Clean This City!

Clean This City!

Chapter 1

Pukul 22.00 pada hari Kamis, di bulan Desember.

Namaku Lucas Dimitri Rumanolf, seorang karyawan minimarket yang baru saja pulang dari tempat kerjaku. Umurku masih 20 tahun dan aku hidup seorang diri karena sejak kecil aku sudah menjadi yatim piatu, serta sampai sekarang aku pun belum menikah sehingga saat ini bisa dikatakan bahwa aku benar hidup sebatang kara tanpa sanak saudara.

Malam ini sangat dingin. Meski tak ada badai salju, tapi salju tetap saja turun sehingga membuat kedinginan ini semakin menjadi-jadi. Padahal aku sudah memakai berlapis-lapis pakaian, tapi dingin ini sangat menusuk sampai ke tulang, sehingga bisa dikatakan bahwa dingin ini sungguh tak seperti biasanya.

Perjalanan pulang malam ini sungguh berat karena selain aku harus pulang berjalan kaki, cuaca yang dingin mematikan ini juga menyertai perjalananku. Terkadang aku berpikir, mengapa bisa aku masih tetap hidup di saat banyak sekali orang yang mati karena kedinginan yang tidak biasa ini.

"Kenapa aku bukan salah satu dari mereka? Kenapa aku masih diberikan kesempatan untuk hidup?" pikirku sembari berjalan menelusuri jalan untuk sampai ke tempat tinggalku yang hanyalah sebuah kontrakan kecil dan jaraknya cukup jauh dari mini market tempatku bekerja.

Perjalanan pulangku kali ini tidaklah terlalu berjalan mulus. Kukatakan demikian karena hal tidak biasa lainnya terjadi ketika hampir mencapai setengah perjalanan pulang, langkahku terhenti karena jalan yang biasa kulalui itu ditutup sebagai akibat adanya sebuah pekerjaan galian.

"Ck, sepertinya aku harus menempuh jalan yang lain," gumamku sembari membalikkan badan untuk menuju ke jalan utama agar aku bisa menemukan jalan kecil lainnya.

"Sepertinya hari ini aku memang sedang sial, sudah cuaca sangat dingin belakangan ini, tadi pagi telat datang ke mini market, dimarahi manager, menghadapi pelanggan yang cerewet dan tak mau mengalah ... dan sekarang jalan tercepat yang biasa kulalui ditutup ... Bagaimana bisa hari ini menjadi semakin buruk?" gerutuku dalam hati, mengeluhkan semua kesialan yang terjadi padaku hari ini.

Beberapa saat kemudian, tibalah aku pada sebuah jalan kecil yang sangat jarang sekali aku lewati karena memang jarak rumahku yang akan semakin jauh jika mengambil rute jalan ini, meski jalan ini masih lebih baik dari jalan lainnya.

Jalan ini adalah jalanan sepi yang benar-benar sepi. Saat ini, ketika kulalui jalan ini pun tak ada seorang pun yang kulihat berada di luar, bahkan kendaraan yang lewat pun tak ada, benar-benar menyeramkan sekali ketika kutahu saat ini aku satu-satunya orang yang berjalan di jalanan dengan pencahayaan yang sangat minim sekali di tengah hujan salju ini. Namun meski begitu, aku tetap berjalan, tak memedulikan sekitarku karena keinginanku untuk segera pulang lebih besar dari pad rasa takutku.

Semua baik-baik saja hingga lambat laun hujan salju ini kian lama-kian deras, awalnya aku merasa bisa menghadapinya sehingga aku terus menerobos hujan salju itu, tapi karena angin kencang juga turut mengiringi perjalanan pulangku, aku pun memutuskan untuk menyerah dan mencari tempat untuk berteduh.

Kuedarkan pandanganku untuk mencari rumah atau mini market yang bisa kugunakan sebagai tempat berteduh, tapi sayangnya aku tidak menemukannya karena jalan yang kulalui ini memang jalanan terpencil sehingga yang ada hanyalah pohon-pohon yang berjejer di tepi jalan dan lahan luas tak terawat di sampingnya.

Awalnya aku tidak melihat apa-apa yang bisa melindungiku, tapi saat kuperhatikan lagi, di ujung lahan kosong tak terawat itu aku menemukan sebuah titik kecil berwarna oranye, yang kukira di sana ada sebuah rumah dan cahaya itu adalah berasal dari lampunya yang menyala.

"Sepertinya aku akan meminta tolong pada pemilik rumah itu agar mengizinkanku untuk berteduh hingga hujan salju ini mereda," gumamku sembari menaikkan kerah mantelku agar leher yang tertutup syal ini bisa merasa lebih hangat.

Dengan susah payah aku melawan angin kencang menerpa tubuhku, bahkan saking kencangnya angin ini hampir saja membuat tubuhku yang kurus kering ini terbawa angin. Aku terus berjuang hingga pada akhirnya sampai di depan rumah yang merupakan sumber dari cahaya oranye yang tadi menarik perhatianku.

Aku tersenyum semeringah melihat bahwa sepertinya di dalam rumah itu amatlah hangat. Perlahan aku pun melangkah maju ke depan pintu untuk mengetuk pintu rumahnya dan bertemu pemilik rumah agar ia mengizinkanku untuk berteduh.

"Semoga saja pemilik rumahnya baik hati," gumamku dengan penuh harap.

Namun, baru saja kepalan tanganku menyentuh pintunya, pintu itu malah terbuka dengan sendirinya sehingga dalam sekejap aku pun bisa langsung merasakan angin hangat yang keluar dari dalam rumah itu. Perasaan hangat itu begitu sangat nyaman sehingga aku sangat yakin bahwa di dalam rumah pasti akan lebih hangat lagi dan itulah yang kuinginkan di tengah dinginnya cuaca di luar.

Aku pun terbuai dengan kehangatan yang menerpa tubuhku itu dan akhirnya dengan modal nekat, aku masuk ke dalam rumah tanpa permisi.

KRIET ...

"Permisi," ucapku setelah kubuka pintu rumah itu lebar-lebar.

Tapi aku tidak mendapat sahutan dari ucapanku itu. Aku tidak menyerah, meski tak ada yang menyahut aku tetap masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya.

Ternyata benar, jauh lebih hangat di dalam rumah dan itu sungguh nyaman sampai-sampai tanpa sadar tetes air mata terjatuh dari ujung mataku karena saking bersyukurnya aku isa merasakan kehangatan ini. "Bahkan di rumah pun aku tidak pernah merasakan kehangatan seperti ini," gumamku sembari mengusap mataku.

"Aku tahu ini tidak sopan, tapi jika aku tetap berada di luar aku yakin pasti aku benar-benar akan mati kedinginan," pikirku, membenarkan apa yang kulakukan ini.

Pandanganku kemudian tertuju pada perapian besar yang sedang menyala itu dan tanpa basa-basi aku langsung mendekatinya agar tubuhku lebih hangat.

Cukup lama aku berdiri di depan perapian hingga aku pun menyadari bahwa rumah ini amatlah sepi, aku benar-benar tidak merasakan sebuah kehidupan di sini, aku sungguh merasa seperti sendirian di rumah ini.

Karena sifat manusiawiku yang begitu sangat penasaran, aku memutuskan untuk menelusuri rumah sepi yang sangat hangat ini. Selain itu aku sungguh sangat berharap bisa bertemu dengan pemilik rumah sehingga aku bisa meminta izin padanya untuk berdiam diri rumahnya sedikit lebih lama karena mengingat hujan salju di luar masihlah deras.

Kutelusuri rumah itu, tapi tetap saja tidak menemukan satu manusia pun di setiap sudut rumah. Hal itu membuatku jadi berpikir bahwa rumah ini kosong atau paling tidak semua penghuninya sedang keluar sebentar mengingat perapian rumah masih menyala.

Semua pemikiranku itu akan kuyakini setelah kuperiksa sebuah ruangan di hadapanku, yaitu satu-satunya ruangan  yang belum kuperiksa di dalamnya.

TOK

TOK

TOK

Kuketuk pintu ruangan itu dengan perlahan karena takutnya benar-benar ada orang di dalamnya dan akan sangat tidak sopan jika aku menerobos masuk ke dalam begitu saja.

Oleh karena aku tidak mendengar sahutan dari dalam ruangan itu, akhirnya aku pun yakin bahwa di dalam ruangan itu tidak ada orang sehingga tanpa menunggu lama aku membuka pintunya untuk memastikan.

KRIET ...

Sekarang aku bisa melihat ruangan itu setelah kubuka pintunya lebar-lebar.

Setelah melihat apa yang ada di dalamnya aku menjadi tahu mengapa rumah ini sangat sepi.

Mengetahui kenyataannya aku sampai tidak bisa bergerak dan hanya diam mematung saja di daun pintu memandangi hal yang sangat mengerikan itu.

"Ma ... Mayat!" gumamku dengan suara yang gemetaran karena begitu mengerikannya manusia tak bernyawa itu tergeletak begitu saja di lantai dalam ruangan itu.

Mayat pria itu semakin mengerikan dengan genangan darah yang menggenang di bawah jasad itu. Darah itu berasal dari luka tikaman di sekujur tubuhnya dan yang paling banyak adalah berasal dari bekas kakinya yang dipotong sampai pangkal paha. Ya, mayat itu buntung kaki kirinya sampai pangkal paha dan aku tidak menemukan potongan kaki itu di mana pun di ruangan itu.

Aku benar-benar merasa sangat ngeri dengan pemandangan itu mengingat selain buntung, wajah pria itu juga tidak karuan, seperti ia dihajar habis-habisan sebelum ia dibunuh.

Sungguh aku tak tahu harus bagaimana, kakiku lemas dan akhirnya aku pun berlutut.

"Aku ... Aku harus kabur! Aku tak ingin dipenjara! Aku yakin pasti akan langsung dicurigai sebagai pembunuhnya!" gumamku dengan pandangan kosong tanpa teralihkan dari pemandangan mengerikan itu.

Saat hendak bangkit dari berlututku dan hendak pergi meninggalkan rumah penuh horror itu, tiba-tiba saja saat menoleh, kulihat di belakangku sudah ada seorang pria yang memandangiku dari tempatnya berdiri sambil memasang wajah dinginnya padaku.

"Kau pelakunya?" ucap pria sangar itu.

Tubuhku gemetaran, ketakutanku ternyata benar-benar terjadi, aku dituduh membunuh pria itu. "A ... Aku tidak ... tidak! Aku tidak membunuhnya! Aku tidak tahu apa-apa! Saat masuk ke sini -"

"KAU PELAKUNYA!" Orang itu membentakku, lalu memegangi kerah mantelku, kemudian menyeretku ke sebuah ruang bawah tanah dengan kasar.

Bersambung ...

Terpopuler

Comments

Alfan

Alfan

aku bantu like dan subscribe ya kak, sekalian intip tulisan kakak 👍🤗

2023-10-09

1

Ir Syanda

Ir Syanda

Yaa semoga saja😁

2023-07-22

0

🛡️Change⚔️ Name🛡️

🛡️Change⚔️ Name🛡️

Mungkin saja akan lebih baik

2023-07-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!