Hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
Angin semakin kencang, kabut hujan semakin tebal.
Lily berakhir duduk di salah satu halte setelah merasa kakinya tidak sanggup lagi melangkah. Rasa lelah menyergapnya. Pikirannya kalut. Dan dia tidak baik-baik saja.
Lily selalu memiliki masalah dengan tubuhnya. Imunnya tidak sekuat itu terhadap hal-hal seperti ini. Dingin yang berlebihan akan membuatnya demam.
Lamat-lamat kesadarannya ditelan.
Dan Lily pingsan.
Tubuhnya tanpa sadar telah dibawa pergi oleh orang asing malam itu.
...----------------...
Pagi-pagi sekali Darren terbangun oleh suara tangisan.
Semakin dirasakan malah semakin menganggu. Belum lagi rasa dingin yang menyelimuti tembus ke persendian.
“Arrgh!”
Darren bangun dengan tidak santai, mengerang kesal dan seketika tumbang kembali ke sofa. Itu karena kepalanya mendadak pening karena bangun secepat kilat.
Setelah merasakan setitik hitam di depan matanya menghilang bersamaan rasa nyut-nyut di kepala, Darren memerhatikan seluruh rumah.
Herannya dia malah berada di lantai satu. Di hadapannya ada sebaskom air di atas meja, dan handuk yang tergeletak di lantai.
Darren menoleh ke belakang, dan langsung menyadari bahwa pintu rumahnya terbuka lebar, membawa angin pagi selepas hujan masuk dengan bebas.
Pantas saja begitu dingin!
Darren berdiri sembari melipat lengan di depan dada, berusaha menghangatkan tubuh meski gagal.
Ditutupnya pintu rumah dengan cepat, lalu ia kembali lagi ke sofa.
Namun, Darren lagi-lagi mengernyit. Baskom air dan handuk di lantai itu tidak mungkin dia yang ambil. Tidak mungkin sekali.
“Huwaaa!”
Tangisan itu kembali.
Mengusik pikirannya.
Spontan mata Darren melirik ke lantai atas. Mary sudah bangun. Tapi kenapa tidak juga berhenti? Ke mana sebenarnya Lily? Kenapa tidak mengurus Mary?
“Huwaaa!”
Dengan rasa ingin tahu berat, mau tak mau Darren melangkahkan kaki menaiki anak tangga menuju kamar Mary.
Tapi sayangnya Tamtam tidak ada.
Maka, Darren kembali melangkah, kali ini menuju kamar Lily.
Begitu pintu dibuka, di sana, Mary menangis seperti baru saja kehilangan mainan berharganya. Dengan memegang selimut Lily dia menangis histeris. Air matanya tumpah-ruah karena sedih.
Dengan perasaan khawatir, Darren langsung menghampiri putrinya lalu duduk di pinggir ranjang.
“Mary ...” Panggilnya dengan lembut.
Mary berbalik, sontak memeluk pinggang ayahnya. Menumpahkan air mata di baju ayahnya yang sayangnya berbau alkohol itu.
Mary mendongak. Rasa kehilangannya lebih besar daripada masalah bau aneh di tubuh ayahnya ini.
“Mommy tidak ada! Hueee!”
“Mommy?”
Otak Darren mendadak melambat. Pengaruh alkohol membuatnya tolol sedikit.
Dia jadi lupa akhir-akhir ini Mary sering memanggil Lily dengan sebutan Mommy.
Baru saat itu ia sadar.
“Hah?! Maksud Mary apa?”
Bukannya menjawab, Mary malah mencengkram baju ayahnya, menarik-narik dengan keras.
“Ayah, cari Mommy! Mommy Mary tidak ada.”
Alis Darren semakin mengernyit. Dia tidak paham apa yang terjadi, tapi kalau sampai Mary menangis hingga begini, berarti ada kemungkinan Lily benar-benar menghilang.
Dengan buru-buru Darren meraih Mary dan membawanya keluar dari kamar.
Mereka turun ke lantai satu, lalu Darren mulai memanggil nama Lily, disusul dengan Mary.
Teriakan mereka bersahut-sahutan di pagi buta itu. Seluruh rumah sudah dikelilingi. Namun sosok Lily yang bahkan biasanya sudah nangkring di dapur untuk menyiapkan sarapan malah tidak ada. Membuat segalanya makin mencurigakan.
Satu-satunya jalan pilihan, menghubungi ponsel Lily.
Dengan panik Darren menurunkan Mary dan berlari ke luar untuk mengambil ponselnya di dalam mobil.
Setelah kembali masuk ke dalam rumah dan duduk menenangkan diri di sofa bersama Mary, Darren langsung menelepon dan menunggu nada sambung di ponselnya.
Triiing~
Samar-samar terdengar nada familiar. Ponsel Lily rupanya masih di kamar lantai dua.
Itu artinya Lily bahkan tidak membawa ponselnya.
Bagaimana ini?
Mary bahkan sudah harap-harap cemas menatap ayahnya dengan mata bulat berkaca-kaca itu, menunggu kejelasan.
Darren termenung. Memikirkan cara menjelaskan hal membingungkan ini.
Menelan ludahnya, Darren memberanikan diri menatap putrinya.
“Mary ... Hari ini ayah yang akan mengantarmu ke sekolah. Setelah itu ayah akan menjemput Lily---ah, tidak---Mommymu di tempat Tante Enid, ya? Mungkin dia ada urusan, jadi ke sana sebentar.”
Darren mengawali kebohongannya dengan senyuman palsu. Meyakinkan Mary bahwa tidak ada yang salah dengan kejadian aneh di pagi hari ini.
Beruntungnya, meski ragu-ragu, Mary mengangguk dengan isakan yang masih tersisa.
Dengan begitu, Darren berakhir merawat Mary seorang diri. Hal yang teramat jarang ia lakukan semenjak Lily ada. Dan sayangnya sosok terpenting di hidup mereka kini malah menghilang entah ke mana.
...----------------...
Lily demam tinggi. Lebih tinggi dari terakhir kali ia masuk rumah sakit karena tenggelam.
Angin semalam tidak main-main. Curah hujan yang tinggi bahkan membuat pohon-pohon besar tumbang dan masuk berita pagi hari.
Samar-samar suara TV terdengar dari luar. Aroma roti panggang memenuhi ruangan.
Lily menelan ludah. Hidungnya terasa mampet, namun masih mampu mencium aroma yang tajam meski sedikit.
Matanya terasa penas, ketika dibuka, rasanya begitu berat.
Lily merasakan kompres basah di keningnya.
Perlahan matanya menyusuri seluruh ruangan. Memastikan ia tidak di berada di rumah Darren.
Tidak. Lily tidak ingin kembali ke tempat itu.
Ia takut kejadian yang sama terulang lagi.
“Kau sudah sadar?”
Suara familiar itu bertanya ramah. Mengalun lembut dan masuk dengan sopan di telinga Lily.
Mike?
Kebingungan menghinggapi Lily. Tautan di keningnya mulai muncul.
Mike melangkah dari ambang pintu, menghampiri Lily seraya terkekeh sebelum akhirnya duduk di pinggir ranjang.
Mike memakai sweater putih berbahan lembut, bisepnya tercetak dengan jelas. Dia begitu tampan untuk menjadi pemandangan pertama yang dilihat Lily saat terbangun dari tidurnya.
Merasa peka dengan keadaan Lily yang mungkin sedang bingung, Mike lantas kembali bersuara, “Kau di apartemenku.”
Apartemen?
“Apa yang terjadi?”
Rasa serak yang kasar itu terasa berat untuk dikeluarkan. Kerongkongan Lily terasa panas dan gersang, seperti sudah lama tidak menyentuh air.
Lily menelan ludah sebisa mungkin setelah mengeluarkan kata pertamanya.
Mike malah tersenyum bersalah.
“Setelah pulang dari mengantar Darren, aku singgah untuk belanja beberapa hal. Dan aku berakhir menemukanmu di halte bus di mana aku lewat malam itu.”
Lily mencerna penjelasan Mike, dan dia terdiam sejenak. Sebenarnya karena tidak tahu harus berkata apa.
Lily sungguh malu karena mereka harus bertemu dalam keadaan seperti itu.
Well, faktanya Lily malu karena dia bertemu Mike dalam keadaan dirinya benar-benar kacau malam itu.
“Terima kasih.”
Hanya itu yang bisa Lily katakan.
Mike mengerjap, menatap sedih ke arah Lily. Seolah-olah ia menyimpan beribu pertanyaan di benaknya setelah melihat keadaan menyedihkan Lily terakhir kali.
“Apa boleh aku bertanya sesuatu?”
Lily tidak yakin, tapi dia mengangguk saja.
Menghela napas panjang, Mike kembali bertanya dengan hati-hati, “Sebenarnya ... kenapa kau bisa berada di halte malam itu? Bukankah seharusnya kau merawat Darren? Apa kalian bertengkar?”
Lily terdiam seribu bahasa.
Ia bahkan tak berani untuk menatap mata Mike saat ini.
Tidak mendapat respon cukup lama, Mike akhirnya mengulum senyum.
“Tidak apa-apa kalau kau tidak ingin cerita sekarang. Mungkin nanti setelah kau sudah siap. Yaaah ... salahku juga sih karena sudah lancang bertanya urusan keluarga orang lain.”
Mike terkekeh canggung di akhir kalimatnya. Ia bahkan mulai menggosok-gosok tengkuknya, seolah-olah tawanya lagi belum sepenuhnya membuat atmosfer di sekitar mereka makin canggung.
Namun, hal itu malah mengusik Lily.
Ia lantas kembali menatap Mike.
“Itu ...”
Mike menatap lagi. Menunggu.
“Kau tidak salah.”
Mike mengerjap.
“Aku mungkin akan cerita setelah sudah siap.”
Lily kembali menundukkan pandangannya.
Entah kenapa ada rasa berat di hatinya.
Entah itu karena rasa bersalah telah berutang budi penjelasan pada Mike, atau memang itu murni rasa bersalah telah membohongi orang sebaik Mike.
Yang jelas, Lily tidak siap menceritakan kebohongannya.
Ia belum siap kalau Mike membencinya dan memutuskan jalinan pertemanan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments