendadak tertarik dengan urusan keluarga orang lain?"
Mike tertawa, ia tertawa dengan pahit.
"A Family?" Mike menyipitkan mata. "To be exact; a fake Family, am i right?"
Darren tidak menjawab dalam waktu lama, nampaknya ia cukup terkejut.
Darren kembali menatap. "Jadi kau sudah tahu?"
"Lebih dari itu."
"Jadi, apa yang sebenarnya kau inginkan?"
Mike menggelengkan kepalanya dalam keadaan tertunduk, dia hanya bisa terkekeh. Emosinya terlalu besar, bencinya begitu berat, dan dia harus menahan itu hingga membuat air mata berkumpul di pelupuk matanya.
Mike kembali mendongak dengan air mata tertahan, ia mengeratkan rahangnya dan mendesis, "Kau seharusnya menanyakan apa yang diinginkan Lily. Bukan apa yang kuinginkan."
Kalimat itu meninggalkan keheningan di seisi ruangan, suara yang terpantul hilang ditelan atmosfer yang menegang.
Lalu Mike melanjutkan, lebih seperti berbicara sendiri, "Seharusnya dari awal aku tidak perlu bilang ini, dan kau tidak akan pernah tahu. Tapi bagaimana juga, aku akan menyesal di kemudian hari bila tak mengatakannya---"
"Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan? Kenapa berliku-liku?"
"Lily has feeling for you, Idiot!" Bentak Mike, ia sudah tidak tahan dengan sebuah kebodohan berbentuk manusia ini.
Darren membeku di tempat, iris matanya bahkan tak bergerak seinci pun.
"Mustahil," kata itu lolos dari bibirnya. "Dia ... Dia bahkan selalu menghindariku akhir-akhir ini."
Mike tersenyum miring. "Dasar bodoh! Kau pikir dia akan mengatakannya dengan lantang, huh? Bagi Lily, di matamu itu, dia hanyalah seorang pengasuh. Bagaimana mungkin dia dengan gamblang akan menunjukkan perasaannya!"
Baru pada saat itu Darren paham. Semua keraguan di dalam hatinya, semua pertanyaan di dalam pikirannya, ternyata ... ternyata hanya karena Lily memiliki perasaan padanya.
"Ta, tapi ... Bagaimana bisa?" Darren memandang sayu.
Mike menatapnya gelap tak berselera. "Kau pikir saja sendiri, bodoh!" Hardiknya.
Darren menelan pahit umpatan itu. Ia tertunduk untuk berpikir sejenak, fakta barusan benar-benar membuat pikirannya kacau.
"Apa yang harus kulakukan?" Gumamnya.
Mike mengernyit. "Kenapa kau mendadak begitu peduli dengan perasaannya? Seharusnya kau lanjutkan saja permainan menjadi-orang-tidak-peka-mu itu."
"Karena aku juga menyukainya," balas Darren dengan lemah.
Lagi-lagi Mike memutar bola matanya dengan muak. "Great, just great." Ia bertepuk tangan dengan canggung. "Sekarang, bukan hanya Lily yang punya perasaan, rupanya kau juga membalas perasaannya."
Sedetik kemudian tatapan Mike kosong. Dia mungkin terlihat arogan di luar, namun jauh nun di sana, sesak saja belum cukup; ia putus asa karena mengalami kekosongan yang menggerogoti hatinya.
Kenapa kenyataan itu sangat kejam?
Kenapa selalu tidak sesuai ekspektasi?
Seberapa pun Mike ingin menghajar Darren hingga sekarat, kenyataan selalu berbisik padanya bahwa tidak akan ada yang berubah meski ia melakukan hal itu. Mereka sama-sama mencintai. Dan dirinya tidak ada ruang di sana.
"Sebenarnya bagaimana kau mengetahui bahwa Lily menyukaiku?"
Pertanyaan itu membawa alam sadar Mike ke dasar realita. Ia masih menatap tajam.
"Darimana lagi kalau bukan dia sendiri yang cerita."
"Cerita padamu?"
Mike menyandarkan punggungnya di bahu sofa seraya menghela napas panjang.
"Selama ini dia menginap di apartemenku."
Serta-merta Darren beranjak dari kursinya. Begitu terkejut akan keberadaan Lily yang sebenarnya. Berhari-hari ia mencari wanita itu, dan dia malah ada di apartemen pria ini?!
Darren mengernyit. "Kau apakan dirinya?"
Mike tersenyum miring. "Menurutmu?"
Biarkan saja, biarkan saja Darren berasumsi yang tidak-tidak. Mike sangat ingin membuat mental pria itu terganggu.
Dan benar saja, Darren yang benar-benar tidak mengharapkan jawaban itu dengan spontan melangkah geram ke arah Mike dan menarik kerah bajunya begitu kasar.
Mike terangkat dari duduknya dan balas memandangi Darren tak tertarik.
"Katakan, kau apakan dia?!"
Mike memiringkan kepalanya. Sekali lagi, senyuman miring menggoda itu mempermainkan emosi Darren.
"Seharusnya aku yang tanya, kau apakan dia sampai aku harus menemukannya tergeletak di tengah-tengah hujan deras malam itu!"
Mike mendorong dada Darren hingga pria itu melangkah mundur. Tatapan Darren kosong.
"Malam itu? Apa maksudmu?"
Mike memutar setengah bola matanya. "Mana kutahu. Kau ingat saja sendiri, dasar bodoh!"
Darren mengingat kembali. Tapi nihil. Seberapapun kerasnya Darren berusaha, ia benar-benar tidak mendapatkan apa-apa.
Mike memejamkan matanya erat-erat sembari menghela napas berat. Dia tertawa pahit. Sudahlah. Waktunya habis hanya untuk menjelaskan. Dia bahkan seperti sudah tidak berselera lagi. Lily memang tidak layak didapatkan oleh pria macam Darren yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
Dengan begitu, Mike melangkah pergi.
"Tunggu!"
Mike berhenti di tempat, terdiam dan tak berbalik, menunggu apa yang akan disampaikan Darren.
"Aku ... Aku ... Sebenarnya apa yang terjadi? Aku benar-benar tidak bisa mengingat apapun. Kau pasti tahu sesuatu, malam itu kan kau yang mengantarku pulang."
Mike langsung mengernyit, ia berbalik perlahan. "Kalau begitu tetaplah jangan mengingatnya, itu akan lebih baik bagi Lily."
Mata Darren bergetar, mulai berpikir yang tidak-tidak. Sebenarnya dia tidak ingin menduga-duga, tapi apabila benar ... apakah sesuatu yang intim telah terjadi?
Seolah-olah mendapatkan jawabannya, lagi-lagi Darren menghentikan Mike yang kini sudah memegang gagang pintu, "Tunggu!"
Mike berhenti lagi.
"Apa aku dengan tidak sengaja melakukan sesuatu yang intim padanya?" Darren bertanya takut-takut. Ia sendiri tahu dirinya tidak mungkin melakukan hal itu, tapi mengingat alkohol adalah pendorong untuk melakukan hal buruk, Darren menjadi takut ia telah melakukan hal yang tidak-tidak.
Alih-alih pergi meninggalkan ruangan, perlahan Mike berbalik seraya bertepuk tangan.
"Bagus, bagus sekali ... tebakan yang benar."
Senyuman miring menggoda itu telah kembali, mengejek Darren. Sepersekian detik kemudian, ia berhenti di depan wajah Darren, begitu dekat hingga napas mereka saling beradu, dan tatapan pria itu tidak lagi menunjukkan kilatan candaannya. Seperti sebelumnya, amarah Mike yang telah padam kini kembali berkobar dengan buas.
"Lalu apa yang akan kau lakukan, huh?! Meminta maaf? Mengembalikan segalanya seperti semula? Atau ... Membeli kembali kepercayaannya dengan air mata penyesalanmu? Oh, Klise sekali."
Mike tersenyum miring sembari mengeratkan rahangnya.
"Kalau semua itu bisa membuatnya kembali ke rumah, aku yakin bisa membujuknya."
Mike tertawa pahit seraya mengangguk-angguk. "Baiklah, baiklah ... lakukan yang kau anggap benar dan kita lihat apakah pria brengsek sepertimu layak mendapatkan kesempatan kedua."
Darren pun tidak kalah seriusnya. "Dan apabila kesempatan itu memang ada, apakah kau akan merelakannya?"
Mike tersenyum. Jadi Darren pun sudah tahu? Apa begitu kentara bahwa Mike menyukai Lily?
Mike memiringkan kepalanya. "Kita lihat saja."
Dengan begitu, Mike melenggang pergi dari ruangan, menggantung atmosfer penuh persaingan di udara, meninggalkan sosok Darren yang masih terlalu syok akan fakta yang didengarnya hari ini.
...----------------...
Malam itu Darren pulang seperti hari-hari kemarin. Rumah nampak sedikit berantakan, ada banyak kekacauan yang terjadi di rumah mengingat Lily tidak tinggal bersama mereka lagi.
Mencari dan menyewa pembantu pun rasanya berat sekali bagi Darren. Dia tidak ada waktu untuk itu. Akhirnya Diana yang menjadi sasaran untuk merawat Mary, membuat tugas-tugasnya di kantor harus dibawa ke rumah ini untuk di kerjakan. Meski jadwalnya dimulai hanya ketika Mary pulang sekolah, namun tetap saja, rasa lelahnya tidak ada duanya. Tapi mengingat gajinya dibayar 4 kali lipat, tentu saja Mary tidak bisa menolak.
"Mary sudah tidur?"
Darren menghampiri Diana yang duduk di sofa keluarga dan tengah sibuk dengan laptopnya.
Memeriksa jam di dinding, Diana menjawab, "30 menit yang lalu."
Darren mengangguk-angguk. Diam-diam ia memerhatikan wanita itu, Diana benar-benar terlihat kacau: lengan baju yang terlipat tak beraturan, kerah baju yang bernoda, rambut yang diikat asal-asalan. Pasti berat harus mengurusi pekerjaan kantor, membersihkan rumah, bahkan merawat Mary.
Ah ... Darren menghela napas sembari menyandarkan punggungnya di sofa.
Bagaimana bisa Lily tetap terlihat cantik meski mengerjakan semua pekerjaan di rumah sebesar ini?
Darren memandangi lampu kandil yang menggantung di atas sana dengan tatapan tak berarti, tak berselera, dan begitu lelah.
Diana mengintip dari ekor matanya, "Bos tidur?"
Darren mengerjap, kemudian meluruskan duduknya. "Ah ... tidak, tidak. Aku hanya sedang berpikir." Ia langsung berdiri dari sofa, "Kalau begitu aku naik ke atas dulu, kalau kau ingin pulang, pakailah mobilku yang satunya, tapi kalau kau ingin tidur, tidurlah di kamar tamu."
Diana tersenyum. "Siap, Bos!"
Begitu Darren tiba di lantai atas, ia menyempatkan diri untuk singgah ke dalam kamar putrinya.
Suara pintu saling bergesekan begitu dibuka, di dalam sana ada sosok menggemaskan sedang tertidur, begitu lelap, begitu damai. Bayangan kupu-kupu dari lampu tidur bermain di dinding, berputar bak mimpi-mimpi yang indah---Darren melangkah masuk dengan pelan-pelan tanpa membuat gaduh, kemudian duduk di bibir ranjang.
Darren tersenyum lemah. "Maafkan ayah. Maafkan ayah karena tidak bisa membawa Lily untuk Mary." Air mata berkumpul di pelupuk mata tanpa ia sadari. "Tapi ayah janji, sayang. Ayah janji akan segera membawa Lily kembali ke rumah ini demi Mary."
Lengan Darren terjulur menyentuh anak rambut yang menempel di pipi Mary, hendak menyingkirkannya dari sana. Namun alangkah kagetnya pria itu saat merasakan hawa sepanas bara api menyentuh jarinya.
Darren mengerjap, tegugu. Sedetik kemudian ia menyibak selimut yang menutupi Mary, kemudian mengecek suhu tubuhnya, mulai dari kening, leher, hingga lengannya ia raba.
Hati Darren berdegup bukan main. Bagaimana ini? Kenapa bisa terjadi!
Menelan ludah kasar, Darren berlari keluar dari kamar dan berteriak dari lantai atas, "Diana!"
Diana mendongak secepat kilat.
"Siapkan mobil, kita akan ke rumah sakit!"
Tanpa menunggu jawaban, Darren kembali ke kamar dan duduk di dekat putrinya, menggenggam tangannya dengan tatapan sayu.
"Sayang ... Apakah kau sebegitu merindukan Lily?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments