Lily tidak mau sampai mengecewakan majikannya lagi! Kali ini dia nekat datang 30 menit bahkan sebelum bel pulang sekolah berbunyi.
Sebelum masuk, Satpam sekolah yang kemarin sempat bertanya begini, “Ibu yang kemarin, kan?”
Lily mengiyakan.
“Mau laporan ke pihak sekolah ya gara-gara kemarin?" Satpam itu bertanya ragu-ragu. Tentu saja, kalau sampai wanita di hadapannya ini melapor lalu menuntut Satpam yang tidak becus kerjanya, sudah pasti dia harus jadi pengangguran.
Tapi senyuman dan jawaban Lily membuat hatinya merasa lega. “Tidak, Pak. Kemarin anak saya sudah ditemukan, sekarang saya mau ke sini buat jemput anak saya lagi.”
Seperti kesepakatan Darren dan Lily sendiri, Lily akan berpura-pura menjadi ibu Mary. Bukan hanya di depan Victoria, tapi juga di depan satpam ini. Untuk jaga-jaga saja, siapa tahu wanita itu datang lagi, Satpam kan tinggal bilang bahwa sudah ada ibunya yang menjemput anak itu.
Ah, Lily tidak tahu dia bisa sepintar itu untuk mengelabui orang lain.
Tapi … kalau dipikir-pikir lagi, Lily merasa bersalah. Mary seharusnya mendapatkan haknya untuk sekedar bertemu dengan Mary, tapi karena Lily, Victoria akan berpikir bahwa Lily hanyalah batu penghalang. Apa dia berdosa karena melakukan hal ini?
“Bu, ibu ….”
Lily terlonjak kaget dari lamunannya saat sedang bersantai di kantin sekolah. Ketika berbalik, dia menemukan ibu kantin di belakangnya.
“Iya?”
“Bel sekolah sudah bunyi, mungkin anak-anak kelas satu sudah ada yang keluar.”
Bergegas memakai tasnya, Lily beranjak dari bangku dan berterima kasih pada ibu kantin tadi sebelum pergi menuju kelas 1 A.
Menunggu bersama orang tua lainnya, Lily mengintip melalui jendela. Setelah memberikan salam pada guru, anak-anak mulai berhamburan keluar menemui orangtuanya. Lily bahkan menerobos untuk bisa menarik Mary dari sana.
“Hari ini Mary belajar apa?” Tanya Lily sambil berjalan menuju gerbang sekolah.
“Matematika dan Bahasa Inggris!”
“Oh, ya? Apa Mary mencatat semuanya?”
“Hm!” Mary mengangguk semangat.
“Apa Mary mendengarkan guru dengan baik?”
“Hm!” Mary mengangguk antusias lagi. Baginya, pulang bersama Lily itu menyenangkan.
Ah, Lily gemas jadinya.
“Mary mau makan es krim, tidak?”
Pertanyaan itu spontan membuat Mary mulai meloncat-loncat. “Mau! Mau! Mau!”
“Mau rasa apa?”
“Stroberi!”
Lily mengangguk seraya tersenyum. "Okeee!”
“Mary!”
Tiba-tiba sebuah suara memanggil. Itu datang dari arah sebrang jalan. Lily mengenalnya. Mary datang lagi seperti perkiraan Darren.
Wanita itu menghampiri mereka. Entah kenapa Lily tidak bisa lari dari sana, mungkin karena Victoria sudah terlanjur melihat mereka.
Karena Victoria bertingkah seolah-olah akan memeluk Mary, Lily terpaksa bergerak defensif untuk menyembunyikan Mary di belakangnya.
Victoria terkejut. "Siapa kau?” Tanyanya tersinggung. Dia tidak mengenal wanita ini sebelumnya. Tapi rasanya dia pernah melihatnya di suatu tempat.
Lily tidak kalah terkejut. Apa dia harus berperan sebagai ibu Mary sekarang?
“Aku … aku ibunya!” Astagaaa, maafkan aku nyonya karena menghalangimu, batin Lily yang ketakutan.
“Ibunya?” Victoria terlihat tidak suka. “Jadi kau ….”
Lily mengangguk cepat saja. Asal semua ini cepat selesai.
“Tapi dia——!” Victoria berhenti di sana, dia tidak bisa bilang bahwa Mary adalah anaknya. Semua akan sia-sia untuk mendekati putrinya itu.
Perlahan Victoria tersenyum paksa alih-alih memarahi Lily. “Bagaimana kalau kita berbicara di tempat yang bagus?”
“Ha?”
Victoria sudah duluan menarik tangan Lily. "Ayo.”
Mau tidak mau Lily menurut. Victoria menarik Lily, Lily menarik Mary, mereka menyebrangi jalan seperti itu. Setelah memasukkan Mary ke dalam mobil, Lily ikut naik. Namun sebelum itu terjadi, seseorang mencegah Lily.
“Berhenti di sana!”
Victoria dan Lily menoleh terkejut. Itu Darren! Dari mana dia datang, Lily tidak tahu. Karena hal selanjutnya yang terjadi adalah Mary kembali dikeluarkan dari dalam mobil kemudian Lily ditarik pergi.
Sejenak Darren melempar tatapan tajam ke arah Victoria. “Jangan ganggu keluargaku lagi!” Tukasnya meninggalkan Victoria yang terdiam berdiri melihat kepergian mereka.
***
“Kenapa kau tidak bisa menolaknya? Bukankah sudah kubilang untuk membuat Victoria sadar bahwa dia tidak ada tempat dan hak di keluarga ini?”
Darren menghakimi Lily di ruang keluarga. Mary sudah dari tadi disuruh masuk ke kamarnya dan dilarang mendengar percakapan mereka.
Lagi-lagi Lily tertunduk, dia ingin menangis. “Maaf, Tuan. Tapi aku tidak bisa. Aku takut menjadi batu sandungan bagi Victoria. Hanya karena aku, dia jadi tidak bisa bertemu putrinya. Aku merasa sangat berdosa kalau harus melakukan itu. Bagaimanapun kalau dipikir-pikir, itu hal yang kejam kalau sampai memisahkan anak dari ibunya.”
Darren memijat pangkal hidungnya seraya mendudukkan diri di sofa. Dia terdiam sejenak untuk menenangkan diri sebelum akhirnya mengangkat pandangannya.
“Victoria lah sendiri yang lebih dulu memisahkan dirinya dengan Mary. Jadi bagaimana bisa kau berkata seperti itu? Kau juga seharusnya tidak berpikir demikian. Kau bukanlah batu sandungan. Kau bukan penghalang. Sama sekali bukan. Seharusnya kau berpikir, bahwa dengan melakukan ini, kau bisa membuat Mary tidak harus merasa tersakiti. Kau pikir bagaimana rasanya kalau Mary sampai tahu bahwa dia tidak diinginkan bahkan sebelum lahir?”
Lily tertegun. Tiba-tiba rasa bersalahnya untuk menjauhkan Mary dari ibu kandungnya serta merta hilang begitu saja. Darren benar sekali. Dari awal Victoria memang tidak menginginkan Mary, dia membuang Mary lebih dulu, meninggalkannya setelah lahir. Pasti menyakitkan sekali mendengar hal ini bagi seorang anak yang berusia 6 tahun.
Lily menggigit jarinya. “Lalu … Tuan ingin aku melakukan apa?”
“Tetaplah berpura-pura menjadi Ibu bagi Mary. Perjuangkan Mary seolah-olah dia anakmu sendiri. Jangan biarkan dia merebutnya. Jangan biarkan dia memasuki kehidupannya. Apa kali ini kau bisa melakukannya?”
Ragu-ragu Lily mengangguk mengiyakan. “Baik, Tuan.”
Setelah pertengkaran dan kesepakatan kedua kalinya itu, Darren kembali lagi ke kantornya dan Lily memutuskan untuk naik ke atas.
Perlahan Lily membuka pintu kamar Mary, didapatinya anak itu sedang menonton kartun dengan suara nyaring kelewat batas. Sepertinya dia benar-benar mematuhi ayahnya untuk tidak mendengar percakapan orang dewasa.
“Lily ….” Panggil Mary yang langsung beranjak duduk. Dia menyambut seolah-olah sudah dari tadi menunggu Lily.
Lily tersenyum lembut, lalu mendadak pura-pura kaget. “Aduh! Kita lupa membeli es krim!” Lily meloncat menaiki tempat tidur seraya tertawa geli.
Mary ikut tertawa lalu kembali teringat. “Lily, Lily .…”
“Iya?”
“Sebenarnya … Tante yang tadi itu siapa?”
“Eh? Bukannya Mary bilang dia teman kerja Ayah, ya?”
“Iyaaa! Tapi dia seperti orang jahat, dia memarahi Lily tadi.”
Mata Lily bergerak gelisah, tapi dia tutupi dengan senyuman. “Aih! Mana ada? Dia mungkin belum kenal dengan Lily makanya tadi kaget.”
Mary seperti tidak puas dengan jawabannya, meski begitu dia mengangguk saja.
“Tapiii … di depan Tante tadi, Lily bilang bahwa Lily adalah ibunya Mary. Kenapa? Apa sekarang Lily benar-benar adalah ibu Mary?”
Mary terlihat senang sekali dengan pemikiran itu. Lily mengangguk seraya tersenyum. Dia harus terlihat meyakinkan dalam perannya, kali ini bukan hanya di depan Victoria, tapi di depan semua orang. Demi Mary, katanya.
“Benarkah?!” Mary senang kelewat batas, sampai-sampai dia melompat ke pelukan Lily begitu saja. “Yeaaay! Sekarang Mary punya Ibu. Lily jadi Ibunya Mary!” Mary mengecup pipi Lily begitu lama. “Pokoknya, Mary sayaaang sama Lily!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments