Tak Terjangkau

Sarah mencoba menghubungi Dito.

Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan. Mohon coba beberapa saat lagi.

Kesal. Sungguh kesal hati Sarah. Sudah berkali-kali dia mencoba menelepon Dito. Entahlah mungkin dua puluh kali lebih dia menekan nomor itu berkali-kali. Dan dua puluh kali juga suara operator yang menjawabnya. Padahal ada hal yang sangat penting yang harus Sarah bicarakan tentang pernikahan mereka.

"Jadi gimana, Mbak Sarah? Untuk paket tamu di gedungnya mau ambil yang berapa paket?" Tanya Mas Ganta, salah satu anggota tim Event Organizer acara pernikahan mereka.

"Bentar ya, Mas. Aku coba telepon pacarku dulu, kalo dari keluargaku kayanya paling mentok 700 undangan Mas. Tapi aku belum tahu berapa undangan keluarga pacarku." jawab Sarah pada Mas Ganta.

Sarah kembali mencoba menghubungi Dito. Nihil. Hasilnya sama seperti tadi. Hanya ada suara operator yang menandakan ponsel Dito berada di luar jangkauan sebagai jawabannya.

Sejak Dito ditempatkan di tempatnya yang baru, entah sudah berapa kali Sarah harus mengambil keputusan sendiri dan hanya berdiskusi dengan Mamanya dan orangtua Dito. Terkadang kalau Sarah sedang kesal dan penat, seringkali ia mengutuk dan bertanya sebenarnya siapa yang ia akan nikahi? Dito atau orangtuanya Dito? Karena kebanyakan keputusan malah ia diskusikan dengan kedua orangtua Dito dan bukan dengan calon suaminya.

Akhirnya Sarah menyerah dan menghubungi Mama Dito.

"Ma... ini Sarah"

"Iya, gimana, Nduk?" Mama Dito menjawabnya.

"Sekarang Sarah lagi sama orang EO Ma. Ini soal tamu undangan Ma. Dari keluarga Mama sama Papa kira-kira bakal ngundang berapa orang ya?"

"Oh, Dito bilang berapa, Nduk? Kalo dari Mama Papa palingan cuma 150 orang keluarga kami aja. Tapi kalo undangan dari Ditonya Mama ga tau, Nduk. Kan ada temen kuliah, temen kerja, temen sekolahnya gitu" jawab Mama Dito.

"Iya Ma... tapi Dito dari tadi ga angkat telepon Sarah Ma. Gimana Ma? Sarah harus pesen buat berapa paket tamu?"

Terdengar suara gumaman dari seberang telepon. Tampaknya Mama Dito juga sedang berpikir untuk mencari solusinya.

"Gini aja, Nduk. Kamu pesen aja buat 1000 undangan sama 500 porsi makanan untuk cadangan. Kalau misalnya lebih, ya bagus. Kita bisa kasih buat tamu. Semoga aja ga kurang ya."

Sarah tampak sumringah setelah mendengar saran dari calon mertuanya. Sarah sangat bersyukur memiliki calon mertua yang sangat menyayanginya dan mau saja ikut repot mengurusi pernikahannya.

"Oke Ma. Sarah pesen segitu ya. Makasih banyak Ma udah bantuin Sarah!!!"

Sarah pun segera pamit dan menutup teleponnya. Ia berpaling dan langsung menyelesaikan urusan gedung dan konsumsi pernikahannya. Ya semoga saja semuanya berjalan sesuai rencananya.

...****************...

Hingga malam hari Sarah menunggu Dito meneleponnya. Tapi panggilan yang ia nanti tidak juga kunjung datang. Sarah mencoba menelepon Dito kembali. Ingin mengabari sudah sejauh mana persiapan pernikahan mereka.

Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi.

"Loh? Kok teleponku direject sama Dito? Masa iya jam segini dia masih di kantor?" tanya Sarah sewot.

Sarah melirik jam dinding di kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Rasanya tidak mungkin Dito masih di kantornya. Urusan apa yang membuatnya lembur hingga semalam ini? Sepanjang apa jembatan yang ia buat sampai-sampai ia sangat sibuk dan tidak bisa dihubungi?

Sarah menekan nomor Dito sekali lagi.

Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.

"Anjirrr?! Hapenya Dito dimatiin? Wah gila ni orang. Ada apa sih kaya sibuk banget?!" Sarah mulai kehilangan kesabarannya.

Berkali-kali Sarah mencoba menghubunginya tapi hasilnya tetap sama. Dito benar-benar tak terjangkau olehnya. Entah apa yang terjadi dan apa yang Dito lakukan. Sarah hanya bisa pasrah dan menitipkan Dito pada Tuhan. Semoga apa yang dia takutkan tidak terjadi. Semoga pernikahan impiannya dapat terlaksana dengan baik.

...****************...

Ponsel Sarah berbunyi pagi itu. Sarah terbangun dari tidurnya dan melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

"Dito?!"

Secepat kilat Sarah menjawab teleponnya.

"Yang? Kamu kemarin kemana? Seharian aku ga bisa hubungin kamu! Padahal kemarin kita mestinya booking gedung loh!" Gerutu Sarah saat menjawab panggilan tersebut.

Terdengar helaan nafas berat dari Dito.

"Sabar, Yang. Aku semalem sibuk banget. Dari pagi sampe malem aku di kantor. Pulangnya langsung ketiduran. Maaf ya." Jawab Dito seadanya. Ia terdengar tidak semangat sama sekali menanggapi pertanyaan kekasihnya.

Sarah mendengus kesal. Mungkin memang Sarah yang salah karena langsung mencecar Dito dengan seribu pertanyaan padahal dia sedang lelah. Tapi kenapa Dito sangat tidak antusias tentang pernikahannya?

"Maaf Yang. Sorry ya, aku ga ngertiin kalo kamu lagi capek. Aku cuma khawatir aja soalnya kemaren kamu hilang seharian. Apalagi kamu lagi ada di pelosok. Aku takut kamu kenapa-kenapa, Yang..." kata Sarah menyesal.

"It's okay. Ga masalah. Maaf juga aku udah kaya ga antusias gitu ya. Maaf, kayanya aku kecapean aja. Aku matiin telponnya ya? Aku mau ke kantor bentar lagi."

Tanpa menunggu basa-basi dari Sarah, Dito langsung mematikan teleponnya. Jujur saja, Sarah sangat terkejut dengan sifat Dito. Selama 10 tahun menjalin hubungan dengan Dito, tidak pernah sekalipun Dito sedingin ini kepadanya. Apalagi mematikan telepon duluan tanpa basa-basi seperti ini.

"Mungkin Dito lagi sibuk banget kali ya?" Batin Sarah meyakinkan dirinya sendiri.

Selama seharian pikirannya sibuk melantur kemana-mana. Kenapa sikap Dito berubah 180 derajat kepadanya. Apa mungkin Dito merasa bosan dengan hubungannya dan Sarah? Atau apakah Dito menemukan gadis lain yang menemaninya setiap hari disana? Semua pertanyaan-pertanyaan semakin memenuhi kepala Sarah. Tapi tidak berani ia mengambil satu langkah pun untuk mengetahui kebenarannya.

Sarah takut. Ia takut menghadapi kenyataan yang sebenarnya. Selama ini ia menganggap hubungannya sempurna. Dan biarlah semuanya tetap seperti itu. Mungkin Dito hanya lelah saja. Atau mungkin memang pekerjaannya begitu banyak sehingga ia merasa sangat stress. Beribu-ribu rasa curiga dibuang jauh oleh Sarah dan berusaha yakin sepenuhnya pada kekasihnya yang kini tengah merantau di tanah orang.

"Sar, kenapa? Kok dari tadi melamun terus?" Tanya Maya, rekan kerja Sarah.

Pertanyaan Maya menyadarkan Sarah dari lamunannya.

"Eh? Ga kok, ga ngelamun." Elak Sarah.

"Apaan ga ngelamun? Aku udah manggil kamu dari tadi tapi ga kamu jawab, beb." kata Maya sambil meletakkan dompetnya di depan Sarah.

"Udah ah, makan yuk. Udah siang nih!" Sambung Maya sembari mengajak Sarah makan siang.

Sarah melirik jam tangannya. Jarum pendek dan panjang sudah menunjuk ke angka 12. Ternyata sudah jam makan siang. Pantas saja perutnya dari tadi menjerit minta diisi. Sarah segera beranjak dari kursinya dan menggandeng Maya untuk pergi makan siang. Beberapa menit berjalan kaki dari kantornya, akhirnya Sarah dan Maya tiba di sebuah warung makan dekat kantor mereka.

"Wis, ambil sendiri ya, Nduk. Ibu lagi sibuk ini." Ucap Bu Tarjo yang disambut dengan acungan jempol dari Maya.

Setelah mengambil nasi dan beberapa lauk serta sayur, Sarah dan Maya langsung duduk di meja yang terletak di pojok warung. Maya menangkap ada yang tidak beres dengan Sarah. Karena itu ia mengajaknya duduk di tempat yang agak sepi agar mereka berdua bisa berbincang dengan tenang.

"Kamu kenapa, Sar? Cerita sama aku. Dari tadi kamu kaya banyak pikiran gitu loh" tanya Maya sambil menyuap nasinya.

"Gapapa, May. Beneran deh." Sarah masih berusaha menutupi keraguannya.

"Ya udah kalo ga mau cerita, aku ga maksa. Tapi kalo misalnya kamu butuh teman buat dengerin cerita kamu, aku siap Sar. Siapa tau juga aku bisa kasih solusi kan?" ujar Maya sambil menenangkan Sarah.

Sarah terdiam. Beberapa detik berpikir dan ia membuka mulutnya untuk bercerita.

"Dito, May." Sarah memecah heningnya.

"Kenapa Dito?" Maya bertanya.

"Kemaren kamu tahu kan kalau aku lagi sibuk banget ngurusin gedung buat nikahan nanti? Nah aku coba telepon Dito tapi ga diangkat. Akhirnya aku telepon mamanya, untung Mamanya angkat dan bantu aku kasih solusi. Tapi si Dito, sampe malem bener-bener ga bisa dihubungin." Sarah menjelaskan

"Terus gimana?" Maya melanjutkan interogasinya.

"Tadi pagi, sekitar jam 6an dia telepon aku. Aku langsung angkat terus tanyain dia kemana lah? Kenapa ga angkat teleponku lah? Ya tanya gitu-gitu. Tapi dia kaya capek gitu ngadepin aku. Waktu aku cerita soal progress persiapan pernikahan kita juga dia kaya biasa aja, ga ada antusias-antusiasnya gitu, May. Dan parahnya lagi, dia pamit langsung matiin telepon ga ada basa-basinya lagi May!" Sarah bercerita dengan nada yang kesal.

Maya diam. Berpikir sejenak, mencoba memberikan solusi pada sahabatnya.

"Aku bukannya bela siapa-siapa, Sar. Bukan karena aku masih sepupuan sama Dito juga. Tapi mungkin karena kalian sama-sama capek aja jadi salah paham gitu. Coba deh, nanti waktu udah agak santai atau pas weekend, kamu telepon lagi Dito. Bicarain baik-baik biar semuanya kelar. Aku yakin deh, itu cuma penat sesaat aja. Aku tahu seberapa cintanya Dito sama kamu, jadi aku yakin kok sama hubungan kalian." Ucap Maya menenangkan Sarah.

Setidaknya bercerita dengan Maya dapat membantu Sarah meringankan kepalanya. Memang benar kata pepatah yang mengatakan pentingnya sebuah bahu untuk bersandar. Dan Sarah sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Maya. Yang tidak pernah menghakimi Sarah walaupun ia adalah sepupu Dito. Dan mungkin memang lebih baik bagi Sarah untuk menyelesaikan masalah ini ketika ia dan Dito sudah sama-sama tenang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!