Jian dan Rui saling menatap. Mereka semua tidak mengerti apa yang dikatakan kurcaci-kurcaci, begitu juga sebaliknya.
Sampai pada akhirnya, satu kurcaci mengeluarkan sebuah alat yang sangat kecil di mata Jian, Rui dan Neo. Itu seperti benda bulat mirip earphone karena diletakkan di telinga.
"Hei, apakah dengan begitu mereka akan mengerti perkataan kita?" Neo berbisik. Jian dan Rui mengangkat bahu.
"Jika mereka memang akan mengerti, bukankah tetap sulit karena mereka tidak bisa bahasa kita?" Neo berbisik lagi.
"Sebaiknya kamu jangan berisik, Neo. Kita akan dianggap aneh jika mereka benar-benar mengerti bahasa kita lewat alat aneh itu." Rui balas berbisik.
"Nah, Nona, Tuan. Silakan berbicara," kurcaci yang memakai alat itu berbicara dengan bahasa manusia di bumi.
Neo terperanjat, "Kau!"
"Ah, aku Ao. Aku kurcaci yang tinggal di daerah ini. Kau penyihir dari mana, Kawan? Terima kasih sudah menyelamatkanku dari pusaran sihir jahat itu," ucap Ao.
"Neo, sebaiknya kita tinggalkan saja mereka," Rui berbisik di telinga Neo, "Yang penting kita sudah menyelamatkan mereka, kan?"
Neo tersenyum lebar, "Itu dia, Rui. Kau sebagai juara kelas tidak perlu bertingkah bodoh untuk menghadapi hal semacam ini. Kau harus mengerti, di dunia manapun, tidak ada sesuatu yang gratis. Kita harus meminta bayaran sepadan pada mereka karena kita sudah menyelamatkan nyawa mereka." Neo menjelaskan sambil berbisik juga.
Rui mengangguk paham, kemudian kembali diam menunggu Neo bernegosiasi lagi.
"Kami ingin berterima kasih kepada kalian, Nona, Tuan Muda. Tapi, kalau boleh tahu, nama kalian siapa, dan dari akademi mana?"
Neo terdiam sejenak, Jian dan Rui menyikut lengannya karena tak kunjung menjawab.
"Eh, hm ... namaku Neo, yang rambutnya hitam namanya Jian. Yang rambutnya pirang itu namanya Rui, kami dari Akademi Sains 2," Neo memperkenalkan masing-masing temannya juga.
"Yang dimaksud akademi itu sekolah, kan?" Neo berbisik tidak yakin di telinga Jian.
"Akademi Sains? Apa itu? Tidak ada akademi sihir dengan nama itu di kota kita, kan, Ao?" tanya kurcaci lain dengan bahasa mereka sendiri.
"Eum ... mungkinkah kalian dari kota lain?" Ao bertanya pada Neo begitu mendengar pertanyaan temannya.
"Ah, iya. Kami bukan dari kota ini, juga bukan dari dunia ini." Neo menjawab jujur. "Jadi, bisakah kalian menjelaskan pada kami, di mana dunia ini dan apa namanya? Lalu, apakah kalian bisa mengantar kami kembali ke dunia kami?" tanya Neo.
Para kurcaci saling menatap. Mereka bingung kenapa dan untuk apa Neo bertanya seperti itu. Neo menjelaskan kalau anggap saja mereka menganggapnya sebagai tamu.
"Ah, Sobat, apa kamu datang dari Kota Luse?" tanya Ao.
Neo menatap kedua temannya, "Hei, Kota Luse itu yang mana?"
Jian dan Rui menggeleng, "Mungkin itu kota tetangga mereka."
Neo menggaruk tengkuk, "Begini, anggap saja kami datang dari dunia berbeda. Bahkan jika menyebutkan nama negaranya, kalian mungkin tidak akan mengerti ...," Neo menatap Ao dengan wajah yang tidak meyakinkan.
"Baiklah, dari suatu tempat yang berbeda dari Benua Biru kami." Ao mengangguk.
"Eh, jadi ini bukan Benua Asia lagi?" Rui bertanya kepada Jian. Jian mengangkat bahu.
"Eh, apa? Dunia yang berbeda?" Ao tampak terkejut setelah menyadari kalimatnya sedikit janggal, "Bagaimana kalian bisa dari dunia lain?"
Jian dan Rui saling menatap, "Apakah mereka juga seperti kita? Tidak tahu kalau ada dimensi lain di bumi?"
Neo mengangguk, "Mungkin mereka sama seperti manusia pada umumnya, Jian. Dunia mereka adalah satu-satunya di alam semesta bagi mereka sendiri. Anggap saja begitu."
Neo kembali menatap Ao, "Jadi, apa kalian bisa membantu kami kembali ke dunia kami?"
Ao terlihat berdiskusi dengan teman-temannya, setelah beberapa menit, dia berhadapan dengan Neo lagi, "Kami memang tidak bisa, Kawan. Tapi ratu kami bisa. Bolehkah aku membawa kalian ke Istana Ratu untuk melaporkan keluhan kalian dan mencari penyelesaiannya?"
Neo menatap Jian dan Rui, "Bagaimana? Kalian mau bertemu ratu yang mereka maksud atau tidak? Mungkin saja dia satu-satunya yang tahu cara kita kembali pulang ...," Neo meyakinkan Jian dan Rui agar mereka mengikuti sarannya selama perjalanan di benua asing ini.
Jian dan Rui mengangguk, "Lagipula kamu terlihat lebih berpengalaman."
Neo berpikir sejenak, "Eh, tapi ini kali pertamaku. Aku hanya menyesuaikan diri saja," ungkapnya malu-malu.
----------------
Mereka tiba di Istana Ratu dalam sepersekian detik saja. Rupanya Ao membawa mereka menggunakan portal teleportasi. Begitu memasuki portal, akan langsung keluar di tempat tujuan, seperti membuka pintu dan keluar melalui pintu itu.
Jian menelan ludah, "Istana ini megah sekali."
"Persis seperti istana di dalam komik fantasi milikmu, Jian," Rui menyahut.
Mereka asyik melihat interior Istana Ratu yang begitu megah. Tapi Neo punya pemikirannya sendiri tentang istana megah ini.
"Jika dipikirkan, dunia ini sungguh sangat maju jika mereka mau, tapi mereka lebih mengandalkan sihir daripada teknologi. Hanya orang lemah saja yang menggunakan teknologi."
"Seperti kurcaci itu?" tambah Rui.
Neo mengangguk, "Itu mungkin sebuah alat penerjemah otomatis yang bisa membuatnya mengerti sekaligus mengucapkan kalimat dalam bahasa yang sama. Kita lihat saja apakah ratu yang mereka maksud juga menggunakan alat yang sama atau sihir untuk memahami bahasa kita."
Jian mengangguk-angguk, "Lihatlah, tidak ada televisi atau laptop di mana pun di istana ini."
"Mereka tidak membutuhkannya, Jian. Mungkin di Benua Biru ini, teknologi sudah ditemukan ratusan tahun lalu, tapi penduduknya lebih tertarik dengan sihir yang lebih mudah dan instan. Kau lihat dinding di atas sana," Neo menunjuk ke atas dengan tangannya, pandangan Jian dan Rui langsung menuju tangan itu menunjuk.
"Lihat angin yang berhembus dari sana. Tidak ada ventilasi, AC, atau kipas angin di sana, tapi angin berhembus sangat sejuk. Itu pasti sihir, seperti sihir otomatis." Neo menjelaskan singkat.
"Neo, kamu lebih mirip pemandu wisata dari pada seseorang yang baru mengunjunginya," Jian menceletuk, menatap Neo yang terlihat sangat memahami dunia sihir ini.
"Eh, aku hanya menyesuaikan diri," Neo menggaruk tengkuk.
Ao dan teman-temannya sudah berbelok ke lorong berikutnya, Jian, Rui dan Neo terus berjalan di belakang mereka. Tampaknya ini lorong terakhir. Lorong itu langsung menghadap sebuah pintu besar berwarna perak yang mengagumkan.
Jian, Rui dan Neo sampai membuka mulut saking kagumnya dengan pintu raksasa yang megah itu. Tiba-tiba Neo menyikut lengan Jian dengan jahil, "Jika kita menggaruknya sedikit, mungkin kita bisa menjual potongan kuku kita dengan harga yang mahal. Itu terlihat seperti logam mulia yang berharga," bisiknya.
Jian melotot tidak senang, "Kamu jangan gegabah di rumah orang!"
Neo malah mengeluarkan suara 'sstt' untuk menyuruh Jian diam, matanya menatap lurus ke depan saat pintu raksasa itu terbuka. Di dalamnya ada singgasana bernuansa perak yang sangat indah dari sudut manapun.
"Jian, bukankah kita lebih mirip sedang berada di surga?" Rui memegang erat tangan Jian, bukan antusias seperti Neo, justru dia merasa ketakutan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments