Kesalahpahaman

Sarah dan Dito hanya saling diam saja selama perjalanan pulang dari rumah sakit. Ditampar oleh wanita paruh baya di depan umum sudah cukup menyakitkan bagi Sarah. Tapi lebih menyakitkan lagi melihat suaminya hanya berdiri tanpa membelanya.

"Kenapa kamu tadi diem aja, Dit?" Sarah bertanya dengan nada dingin pada Dito.

Namun yang ditanya hanya diam saja tak berkata satu patah pun.

"Jangan bilang kamu juga mikir kalau aku sengaja ngedorong Anggi?" Ucap Sarah tajam.

Dito tetap diam. Dan diamnya Dito memberikan jawaban yang amat cukup bagi Sarah. Hatinya kecewa. Bisa-bisanya pria yang ia kenal selama 10 tahun ini bertingkah sangat asing di hadapannya. Dan terlebih lagi, menuduh Sarah melakukan hal serendah ini?

"Gila kamu Dit. Bisa-bisanya kamu mikir kaya gitu. Kalo aku emang mau bunuh anak kalian, udah aku lakuin sejak pertama ketemu Anggi. Ngapain aku repot-repot nyuruh kalian nikah segala, hah?" Tantang Sarah berani.

"Kamu pikir posisiku sekarang enak? Kamu pikir aku ga sakit hati ngeliat kamu bakal punya anak pertamamu tapi bukan dengan aku? Tapi aku ga segila itu Dit! Bahkan di dalam mimpi pun aku ga pernah kepikiran buat nyelakain Anggi!" Emosi Sarah meluap. Sungguh, satu-satunya kelemahan Dito kini menjadi beban yang amat berat bagi Sarah untuk tetap bertahan.

"Jadi kamu mau aku gimana?! Kamu nyuruh aku nikahin Anggi dan aku udah lakuin! Sekarang kamu nyalahin aku karena ga belain kamu?! Gimana aku bisa belain kamu kalo aku sendiri ragu kebenarannya, hah?!" Dito balas menyembur Sarah dengan emosinya.

Sarah terdiam. Jadi memang benar apa yang dipikirkan Sarah. Dito juga berpikir Sarah yang mencelakai Anggi. Sungguh kecewa hati Sarah mendengar kata-kata pedas itu terlontar dari mulut suaminya sendiri. Apa yang Dito pikirkan sampai bisa menuduh Sarah sejauh itu?

"Apa yang bisa aku harapkan dari pria plin plan kaya kamu Dit." Ujar Sarah dingin. Ia bergegas turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Tak peduli Dito berteriak memanggil namanya ribuan kali.

Sarah masuk ke kamarnya dan langsung memutar kunci kamarnya. Ia tak ingin seorang pun masuk kesana. Marah, kesal, dan kecewa semua beraduk menjadi satu. Sarah tersenyum getir. Mengapa semuanya jadi seperti ini? Ia hanya ingin Dito bertanggung jawab dan tidak berbuat kesalahan yang lebih besar, tapi kenapa yang Sarah dapatkan hanya luka? Dan yang menorehkan luka itu tidak lain adalah Dito sendiri.

Ponsel Sarah kembali berdering. Mamanya menelepon. Sarah menyeka air matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menenangkan suaranya. Entah kenapa Mamanya selalu saja menelepon di saat yang tidak tepat seperti ini. Apakah mungkin insting seorang ibu membuat hatinya merasa tidak enak dan langsung ingin menelepon putrinya?

"Halo Ma?" Tanya Sarah dengan nada bicara yang normal.

"Halo, Nduk? Gimana kabarmu?" Tanya Mamanya di seberang telepon.

"Baik Ma. Baik banget. Ada apa Ma? Kok nelepon Sarah?" Sarah bertanya pada Mamanya.

"Ga ada apa-apa, Nduk. Cuma hati Mama serasa ndak enak aja. Takutnya kamu ada apa-apa." Kata Mama Sarah jujur.

Memang benar tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan perasaan seorang ibu terhadap anaknya. Bahkan ketika Sarah terpisah sejauh ini, Mamanya tetap bisa merasakan ada yang tidak beres dengan Sarah.

"Sarah baik kok Ma. Mama jangan khawatir ya."

"Suaramu kenapa bindeng, Nduk? Sakit ya?" Tanya Mamanya penuh selidik.

Sarah hanya tertawa palsu. Mencoba menyamarkan rasa sedihnya.

"Iya Ma. Sarah sama Dito baru abis liburan. Mungkin Sarah kecapean makanya sakit."

Bohong. Itu semua bohong. Sarah hanya dapat berbohong karena melihat Mamanya terluka akan membuat Sarah lebih sakit lagi.

"Oh, yo wiss Nduk kalo ndak apa-apa. Mama matiin ya teleponnya. Ini ada orang mau beli dulu." Pamit Mama Sarah.

"Iya, Ma. Jaga kesehatan ya. Titip salam buat Baim!"

Sambungan telepon lalu diputuskan. Kesepian langsung menyergap Sarah. Sarah menyenderkan kepalanya ke ranjang. Ah, rupanya begini rasanya terlantar di tanah orang tanpa tempat untuk bersandar.

...****************...

Tampaknya semalaman Sarah menangis hingga tertidur. Kamarnya pun masih terkunci. Itu berarti semalaman Dito tidak masuk ke dalam. Atau bahkan mungkin sama sekali tidak pulang. Sarah melongok dari pintu kamarnya. Kepalanya celingukan mencari Dito.

Sosok Dito pun keluar dari kamar mandi belakang. Ia berpakaian rapi dan tampaknya akan pergi ke suatu tempat.

"Mau kemana, Yang?" Tanya Sarah pada Dito yang tampak acuh tak acuh.

"Ke rumah sakit." Jawab Dito singkat.

"Keadaan Anggi gimana? Aku boleh ikut ya? Aku khawatir sama Anggi." Pinta Sarah pada Dito.

"Ga usah. Anggi baik-baik aja. Kamu ga perlu repot-repot ikut ke rumah sakit." Jawab Dito tanpa menoleh sedikit pun ke Sarah.

Sial! Hati Sarah sakit sekali melihat Dito bertingkah dingin seperti ini. Dan lagi, kenapa Dito harus melarangnya menemui Anggi? Apakah sebesar itu rasa curiganya hingga ia takut jika Anggi akan terluka lagi jika Sarah menemuinya? Tapi Sarah kan isterinya? Harusnya Dito tahu kalau Sarah tidak akan pernah berbuat seperti itu.

Sarah hanya dapat diam. Energinya masih kosong untuk bertengkar sepagi ini. Ia hanya dapat melihat Dito yang berjalan meninggalkannya dan pergi mengunjungi madunya. Tidak tahu mengapa, tapi Sarah merasa Dito juga perlahan akan meninggalkannya sendiri dari kehidupannya. Entah darimana ia mendapatkan perasaan itu.

...****************...

Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Seingat Sarah, Dito ada rapat penting hari ini jadi Dito sekarang pasti ada di kantor. Ini adalah kesempatan Sarah untuk menjenguk Anggi. Sarah bukanlah istri tua kejam yang bersenang-senang di atas penderitaan istri muda suaminya. Sejujurnya, bahkan Sarah merasa sangat khawatir dengan keadaan Anggi.

Ia segera memesan taksi online yang akan mengantarnya ke rumah sakit tempat Anggi dirawat. Tidak berapa lama, taksi pesanannya datang dan mengangkut Sarah ke tempat yang ia tuju. Setibanya di rumah sakit, Sarah langsung menuju ke meja resepsionis. Menanyakan letak kamar perempuan bernama Anggita Jennia Irapanusa.

"Permisi, Mbak. Saya mau tanya. Kamar pasien bernama Anggita Jennia Irapanusa ada dimana ya?" Tanya Sarah kepada si suster yang bertugas.

Suster itu tampak mengetikkan nama dan mencarinya dalam beberapa basis data di komputernya.

"Oh, pasien Anggita Jennia Irapanusa ada di Bangsal Melati kamar nomor 15 ya, Bu." Jawab suster itu dengan sopan.

Sarah mengucapkan terimakasih dan langsung memacu langkahnya ke ruangan itu. Beberapa menit berjalan, ia sudah berdiri di depan pintu kamar Anggi. Sarah mengintip ke dalam melalui kaca pintu dan melihat Anggi tengah tertidur. Ia pun ragu untuk masuk ke kamar karena khawatir akan mengganggu istirahat Anggi.

Tak lama Sarah berdiri kebingungan di koridor rumah sakit, sesosok wanita bertubuh gempal datang menghampirinya. Sarah amat mengenal wanita ini meskipun ia tidak tahu namanya. Wanita ini adalah ibu Anggi yang semalam menamparnya.

"Ngapain kesini?" Tanya wanita itu ketus.

"Saya khawatir sama Anggi Bu. Anggi baik-baik saja kan? Boleh saya lihat?" Tanya Sarah tulus.

"Ga perlu. Anak saya baik-baik saja. Oh bukan kabar yang baik buat kamu kan ya? Pasti kamu berharap anak saya tidak selamat kan?" Tuding wanita itu tajam.

Mata Sarah membelalak. Ia tidak dapat mempercayai apa yang didengarnya.

"Sumpah demi Tuhan, Bu! Saya nggak pernah ada niat sedikit pun untuk mencelakai Anggi! Ibu boleh tanya sendiri ke Anggi! Bahkan selama ini saya selalu membantu mengurus Anggi. Bagaimana bisa saya mencelakai wanita yang seumuran adik saya?" Sarah membela dirinya.

Wanita itu hanya tertawa sinis.

"Sudahlah, kamu ga perlu bersandiwara di depan saya. Saya hafal tabiat wanita seperti kamu. Pura-pura baik padahal aslinya akan mencelakai siapapun yang menghalangi jalanmu. Tipuanmu tidak mempan dengan saya!" Wanita itu tetap meluncurkan kata-kata pedas dari mulutnya.

"Demi Tuhan! Kalau Ibu tidak percaya, Ibu bisa tanya tetangga-tetangga kami. Saya tidak pernah sekalipun berbuat jahat pada Anggi! Bisa-bisanya Ibu menganggap saya sepicik itu? Astaga Bu..." Sarah kehabisan kata-kata untuk membela dirinya.

Wanita itu tersenyum sinis.

"Sudahlah, Anggi tidak memerlukan kamu disini. Sudah ada saya dan suaminya. Sekarang lebih baik kamu pergi!"

...****************...

Anggi terbangun dari tidurnya. Suara berisik apa yang ada di luar kamarnya? Tampaknya seperti suara Mamanya?

"Ada apa Ma? Mama berantem sama siapa?" Tanya Anggi saat melihat Mamanya masuk.

"Ga ada apa-apa. Tadi ada perawat ga becus yang nabrak Mama." Jawab Mama Anggi berbohong.

"Mbak Sarah mana ya Ma? Kok dia ga keliatan? Apa dia ga mau jenguk aku ya?" Tanya Anggi sambil celingukan.

"Kamu jangan terlalu berharap sama perempuan itu. Mungkin aja sekarang dia lagi pesta di rumahnya karena senang mendengar kamu keguguran." Jawab Mamanya. Bohong. Lagi-lagi kebohongan menyelimuti perkataannya.

Anggi terdiam. Ia masih percaya kalau Sarah tidak akan sekejam itu padanya. Tidak mungkin Sarah bersenang-senang di atas kesedihannya. Tapi kenapa Sarah belum juga mengunjunginya? Apa mungkin semua perkataan Mamanya benar? Apa mungkin Sarah memang merasa bahagia atas keguguran yang Anggi alami?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!