Darren tidak menunggu arahan dan langsung menarik Mary selagi Mike masih memegangi tubuh Lily di bawah sana. Spontan semua orang berkerumun.
“Berikan ruang!” Darren memekik marah, membuat semuanya bergerak mundur.
Setelah itu Darren berusaha memberi napas buatan pada Mary selagi air matanya mengalir deras.
“Bangun, Sayang.” Darren menampar pelan pipi Mary berkali-kali. “Bangun demi Ayah, Sayang.”
Bibir Darren mulai bergetar menahan tangis. Kejadian bertahun-tahun silam ketika ia masih kecil datang menghantui. Persis seperti Mary, Darren pernah tenggelam di pemandian umum hingga suaranya tidak keluar selama seminggu akibat tenggelam berpuluh-puluh menit di dasar kolam.
Berulang kali Darren memberi napas buatan, dan ketika Darren hampir menyerah, Mary akhirnya menyemburkan air yang ditelannya. Perlahan paru-parunya mulai terisi, Mary membuka matanya yang merah perih seraya mulai menangis memeluk ayahnya. Tangisnya begitu menyayat, begitu ketakutan. Dan Darren hanya bisa mendekapnya dengan rasa khawatir luar bisa akan bayangan kehilangan putri satu-satunya yang ia miliki.
Dan di sebelah sana, Darren menyaksikan Lily yang ikut memuntahkan air dari mulutnya setelah diberi napas buatan oleh Mike.
Mike mendongak melihat Mary yang sadar lebih dulu, lalu matanya bertemu tatap dengan Darren.
“Terima kasih.” Hanya itu yang bisa Mike tangkap dari bibir Darren.
...----------------...
Mata Lily bolak-balik memerhatikan Diana yang mondar-mandir di hadapannya.
“Sudah kubilang, aku baik-baik saja. Tidak perlu sampai ke rumah sakit.”
Dalam balutan gulungan selimut dan tengah berbaring di atas ranjang, Lily mengomel tiada henti. Suaranya parau dan hidungnya mampet.
“Katakan itu pada Darren, karena dia yang bersikeras agar kita pulang sekarang.”
Darren lanjut mengepak barang-barang. Dan Lily kembali menghela napas.
Tok! Tok! Tok!
Diana melirik Lily sebentar. “Itu mereka.” Lantas pergi membukakan pintu.
“Kalian sudah selesai?”
Samar-samar Lily mendengar suara Darren di depan sana, tidak lama setelah itu Darren masuk dan berdiri menatap Lily.
“Kita harus pulang sekarang, helikopternya akan mendarat sebentar lagi.”
Lily menghela napas. Ia melirik Mary yang tengah tertidur di pundak Darren setelah lelah menangis.
“Bagaimana keadaan Mary?” Tanya Lily.
“Kita harus ke rumah sakit untuk mengetahui keadaannya, karena kapal sebesar ini bahkan tidak memperkerjakan seorang dokter pun.”
Darren terdengar begitu marah dan mengeluh. Lily dan Diana merasakan hal itu. Lily ingin bertanya demikian, tapi ia yakin, pertanyaannya tidak akan membuat dokter akan muncul tiba-tiba di kamar hotel ini.
“Sebaiknya kalian bersiap-siap. Aku akan jalan duluan.”
...----------------...
Lily menggigil hebat ketika angin berembus masuk ke sela-sela selimutnya begitu mereka mengudara di atas laut. Beruntungnya Diana memeluknya erat selama satu setengah jam.
Mendarat di atas helipad gedung Bumrungrad Internasional Hospital, Lily dijemput dengan kursi roda selagi Mary masih setia di gendongan ayahnya.
Lily setengah sadar ketika ia mulai mencium aroma khas rumah sakit yang menusuk penciuman. Samar-samar penglihatannya mendapati ia ada di lorong rumah sakit, tengah menuju sebuah ruangan yang tidak sempat ia lihat lebih lanjut, karena sepersekian detik kemudian, demam tinggi menjalar cepat di seluruh tubuh Lily, mengakibatkan matanya terasa panas dan perih kalau tidak segera ditutup. Ia akhirnya pingsan.
...----------------...
Perlahan setitik cahaya masuk ke dalam penglihatan, mengantarkan Lily pada langit-langit kamar rumah sakit sebagai hal pertama yang ia lihat. Pandangannya menelisik ke arah kanan, terdapat jendela berukuran besar yang memperlihatkan kelap-kelip gedung-gedung seberang, suara kendaraan saling bersahutan di bawah sana melalui jendela tak kedap suara. Lalu beralih ke sebelah kiri, seisi ruangan terasa begitu hampa, terdapat sofa kosong dekat pintu, lemari pakaian pasien, dan sosok pria yang tengah duduk di sebelah ranjangnya.
Lily membuka mulutnya, berusaha mengucapkan sesuatu. Namun nyatanya sama sekali tak ada suara yang keluar. Tenggorokannya terasa bagai oasis, kering dan panas.
Bulir air mata jatuh begitu saja dari matanya yang terasa seperti dicelupkan ke dalam bara api. Demamnya terasa makin tinggi, permukaan kulitnya terasa panas membakar, namun entah bagaimana di dalam sana Lily merasa kedinginan.
Jari-jemari Lily berusaha meraih sosok pria tersebut ketika sadar mulutnya tak bisa berucap karena suara yang mendadak hilang.
Remang-remang cahaya lampu ruangan terpantul pada wajah yang akhirnya mendongak itu. Lily sadar bahwa dia adalah Mike.
Mike terlihat mengantuk, matanya memerah. Ia sudah tidur sejak sore tadi dalam posisi duduk melipat lengan di depan dada, dan rupanya ini sudah malam ketika ia mendapati Lily berusaha meraihnya dengan tangan.
Mike mengucek matanya berulang kali. “Lily?” Ia kemudian berdiri terkejut dari kursinya dan melirik pintu kamar rumah sakit. Ia berpikir untuk memanggil dokter. Yang mana dia sendiri lupa karena terlampau kaget---bahwa bisa memanggilnya dengan tombol darurat di atas kepala ranjang pasien.
Namun Lily berusaha menangkap tangan Mike. Baru ketika itu Mike membeku dan berusaha memahami atas tindakan Lily saat ini.
Tangan kanan Lily menunjuk segelas air di atas meja. Mata Mike mengikut, dan tahu apa yang harus ia lakukan. Diambilnya gelas tersebut, lantas berusaha membuat Lily untuk meminumnya.
Setelah selesai, Mike menidurkan Lily lagi. “Bagaimana perasaanmu?”
Lily memejamkan mata dan menggeleng. Itu artinya tidak baik-baik saja. Mike hanya bisa murung. Ia duduk kembali, menunduk sebentar, kemudian mendongak lagi.
“Kupanggilkan dokter, ya?”
Masih dalam keadaan terpejam, Lily menggeleng lagi. Ia berusaha membuka mulutnya, dan Mike sadar tak ada yang keluar sama sekali. Ia lantas menempatkan telinganya di depan bibir Lily, berusaha mencapai apa yang hendak dikatakan wanita itu.
“Ja, jangan ...” Lily menelan ludah kasar dan berusaha sekali lagi. “Tinggalkan aku.”
Mike terdiam, ia menoleh, di mana wajahnya dan bibirnya kini hanya berjarak sekian mili dengan Lily.
Mike sadar, ketika Lily memintanya untuk tidak pergi pada detik itu, artinya Lily mulai menunjukkan trauma kecil; yang mana akan menjadi trauma berat bila ia tidak menurut.
Mungkin tidak sekarang, tidak juga beberapa hari kemudian, tapi ketika waktu itu tiba, saat itulah dia akan menjadi orang paling sendirian di muka bumi, sebab takut yang menikam ketika membayangkan tidak ada seorangpun yang akan menolongnya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
menunggu_hilal
harusnya kamar lily sama mary jadi satu jadi darren bisa jaga mereka berdua, ntar kebeuru ditikung mike 😅
2023-07-18
1