Journey In A Fantasy World
Jian menguap, matanya terbuka menutup sambil mendengar Ibu Guru menjelaskan. Kehidupan sekolah yang begini-begini saja tampak membosankan bagi Jian.
Melihat temannya mengantuk, Rui menyikut lengan Jian, "Hei, kalau tidak mau disuruh maju ke depan, jangan tampak seperti mengantuk, Jian," bisik Rui.
Jian hanya mengangguk, tidak terlalu mendengarkan saran dari Rui. Ibu Guru di depan sudah menyelesaikan penjelasan, kini, mata di balik kacamata itu menatap seluruh kelas, mencari mangsa untuk menggantikannya berdiri di depan. Jian bergegas fokus dengan bukunya, berpura-pura mendengarkan dan sedang menyalin.
"Jian. Bisakah kamu mengulangi penjelasan Ibu tadi?"
Puh! Jian langsung menyembunyikan wajahnya, bagaimanapun dia bersembunyi dan pura-pura, telunjuk Ibu Guru selalu mengarah ke wajahnya.
Rui terkekeh kecil, "Sudah aku katakan, Jian. Lain kali jangan cuma mengangguk, ya."
"Kenapa harus dijelaskan ulang, Bu? Ibu kan sudah menjelaskan. Jika aku menjelaskan ulang, sia-sia tenagaku nanti." Jian menjawab dengan gaya keren.
"Berdiri, Jian!"
Jian mengembuskan napas panjang.
...----------------...
Jian menghela napas, menatap mangkuk baksonya tidak selera. Melihat Rui yang makan dengan lahap, Jian semakin tidak selera makan.
"Kenapa kamu tidak makan?" Rui bertanya.
"Mood-ku buruk sejak dihukum Ibu Guru. Sebaiknya kamu jangan mengganggu," Jian bersungut-sungut.
"Baru disuruh berdiri sudah mengeluh tidak selera makan. Aku nih, diusir dari kelas, selera makanku tetap bagus," seorang laki-laki menyahut dari belakang mereka.
Jian semakin kesal lagi, "Diam kamu, Neo. Ini pembicaraan khusus perempuan, kamu tidak boleh asal sahut saja!"
Neo menoleh, "Kudengar ruangan baru di perpustakaan sudah boleh digunakan. Ada banyak properti keren di sana. Cocok untuk Jian yang menyukai barang-barang berbau fantasi," jelasnya mengalihkan pembicaraan.
Wajah Jian langsung cerah, "Benarkah? Apakah di sana ada semacam tongkat sihir?"
Rui langsung mencubit perut Jian, "Dia hanya membual, Jian. Kamu sebaiknya tidak perlu percaya," bisiknya pelan.
"Tunggu dulu, Rui. Aku juga mendengar dari kakak kelas dua belas kalau ruangan baru itu berbeda jauh dengan perpustakaan pada umumnya. Mungkin ucapan Neo tidak salah. Kita bisa datang ke sana, kan?" Jian menarik lengan Rui menuju perpustakaan.
"Tapi, tapi makananku belum—"
"Nanti saja kamu habiskan, sebentar saja, hanya memeriksa apakah ucapannya benar." Jian tidak memberi ruang untuk Rui menghabiskan baksonya.
"Eh, Para Gadis! Tunggu!" Neo panik begitu Jian memutuskan percaya padanya begitu saja, "Padahal kan aku hanya membual," gumamnya.
Neo berlari menuju ke kelas sebelum Para Gadis itu menyadari kalau mereka sedang di bodohi.
Bel berbunyi setelah beberapa menit, Neo melihat Jian dan Rui memasuki kelas dengan wajah menahan tawa. Mereka tampak sedang membicarakan hal yang menarik sepulang dari perpustakaan.
"Jika saja dunia fantasi itu benar-benar ada, bukankah menyenangkan, Rui? Kamu melihat betapa kerennya tongkat sihir di sana. Juga seragam akademi sihir. Itu menyenangkan," Jian tertawa kecil.
Rui mengangguk, "Menurutmu, ruangan itu untuk apa, ya? Kenapa banyak sekali barang-barang aneh yang tidak kita ketahui?"
Neo menguping pembicaraan itu. Dia bingung kenapa Jian dan Rui tidak memarahinya padahal dia sudah membohongi mereka.
"Mungkin itu ruangan untuk ekstra kurikuler drama teater. Kudengar anak kelas dua belas akan membuat drama teater berjudul akademi sihir," Jian menjawab.
"Jadi ruangan itu benar-benar sudah diisi peralatan teater? Tadi kulihat hanya ruangan kosong dengan peralatan melukis saja." Neo membatin, merasa heran kenapa yang dia lihat berbeda dengan yang dilihat Para Gadis.
Neo memutuskan untuk melihatnya kembali, apakah ruangan baru itu benar-benar ruangan drama teater, atau ruangan seni seperti yang dia lihat sebelumnya.
Begitu tiba di sana, Neo membukanya. Di dalam sana ada beberapa anak kelas dua belas sedang merapikan kanvas dan cat lukis.
Neo menelan ludah, menutup pintunya lagi. Kemudian membuka pintu lagi, yang dia lihat benar-benar hanya ruangan melukis biasa yang berisi barang-barang biasa seperti yang pernah dia lihat sebelumnya.
Karena merasa terganggu dengan kehadiran Neo yang hanya membuka dan menutup pintu, anak kelas dua belas itu berseru kesal, "Woi, Dek! Kalau tidak mau masuk, setidaknya jangan mengganggu yang sedang di dalam."
Neo nyengir lebar, kemudian menunduk meminta maaf dan kembali ke kelasnya.
"Jian, Rui!" serunya.
Jian dan Rui menoleh.
"Sebenarnya apa yang kalian lihat di dalam ruangan itu?" Neo bertanya dengan perasaan takut, "Kalian jangan membohongiku! Ruangan itu hanya ruangan biasa. Tidak ada barang-barang sihir yang aneh dan tidak kita ketahui. Itu hanya ruangan melukis yang baru."
Jian dan Rui saling menatap, "Apanya ruangan melukis? Itu mungkin ruangan teater baru."
"Ruangan teater bukan di dalam perpustakaan, Rui. Dia terpisah dari perpustakaan," Neo semakin geram.
"Terserah kamu saja. Yang jelas kamu yang mengada-ngada. Sudah jelas ruangan teater drama baru. Kalau bukan, kenapa isinya properti drama teater Akademi Sihir kakak kelas dua belas?" Jian menatap Neo malas.
"Jian, mungkin latihan teater itu akan dimulai sepulang sekolah nanti, kau mau melihatnya denganku?" Rui bertanya. Jian mengangguk dengan senang.
Karena merasa ada yang tidak beres dengan teman-temannya, Neo memutuskan untuk mengikuti Jian dan Rui ke ruangan itu pulang sekolah nanti.
...----------------...
Sekarang Jian dan Rui sudah berdiri di depan ruangan baru yang mereka sebut Ruangan Drama Teater. Ruangan itu terkunci. Jian dan Rui tidak bisa membukanya. Mereka bingung kenapa ruangan ini terkunci padahal sekolah belum ditutup.
Neo bersembunyi di balik rak buku. Berpikir mungkinkah yang dilihatnya salah?
Sebuah kunci tiba-tiba terjatuh dari udara. Neo melihatnya dengan matanya sendiri yang nyaris tidak berkedip melihat keanehan di dalam perpustakaan sekolahnya ini.
Jian dan Rui melihat kunci yang terjatuh itu, mereka mendongak, dari mana kunci ini jatuh? Tanpa berpikir, Rui memungutnya, mungkin kunci pintu ruangan ini.
kemudian memasukkannya ke lubang kunci di depan mereka. Kunci itu terbuka. Jian tersenyum puas. Meskipun latihannya belum di mulai, setidaknya mereka bisa masuk ke ruangan ini untuk mencoba hal baru. Mereka segera masuk.
Neo menyusul, mengintip lewat celah pintu, tapi yang dilihatnya hanya ruangan melukis saja. Dan di dalamnya tidak ada Jian dan Rui.
"Ini tidak sesederhana yang mereka pikirkan," gumamnya.
Neo berusaha masuk ke sana untuk menarik Jian dan Rui kembali ke perpustakaan sekolah. Tapi masuknya saja Neo tidak tahu harus seperti apa agar dimensinya sama dengan dimensi yang dilihat Jian dan Rui.
"Aaaaaaaa!!!" Neo mendengar suara teriakan.
Dia kembali berdiri diam di depan pintu, mungkin dia harus mengikuti cara Jian dan Rui masuk agar bisa tiba di ruangan dan dimensi yang sama.
"Jian, Rui, kalian di mana!" Neo berseru. Suaranya bergema, Neo melihat sekeliling, perpustakaannya sekarang sudah berbeda. Buku-buku terbang tak terkendali, Neo menatap tanpa berkedip, dia tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Tapi sejak Jian dan Rui membuka pintu menggunakan kunci itu, semuanya menjadi berubah total! Menatap sekeliling, Neo menyadari semuanya menghilang begitu saja. Perpustakaan dan isinya, semuanya lenyap dan berubah menjadi ruangan putih tak berdasar, Neo merasa kakinya melayang tapi juga menjejak lantai.
"Pintu itu tidak menghilang!" Neo berseru melihat pintu di depannya masih utuh tanpa kurang sedikitpun. Neo segera membukanya, dan tidak memikirkan apa yang terjadi begitu dia melewati pintu itu.
Neo membukanya, tubuhnya terjun bebas ke dalam pusaran portal menuju dimensi yang berbeda. Neo memejamkan nata karena terlalu silau.
"Aku tidak mengerti ini apa!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments