Rubah

Matahari sudah naik sepenggalah, mereka sudah berhenti tiga kali sejak terbang dari Akademi Hudie. Kini, di bawah sana hanya ada hamparan hutan luas dengan daun-daun yang renggang, beberapa hanya tersisa cabang-cabang batangnya saja.

"Menurutmu kita harus turun sekarang?" Rui bertanya pada Neo.

"Menurut peta ini, seharusnya kita tepat berada di atas Hutan Roh Penasaran itu," Neo memeriksa di bawah aana dengan seksama.

"Apakah di bawah sana ada hewan buas?" Rui bertanya lagi, wajahnya terlihat cemas.

Neo tertawa, "Hutan mana yang tidak ada binatang buasnya, Rui?" Neo mengentakkan tangannya sedikit, Pru bergerak perlahan dan mendarat di tanah.

Neo memperhatikan sekitar, ini terlihat seperti bukan hutan pada umumnya. Hutan ini gersang, tanahnya berwarna merah keemasan, pepohonannya rapat namun nyaris semua pohon tidak berdaun.

"Apakah ini benar-benar hutan? Kenapa lebih mirip padang pasir?" Neo bertanya-tanya, "Tapi hutan ini tampak persis seperti di peta." Neo menunjukkan peta itu pada Jian dan Rui.

"Kamu yakin ini akurat?" Jian merebut peta itu dari Neo.

"Tentu saja, peta ini dibuat Ratu Hudie khusus untukku."

Jian mendengus, "Tentu saja. Kamu kan Murid Tunggal Yang Terpilih."

Neo mengembuskan napas, "Jika bukan karena perjalanan ini, aku tidak mau menjadi murid tunggal, Jian. Aku lebih suka bersekolah bersama kalian. Tapi aku sudah berjanji akan melindungi kalian apapun caranya, jadi ini adalah upaya pertamaku agar aku bisa melindungi kalian dengan baik," Neo tersenyum.

Jujur saja, sebenarnya Jian merasa bersalah sekaligus tersentuh dengan apa yang dilakukan Neo untuknya dan Rui. Tapi dia adalah perempuan yang mengutamakan gengsi dari pada pengakuan yang berharga, "Kami tidak bilang ingin dilindungi olehmu," Jian mengentakkan tangannya, Jilly menghilang seakan ditelan angin.

Rui menyikut lengannya, "Sudahlah, Jian. Akui saja kamu menghargai upaya Neo. Kamu juga peduli dengannya, kan?"

Jian tidak memberi respon apapun. Dia memilih melihat-lihat apa yang ada di hutan gersang ini. Sejauh yang dia lihat, tidak ada sesuatu yang bisa dimakan. Mungkin tidak ada binatang yang hidup di tempat ini.

"Hei, ini terlalu kosong untuk disebut hutan. Tidak ada tumbuhan yang hidup, apakah ada makhluk hidup lain di sini? Seperti serangga?" Neo menyentuh salah satu batang pohon.

"Mungkin karena nama hutan ini adalah Hutan Roh Penasaran, Neo. Jadi tempatnya seperti neraka?" Rui menjawab asal.

Neo menimpuk kepalanya, "Mana ada? Kamu pikir hanya neraka tempat berlabuh orang mati?"

"Tapi tempat ini tidak pantas disebut surga ...,"

"Kamu sungguhan bodoh atau pura-pura tidak mengerti saja, Rui? Ini jelas bukan surga. Lebih jelas lagi kalau ini bukan neraka." Neo semakin kesal karena Rui sering mengatakan hal yang tidak jelas.

"Kita istirahat dulu saja. Sudah saatnya mengeluarkan makanan," Jian memilih duduk di bawah salah satu pohon.

Neo mendengus, "Percuma duduk di bawah pohon, matahari tetap membuat kita kepanasan," dia membuat gulungan awan putih di atas mereka duduk, awan itu membuat mereka tidak merasa kepanasan lagi.

"Kenapa tidak kamu lakukan dari tadi saja?" Jian menatapnya malas.

"Bukankah sejak tadi kita terbang di atas awan?" Neo menaikkan sebelah alis, terkekeh.

Mereka mengeluarkan bekal yang mereka bawa. Nyaris semua makanan yang mereka bawa adalah makanan kering, alasannya adalah supaya bertahan lebih lama.

"Keluarkan tabung airnya, Neo," Jian mengulurkan tangan, Neo mengeluarkan tabung airnya.

Sekitar lima belas menit mereka duduk santai sambil mengunyah makanan, tiba-tiba Neo merasa tanah yang mereka pijak tiba-tiba bergetar. Neo segera berdiri, berkata kalau ada gempa bumi mendadak.

"Tidak mungkin gempa bumi, Neo. Kamu bilang tempat ini bukan di bumi," Rui membenarkan perkataan Neo sambil memeluk tubuhnya sendiri.

Neo berdecak, "Peduli amat apakah gempa bumi atau gempa neptunus! Yang jelas ini adalah gempa!" Neo memeluk batang pohon dengan erat.

"Kupikir ini bukan gempa bumi," Jian menyipitkan mata, menatap kejauhan.

"Apa? Kamu mau bilang kalau ini gempa neptunus?" Neo melotot kesal.

"Bukan, Neo. Aku tidak bercanda, ini bukan gempa bumi, lihatlah!" Jian menunjuk ke depan.

Rui membuka mulut dengan lebar, "Itu, i-itu apa?" gumamnya pelan.

"Itu rubah gurun?" Neo ikut menyipitkan mata.

Setelah terbengong beberapa saat, Neo menyadari ratusan rubah gurun sedang berlari mendekat ke arah mereka, "Lari, teman-teman!" Neo lebih dulu berlari kencang, Jian dan Rui segera menyusul.

"Hei, apa menurutmu masuk akal jika rubah hidup dalam kelompok besar?!" Neo berseru sambil terus berlari, sesekali melihat ke belakang.

"Aku tidak tahu, Neo! Tapi rubah lebih suka bersama keluarga kecilnya!" Rui menjawab pertanyaan Neo.

"Hei, kamu pikir rubah seperti kita? Memangnya mereka punya keluarga kecil?!" Jian menyahut.

"Tentu saja, Jian! Rubah yang kutahu hanya menikah satu kali dan memiliki anak hanya dari betina yang dia nikahi!" Neo menjawab lagi.

"Terserah kamu saja!" Jian menoleh ke belakang, "Tapi kenapa mereka besar sekali?"

"Mungkinkah itu serigala?" Rui ikut menoleh ke belakang.

"Hei! Keluarkan tongkat sihir kalian! Mereka lari lebih cepat dari kita!" Neo langsung melompat ke udara, Pru dengan cepat menyambarnya.

Jian menyusul, Jilly langsung terbang dengan sangat tinggi. Lebih tinggi dari Pru. Tapi di bawah sana, Rui sedang kesulitan. Tongkat sihirnya tidak mau keluar.

Sementara jarak rubah-rubah itu hanya tinggal belasan meter dari posisi Rui berdiri. Rui terus berusaha mengeluarkan Riu, tapi Riu tetap tidak mau keluar.

"Cepat, Rui!" Neo berseru dari atas sana.

"Tongkatku tidak mau keluar, Teman-teman!"

"Jangan panik, Rui! Kamu harus berkonsentrasi!" Jian berseru.

Tapi Rui tetap tidak bisa mengeluarkan Riu. Neo memutuskan untuk menjatuhkan tubuhnya ke bawah. Tangannya menyambar tangan Rui, Pru bersiap hendak membawa tuannya kembali terbang.

Tapi tubuh Neo dan Rui tiba-tiba terjatuh saat salah satu rubah besar itu menyeruduk kaki mereka. Pru terbang tanpa membawa siapapun.

"Rui! Neo!" Jian berseru tertahan dari atas. Dia melihat ratusan ekor rubah besar melindas tubuh teman-temannya hingga tak terlihat apapun. Beberapa pohon tumbang karena ratusan ekor rubah itu, dia tidak bisa melihat di mana Rui dan Neo.

Jian mengatupkan rahang, "Bertahanlah, Teman-teman!" dia melakukan manuver tajam, Jilly menukik ke bawah dengan cepat, Jian menerapkan mantra sihir yang membuat tubuhnya terasa ringan seperti angin. Dengan mantra ini, baginya, menerobos kawanan rubah yang berlari bukanlah masalah besar.

Jian berputar-putar beberapa kali di tengah-tengah ratusan rubah yang berlari, tapi belum menemukan tubuh Rui dan Neo.

Konsentrasi Jian pecah karena panik mencari kedua temannya, mantar sihirnya menjadi hilang, Jian terbanting ke sana kemari dan berakhir jatuh di tanah, tubuhnya ditendang hingga beberapa meter.

Namun untungnya, dia masih mampu menyeret Jilly untuk membawanya kembali terbang. Jian berteriak kencang, Jilly mendekatinya. Tapi tongkat sihir itu tidak datang sendirian.

Seakan tahu tuannya sedang panik mencari dua rekannya, Jilly kembali bersama Pru yang kini hanya seonggok tongkat panjang tanpa energi sihir. Mungkin karena Neo sudah terluka, Pru tidak memiliki siapapun yang bisa mengendalikannya.

"Jilly, bawa aku ke tempat kamu menemukan Pru!" Jian segera berdiri, melompat ke atas tongkat sihirnya, dia memegang Pru dengan erat, kembali menerobos ratusan ekor rubah yang terus berlari ini.

Jian tersenyum puas, dia sudah menemukan Rui!

Melihat Rui dengan kondisi payah, Jian segera mengeluarkannya dari kawanan rubah, Rui tidak sadarkan diri, tubuhnya kotor dan banyak memiliki luka tergores.

"Jilly, tetap di sini menjaga Rui, ya? Aku akan kembali ke sana untuk mencari Neo."

Jian mengandalkan kemampuan sihirnya dalam mengendalikan angin untuk terbang dan mencari Neo. Dengan gulungan angin yang besar itu, Jian terbang seperti sesosok pengendali angin yang hebat.

"Aku tidak bisa menemukan Neo jika hanya begini saja!" Jian bergumam pelan.

Dia melihat kawanan rubah ini tidak memiliki pemimpin, dan ukurannya sama, tidak ada yang kecil, atau yang terlalu besar.

"Ini pasti bukan kawanan rubah biasa," Jian memperhatikan ke bawah dengan lebih baik, "Neo bilang rubah tidak hidup dalam kelompok besar. Jadi ini pasti bukan rubah biasa."

Jian terdiam di udara, dia menunduk, menyadari kalung di lehernya mengerlipkan cahaya samar. Dia bertanya-tanya apa yang terjadi dengan kalung pemberian Agg ini.

Setelah melihat kalungnya, Jian menyadari, melihat kembali kawanan rubah setelah menatap kalung itu terasa berbeda dengan sebelumnya.

Satu rubah di tengah-tengah kawanan terlihat lebih nyata dibanding rubah-rubah lain. Rubah-rubah lain itu, kini di matanya hanya sekelompok energi sihir yang menyebar.

"Mungkinkah ini hanya ilusi saja?" Jian bergumam.

"Tapi rasa sakitnya terlalu nyata, itu bukan ilusi."

Jian mengangkat tangannya, energi besar berdesir di ujung telunjuk dan jari tengahnya. Jian mengarahkannya ke rubah yang di tengah itu.

Seketika ratusan rubah yang lain hilang begitu saja, Jian melihat tubuh Neo terbanting terakhir kalinya. Jian yakin tubuh itu sudah terbanting ke sana kemari selama terjebak di dalam kawanan rubah palsu ini.

Jian ingin segera bergegas menyambar tubuh Neo yang terbaring tak bertenaga.

Tapi rubah yang tersisa tidak tinggal diam. Rubah itu menyerang Jian tanpa ampun, menyerang dan menunjukkan cakarnya yang tajam. Melukai leher Jian.

Jian beradu serangan dengan rubah itu lebih dari tiga puluh menit. Jian belum menemukan cara untuk menyingkirkannya.

Jian sudah kelelahan, sesekali dia melihat ke arah teman-temannya yang masih pingsan, dia berharap mereka bangun dan mulai membantunya menyingkirkan rubah meyebalkan ini.

"Kamu sudah melewati batas, Rubah! Tapi aku tidak ingin membunuhmu, bisakah kamu pergi saja?" Jian benar-benar putus asa karena serangannya selalu gagal dan berhasil ditaklukkan. Jian mengatupkan rahang, "Aku, sudah, marah!" Jian mengangkat kedua tangannya ke atas, "Terima hukumanmu, sudah melukai teman-temanku!" Jian mengentakkan tangannya ke bawah. Rubah itu terlempar belasan meter. Lalu tidak bergerak lagi.

Jian menjatuhkan tubuhnya di tanah. Begitu pipinya menempel, Jian merasa panas yang menyengat dari pasir merah keemasan ini.

"Tak terasa, aku bertarung begitu lama di tengah cuaca super panas ini. Aku, tidak bisa berdiri lagi."

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!