"Aku dipindah tugas, Yang..." ucap Dito pelan.
JEGER! Bak petir di siang bolong Sarah mendengarnya. Dito dipindah tugaskan? Dan ketika hari pernikahannya tinggal 8 bulan lagi? Bagaimana bisa Sarah melakukan semuanya sendirian? Selama ini hubungan jarak jauh tidak pernah ada dalam kamusnya. Ia dan Dito selalu bersama-sama sejak lulus SMA. Praktis keduanya tidak pernah terpisahkan oleh jarak apapun.
Sarah tersenyum getir.
"Pindah kemana, Yang?" tanya Sarah pelan.
"Ambon..." Dito menjawab dalam helaan nafasnya.
Ambon? Sejauh itu Sarah akan terpisah dengan Dito. Semarang dan Ambon bukanlah jarak yang dekat. Perlu waktu berjam-jam naik pesawat untuk salah satu dari mereka bisa menemui satu dan lainnya. Dan Ambon terasa begitu asing bagi Sarah. Berat rasanya untuk Sarah menitipkan kekasihnya di kota orang yang begitu asing baginya.
Bukan. Bukannya Sarah tidak percaya dengan kesetiaan Dito. Hanya saja ketakutan akan sebuah ketidakpastian mungkin hal terbesar yang mengganggunya. Ditambah lagi, semakin dekat waktu pernikahan maka akan semakin banyak pula rintangan yang harus mereka hadapi. Dan apabila mereka terpisah jauh, bukankah semuanya akan terasa begitu berat?
"Berapa lama?" Tanya Sarah akhirnya memecah keheningan di antara keduanya.
"Sampai proyek di Ambon selesai. Mungkin sekitar 10 bulan sampai satu tahun" jawab Dito tertunduk lesu.
Rasanya sekarang Sarah ingin teriak dan menangis sekencang-kencangnya. Tapi ia tahu, hal itu tidak ada gunanya. Lagipula Dito pergi bukan karena alasan apapun melainkan karena urusan pekerjaan. Berbagai alasan ia buat di kepalanya untuk menghilangkan rasa kecewa terhadap takdir, namun air mata tidak dapat dibendung lagi. Di saat Sarah benar-benar membutuhkan kekasihnya, tetapi kekasihnya malah akan dijauhkan darinya.
Sarah menyeka air mata yang merembes dari pelupuk mata indahnya.
"Maaf Yang. Aku bener-bener minta maaf. Aku juga ga tahu kenapa bisa aku yang kepilih jadi kepala proyek di Ambon. Padahal aku udah bilang sama Pak Wisnu biar aku ga kena relokasi soalnya bentar lagi aku mau nikah. Maaf banget Yang. Aku juga ga tahu kenapa bisa begini..." ucap Dito penuh rasa sesal.
Sarah hanya terdiam. Keduanya tenggelam dalam keheningan yang rasanya seperti akan menusuk jantung. Yang terdengar hanyalah isak tangis lembut Sarah.
"Ya udah Yang. Emang aku bisa apa? Kalau emang keputusan kantormu begini, mau gimana lagi? Aku ga bisa apa-apa Yang." Sarah mengakhiri diamnya.
"Kapan kamu berangkat?" Sarah kembali bertanya kepada Dito.
"Lusa Yang. Pesawat jam 8 pagi." jawab Dito.
...****************...
Sarah sudah berada di bandara sejak jam 6 pagi. Menemani Dito bersiap-siap untuk keberangkatannya. Pesawatnya jam 8 pagi, itu berarti sebentar lagi Dito sudah harus masuk ke terminal keberangkatan. Orangtua Dito juga ada disana ikut mengantarkan anaknya yang akan merantau untuk pertama kalinya.
"Semuanya udah Yang?" Tanya Sarah sekali lagi sembari mengecek barang bawaan Dito.
"Udah Yang. Tenang. Ini aku masuk ya? Mama Papa, Dito berangkat ya" pamit Dito kepada kedua orangtuanya.
"Hati-hati ya, Nang. Nek udah sampai, kabarin Mama" pesan ibunya kepada Dito.
"Iya Ma, tenang. Dito pasti tetap rajin hubungin Mama, Papa, sama Sarah. Dito pergi ya." Dito pamit kepada keluarganya dan Sarah.
Dito pun melangkah masuk ke dalam terminal keberangkatan pesawat yang akan membawanya ke Ambon. Sarah hanya dapat menahan tangis melihat punggung Dito yang semakin lama semakin menjauh, hingga akhirnya hilang ditelan kerumunan penumpang lainnya. Mama Dito memeluk Sarah, berusaha menghiburnya.
"Wis, rapopo, Nduk. Kan paling lama juga cuma satu tahun ditinggal Dito. Gapapa, nanti kalau kangen, Mama suruh Dito pulang buat liat kamu, Nduk."
Sarah hanya bisa tersenyum tipis. Sudah habis air matanya untuk menangisi hal ini, sekarang saatnya Sarah berdamai dengan kenyataan. Saatnya Sarah kembali fokus pada persiapan pernikahan mereka yang harus ia lakukan sendiri. Begitu banyak hal yang harus Sarah selesaikan dan begitu banyak tenaga yang dibutuhkan.
...****************...
Malam itu, Sarah tidak bisa berhenti menatap layar ponselnya. Sudah pukul 8 malam, tapi Dito belum kunjung meneleponnya. Malam ini, pertama kalinya Sarah terpisah sejauh ini dengan Dito. Dan Sarah sangat ingin tahu bagaimana hari pertama Dito berada di Ambon.
Tidak lama kemudian, ponsel Sarah berdering. Nama Dito terpampang di layarnya. Sarah dengan sigap menggeser tombol hijau dan mengangkat telepon itu.
"Ayangggg..." ucap Sarah manja saat mendengar suara Dito di seberang telepon.
Dito terkekeh mendengar suara Sarah.
"Kenapa kok gitu manggilnya?" jawab Dito geli.
"Kamu lama banget sih nelponnya. Udah aku tungguin dari tadi juga!" Sembur Sarah langsung.
Dito tertawa lagi.
"Maaf Yang, hari ini sibuk banget. Abis landing aku langsung ke kantor buat ngurus dokumen. Terus habisnya langsung ke proyek. Ini baru banget sampe di rumah" Dito meminta maaf pada Sarah.
"Kamu suka gitu ih. Seenggaknya ngabarin gitu loh, Yang. Biar aku ga ngelantur mikirin kamu lagi apa..." Sarah tetap melanjutkan ocehannya.
"Iya, maaf yaa. Maaf Sayangku." kata Dito.
"Oh iya, kamu mau liat rumahku? Aku dapet rumah dinas disini Yang. Jadi ga perlu ngekos lagi." Sambung Dito mengalihkan panggilan ke panggilan video.
Dito mengarahkan kameranya menunjukkan rumah dinas yang kini ditempatinya. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk ditempati Dito seorang diri dan mungkin juga bersama Sarah nanti. Kamar tidurnya ada dua dan halamannya juga lumayan luas. Rumah yang sederhana tapi terlihat hangat.
Selama 2 jam lebih Sarah dan Dito bercerita melalui panggilan video. Menumpahkan rasa rindunya, menceritakan hari-hari mereka, dan mengabari Dito sudah sejauh mana persiapan pernikahan mereka.
"Kuncinya yang penting komunikasi, Nak." Pesan Mama Sarah ketika menghiburnya yang sedih kala itu.
Dan Sarah memegang teguh pesan itu baik-baik. Ia akan selalu menjaga komunikasinya dengan Dito sebaik mungkin. Ia tidak mau jarak menjadi penghalang hubungan mereka. Apalagi pernikahan mereka sudah semakin di depan mata. Memang berat, tapi Sarah yakin ia dan Dito bisa melaluinya bersama.
...****************...
Sejak menjalani hubungan jarak jauh, Sarah benar-benar tidak bisa dilepaskan dari handphonenya. Bahkan tidak jarang ia tertidur sambil memegang handphone. Baim, adiknya, bahkan seringkali mengejeknya pacaran dengan handphone.
"Kamu pacaran sama orang apa sama handphone sih mbakk? Kemana-mana bawa handphone. Coba sekali-kali bawa tuyul, siapa tau kita bisa kaya kan." Ejek Boim suatu hari ketika melihat Sarah menabrak tiang karena matanya terfokus pada handphonenya.
"Ya mau gimana lagi, Im. Orang ldr ya gini. Kalo ga gini tar pacarku diambil orang hahaha." balas Sarah sambil tertawa.
"Ga ada yang mau ambil Mas Dito mbakk. Tenang aja. Cah lanang klemar klemer ngono og!" Sambung Baim sambil berlari karena Sarah sudah ancang-ancang akan melemparnya dengan sendal.
"Wah parah Im! Aku laporin Dito loh ya!"
"Aku sumpahin kamu LDR Semarang Kutub Utara sama Yangyanganmu ya!!!" Seru Sarah lagi yang dibalas Boim dengan menjulurkan lidah.
Malam itu seperti biasanya Sarah menunggu kekasihnya meneleponnya. Tidak lama, ponselnya pun berbunyi. Panggilan video dari Dito. Sarah segera menjawabnya.
"Hai Yang!!! How is your day?!"
"Ga gimana-gimana Yang. Gitu-gitu aja. Namanya ngawasin proyek ya paling gitu-gitu doang kan ritmenya." jawab Dito tak bersemangat.
Sarah melihat Dito yang tampak lain dari biasanya. Sedikit murung? Ah mungkin Dito hanya kelelahan saja. Tapi hal itu terus mengganggu Sarah.
"Kamu kenapa Yang? Suntuk banget keliatannya?" tanya Sarah khawatir.
"Ga, gapapa. Tapi mungkin 3 bulan ke depan aku bakal agak susah dihubungin Yang." kata Dito pelan.
"Loh? Emangnya kenapa?" Tanya Sarah panik.
"Aku ditempatin di pelosok Yang. Ga pelosok-pelosok banget sih. Tapi masih 5 jam dari Ambon. Aku dapet tugas ngawasin proyek bangun jembatan disana." Dito meneruskan.
Sarah memijat keningnya. Pusing. Astaga! Cobaan apa lagi sekarang yang menghampirinya? Pernikahannya tinggal 6 bulan lagi, tapi calon suaminya akan makin jauh dari jangkauannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments