NovelToon NovelToon

Clean This City!

Chapter 1

Pukul 22.00 pada hari Kamis, di bulan Desember.

Namaku Lucas Dimitri Rumanolf, seorang karyawan minimarket yang baru saja pulang dari tempat kerjaku. Umurku masih 20 tahun dan aku hidup seorang diri karena sejak kecil aku sudah menjadi yatim piatu, serta sampai sekarang aku pun belum menikah sehingga saat ini bisa dikatakan bahwa aku benar hidup sebatang kara tanpa sanak saudara.

Malam ini sangat dingin. Meski tak ada badai salju, tapi salju tetap saja turun sehingga membuat kedinginan ini semakin menjadi-jadi. Padahal aku sudah memakai berlapis-lapis pakaian, tapi dingin ini sangat menusuk sampai ke tulang, sehingga bisa dikatakan bahwa dingin ini sungguh tak seperti biasanya.

Perjalanan pulang malam ini sungguh berat karena selain aku harus pulang berjalan kaki, cuaca yang dingin mematikan ini juga menyertai perjalananku. Terkadang aku berpikir, mengapa bisa aku masih tetap hidup di saat banyak sekali orang yang mati karena kedinginan yang tidak biasa ini.

"Kenapa aku bukan salah satu dari mereka? Kenapa aku masih diberikan kesempatan untuk hidup?" pikirku sembari berjalan menelusuri jalan untuk sampai ke tempat tinggalku yang hanyalah sebuah kontrakan kecil dan jaraknya cukup jauh dari mini market tempatku bekerja.

Perjalanan pulangku kali ini tidaklah terlalu berjalan mulus. Kukatakan demikian karena hal tidak biasa lainnya terjadi ketika hampir mencapai setengah perjalanan pulang, langkahku terhenti karena jalan yang biasa kulalui itu ditutup sebagai akibat adanya sebuah pekerjaan galian.

"Ck, sepertinya aku harus menempuh jalan yang lain," gumamku sembari membalikkan badan untuk menuju ke jalan utama agar aku bisa menemukan jalan kecil lainnya.

"Sepertinya hari ini aku memang sedang sial, sudah cuaca sangat dingin belakangan ini, tadi pagi telat datang ke mini market, dimarahi manager, menghadapi pelanggan yang cerewet dan tak mau mengalah ... dan sekarang jalan tercepat yang biasa kulalui ditutup ... Bagaimana bisa hari ini menjadi semakin buruk?" gerutuku dalam hati, mengeluhkan semua kesialan yang terjadi padaku hari ini.

Beberapa saat kemudian, tibalah aku pada sebuah jalan kecil yang sangat jarang sekali aku lewati karena memang jarak rumahku yang akan semakin jauh jika mengambil rute jalan ini, meski jalan ini masih lebih baik dari jalan lainnya.

Jalan ini adalah jalanan sepi yang benar-benar sepi. Saat ini, ketika kulalui jalan ini pun tak ada seorang pun yang kulihat berada di luar, bahkan kendaraan yang lewat pun tak ada, benar-benar menyeramkan sekali ketika kutahu saat ini aku satu-satunya orang yang berjalan di jalanan dengan pencahayaan yang sangat minim sekali di tengah hujan salju ini. Namun meski begitu, aku tetap berjalan, tak memedulikan sekitarku karena keinginanku untuk segera pulang lebih besar dari pad rasa takutku.

Semua baik-baik saja hingga lambat laun hujan salju ini kian lama-kian deras, awalnya aku merasa bisa menghadapinya sehingga aku terus menerobos hujan salju itu, tapi karena angin kencang juga turut mengiringi perjalanan pulangku, aku pun memutuskan untuk menyerah dan mencari tempat untuk berteduh.

Kuedarkan pandanganku untuk mencari rumah atau mini market yang bisa kugunakan sebagai tempat berteduh, tapi sayangnya aku tidak menemukannya karena jalan yang kulalui ini memang jalanan terpencil sehingga yang ada hanyalah pohon-pohon yang berjejer di tepi jalan dan lahan luas tak terawat di sampingnya.

Awalnya aku tidak melihat apa-apa yang bisa melindungiku, tapi saat kuperhatikan lagi, di ujung lahan kosong tak terawat itu aku menemukan sebuah titik kecil berwarna oranye, yang kukira di sana ada sebuah rumah dan cahaya itu adalah berasal dari lampunya yang menyala.

"Sepertinya aku akan meminta tolong pada pemilik rumah itu agar mengizinkanku untuk berteduh hingga hujan salju ini mereda," gumamku sembari menaikkan kerah mantelku agar leher yang tertutup syal ini bisa merasa lebih hangat.

Dengan susah payah aku melawan angin kencang menerpa tubuhku, bahkan saking kencangnya angin ini hampir saja membuat tubuhku yang kurus kering ini terbawa angin. Aku terus berjuang hingga pada akhirnya sampai di depan rumah yang merupakan sumber dari cahaya oranye yang tadi menarik perhatianku.

Aku tersenyum semeringah melihat bahwa sepertinya di dalam rumah itu amatlah hangat. Perlahan aku pun melangkah maju ke depan pintu untuk mengetuk pintu rumahnya dan bertemu pemilik rumah agar ia mengizinkanku untuk berteduh.

"Semoga saja pemilik rumahnya baik hati," gumamku dengan penuh harap.

Namun, baru saja kepalan tanganku menyentuh pintunya, pintu itu malah terbuka dengan sendirinya sehingga dalam sekejap aku pun bisa langsung merasakan angin hangat yang keluar dari dalam rumah itu. Perasaan hangat itu begitu sangat nyaman sehingga aku sangat yakin bahwa di dalam rumah pasti akan lebih hangat lagi dan itulah yang kuinginkan di tengah dinginnya cuaca di luar.

Aku pun terbuai dengan kehangatan yang menerpa tubuhku itu dan akhirnya dengan modal nekat, aku masuk ke dalam rumah tanpa permisi.

KRIET ...

"Permisi," ucapku setelah kubuka pintu rumah itu lebar-lebar.

Tapi aku tidak mendapat sahutan dari ucapanku itu. Aku tidak menyerah, meski tak ada yang menyahut aku tetap masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya.

Ternyata benar, jauh lebih hangat di dalam rumah dan itu sungguh nyaman sampai-sampai tanpa sadar tetes air mata terjatuh dari ujung mataku karena saking bersyukurnya aku isa merasakan kehangatan ini. "Bahkan di rumah pun aku tidak pernah merasakan kehangatan seperti ini," gumamku sembari mengusap mataku.

"Aku tahu ini tidak sopan, tapi jika aku tetap berada di luar aku yakin pasti aku benar-benar akan mati kedinginan," pikirku, membenarkan apa yang kulakukan ini.

Pandanganku kemudian tertuju pada perapian besar yang sedang menyala itu dan tanpa basa-basi aku langsung mendekatinya agar tubuhku lebih hangat.

Cukup lama aku berdiri di depan perapian hingga aku pun menyadari bahwa rumah ini amatlah sepi, aku benar-benar tidak merasakan sebuah kehidupan di sini, aku sungguh merasa seperti sendirian di rumah ini.

Karena sifat manusiawiku yang begitu sangat penasaran, aku memutuskan untuk menelusuri rumah sepi yang sangat hangat ini. Selain itu aku sungguh sangat berharap bisa bertemu dengan pemilik rumah sehingga aku bisa meminta izin padanya untuk berdiam diri rumahnya sedikit lebih lama karena mengingat hujan salju di luar masihlah deras.

Kutelusuri rumah itu, tapi tetap saja tidak menemukan satu manusia pun di setiap sudut rumah. Hal itu membuatku jadi berpikir bahwa rumah ini kosong atau paling tidak semua penghuninya sedang keluar sebentar mengingat perapian rumah masih menyala.

Semua pemikiranku itu akan kuyakini setelah kuperiksa sebuah ruangan di hadapanku, yaitu satu-satunya ruangan  yang belum kuperiksa di dalamnya.

TOK

TOK

TOK

Kuketuk pintu ruangan itu dengan perlahan karena takutnya benar-benar ada orang di dalamnya dan akan sangat tidak sopan jika aku menerobos masuk ke dalam begitu saja.

Oleh karena aku tidak mendengar sahutan dari dalam ruangan itu, akhirnya aku pun yakin bahwa di dalam ruangan itu tidak ada orang sehingga tanpa menunggu lama aku membuka pintunya untuk memastikan.

KRIET ...

Sekarang aku bisa melihat ruangan itu setelah kubuka pintunya lebar-lebar.

Setelah melihat apa yang ada di dalamnya aku menjadi tahu mengapa rumah ini sangat sepi.

Mengetahui kenyataannya aku sampai tidak bisa bergerak dan hanya diam mematung saja di daun pintu memandangi hal yang sangat mengerikan itu.

"Ma ... Mayat!" gumamku dengan suara yang gemetaran karena begitu mengerikannya manusia tak bernyawa itu tergeletak begitu saja di lantai dalam ruangan itu.

Mayat pria itu semakin mengerikan dengan genangan darah yang menggenang di bawah jasad itu. Darah itu berasal dari luka tikaman di sekujur tubuhnya dan yang paling banyak adalah berasal dari bekas kakinya yang dipotong sampai pangkal paha. Ya, mayat itu buntung kaki kirinya sampai pangkal paha dan aku tidak menemukan potongan kaki itu di mana pun di ruangan itu.

Aku benar-benar merasa sangat ngeri dengan pemandangan itu mengingat selain buntung, wajah pria itu juga tidak karuan, seperti ia dihajar habis-habisan sebelum ia dibunuh.

Sungguh aku tak tahu harus bagaimana, kakiku lemas dan akhirnya aku pun berlutut.

"Aku ... Aku harus kabur! Aku tak ingin dipenjara! Aku yakin pasti akan langsung dicurigai sebagai pembunuhnya!" gumamku dengan pandangan kosong tanpa teralihkan dari pemandangan mengerikan itu.

Saat hendak bangkit dari berlututku dan hendak pergi meninggalkan rumah penuh horror itu, tiba-tiba saja saat menoleh, kulihat di belakangku sudah ada seorang pria yang memandangiku dari tempatnya berdiri sambil memasang wajah dinginnya padaku.

"Kau pelakunya?" ucap pria sangar itu.

Tubuhku gemetaran, ketakutanku ternyata benar-benar terjadi, aku dituduh membunuh pria itu. "A ... Aku tidak ... tidak! Aku tidak membunuhnya! Aku tidak tahu apa-apa! Saat masuk ke sini -"

"KAU PELAKUNYA!" Orang itu membentakku, lalu memegangi kerah mantelku, kemudian menyeretku ke sebuah ruang bawah tanah dengan kasar.

Bersambung ...

Chapter 2 Sebuah ketakutan

Pria sangar itu lalu menyeretku ke sebuah ruang bawah tanah. Sungguh aku sangat ketakutan setengah mati dengan apa yang akan dilakukan pria itu padaku di tempat yang amat sangat tertutup ini.

BRUGH!

Ia melemparku ke pojokan dan memelototiku dengan penuh emosi yang tak bisa tergambarkan bagaimana betapa marahnya pria besar dan garang itu. Wajahnya berkeringat dan hidungnya merah.

"Kau membunuh Harison! Siapa yang menyuruhmu, hah?" ucapnya dengan suara bergetar dan sepertinya Harison itu adalah nama pria tak bernyawa di atas sana.

Seluruh tubuhku bergetar hebat karena ketakutan dan saking ketakutannya aku masih tak bisa membuka mulut.

BUAK!

Pria itu menendang wajahku sehingga aku bisa merasakan bahwa sebuah cairan hangat, kental, dan berbau amis itu mengucur dari hidung dan mulutku.

"Katakanlah sesuatu, brengsek!" bentak pria itu yang sepertinya kesal karena meski dia sudah menendangku dengan amat keras, tapi aku masih tetap tak bisa bicara, bahkan untuk berteriak kesakitan pun tak mampu.

Tak sampai disitu saja, dia terus memukul dan menendangku sehingga aku sangat merasa sangat kesakitan, dan bahkan aku bisa merasakan sendiri bahwa sekujur tubuhku sudah babak belur karena hantaman dari tukulannya dan tendangannya itu.

"Hoo, tak bisa bicara ya ... Baiklah." Pria itu lalu mengangkatku, lalu melemparku pada sebuah meja.

BRUK!

Ia mengikat tangan dan kakiku di atas meja itu dengan sangat erat sehingga aku benar-benar tidak bisa bergerak karena ini.

"Jika kau masih tak mau bicara, bagaimana jika begini ..." Pria garang itu mengambil sebuah pisau lipat dari saku celananya lalu menempelkan ujung tajam pisau itu pada pipiku.

Sambil memasang wajahnya yang amat menyeramkan dan mengerikan itu, ia menyabet pipiku itu dengan pisau itu sehingga kini pipiku terluka dan mengucurkan darah segar baru setelah darah yang mengucur dari hidungku baru saja berhenti.

"Tangguh juga kau, harus kupuji kau karena sampai sekarang tidak menjerit seperti seorang wanita, tapi meski begitu jika aku tidak mendapat sebuah jawaban dari mulutmu, maka jangan salahkan aku jika kubuat kau mati dengan cara yang menyakitkan dan mengerikan dari apa yang pernah kau bayangan!" ucapnya sambil berbisik di telingaku yang mana itu membuatku sangat terintimidasi.

Pisau lipatnya itu kini beralih mengancam leherku dan ia menekannya kesana sehingga aku bisa merasakan perih di sekitarnya yang mana itu artinya ia juga melukai leherku dengan pisau itu di tangannya.

"Kau pernah melihat bagaimana seekor sapi disembelih saat ia akan dijadikan sebagai hidangan, hm?" ucap pria itu.

"Dia akan digantung secara terbalik setelah lehernya berhasil digorok agar semua darahnya keluar dari tubuhnya ... Well, aku juga akan melakukan hal seperti itu padamu, pertama akan kulukai pembuluh darah di lehermu, lalu kugantung kau secara terbalik, sama seperti sapi itu, sehingga dalam keadaan yang hampir menemui ajalmu itu kau melihat darah yang mengucur dari luka di lehermu itu menggenang di bawah kepalamu, dan itu akan menjadi ingatan terakhirmu sebelum kau benar-benar pergi ke neraka ..." tutur pria itu yang secara detail menjelaskan bagaimana dia akan berbuat padaku dalam beberapa menit ini.

Sudah pasti aku sangat ketakutan setengah mati sehingga perasaan sakit karena dihajar habis-habisan oleh pria ini setelah ia menjelaskan hal mengerikan yang akan ia lakukan. Namu, apa mau dikata, sialnya mulutku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa karena terlalu takut.

"Aku hitung sampai tiga, jika kau masih bungkam, maka aku akan melakukan seperti apa yang sudah kukatakan tadi padamu!" serunya.

"Aku akan bertanya lagi ... Apakah kau yang membunuh Harison? Lalu siapa yang memerintahkanmu untuk melakukan itu?" Ia pun mulai dengan mengajukan dua pertanyaan itu sebelum memulai berhitung.

"1 ... 2 ..." Dia mulai menghitung dan meski aku tahu itu, tapi entah mengapa aku benar-benar tidak bisa membuka mulutku.

"Sial, sial, sial, sial! Dasar mulut sial! Berbicaralah sesuatu sialan!" Aku mengutuk mulutku sendiri yang begitu payahnya tak bisa menjalankan tugasnya. Irama napasku semakin cepat karena perasaan gugup ini dan keringat pun semakin deras mengucur, aku benar-benar sudah tidak kedinginan lagi seperti beberapa menit yang lalu sebelum aku memasuki rumah ini. Aku sungguh menyesal masuk ke dalam rumah ini, andai saja aku tidak melihat cahaya yang menghangatkan itu, andai saja waktu bisa diputar kembali ke masa lalu.

"3!" Pria itu pun selesai berhitung dan aku sungguh tahu apa arinya itu.

"Sial! Aku pasti akan mati kali ini!" pikirku yang sudah sangat pasrah dengan keadaan.

"Ho, tetap teguh pada pendirianmu, hm? Baklah kalau begitu aku akan melakukan ini!" Pria itu lalu menjauhkan pisau itu dari leherku, membuat ancang-ancang sebelum ia menancapkannya di tempat yang sangat vital itu.

Namun, tepat sebelum ia menunaikan hal yang sangat ingin dia lakukan, tiba-tiba sebuah suara memanggilnya sehingga membuatnya menghentikan apa yang sedang ia lakukan.

"Berry!" Panggil orang itu yang terdengar seperti suara seorang pria. Aku tidak tahu bagaimana rupanya karena di posisiku yang seperti ini aku tidak bisa melihat sosoknya yang sepertinya sedang berdiri di atas kepalaku.

Sontak saja pria mengerikan yang sepertinya bernama Berry itu menoleh pada pria itu. "Marco!" ucap Berry setelah ia melihat pria yang bernama Maro itu.

"Hentikan apa yang sedang kau lakukan itu!" serunya dengan tegas pada pria menyeramkan itu.

"Hah? Apa maksudmu? Dia sudah membunuh Harison! Kita tidak boleh membiarkan bajingan ini hidup!" tegas Berry dengan emosi yang menggebu-gebu.

"Pertama, aku ingin tahu, apakah pria ini berlumuran darah sebelum kau menyeretnya ke sini?" tanya Marco.

"Mana kutahu, aku terlalu murka saat melihatnya duduk di depan mayat bajingan itu!" jawab Berry dengan kesal.

"Hm, sulit juga, baiklah, kalau begitu kau minggirlah, biar kutangani orang ini!" seru Marco dengan tegas.

"Tapi kita harus -"

"Kau terlalu gegabah, bila kau malah membunuh seseorang yang bisa membantu kita, maka kau akan membuat kesalahan yang sama sehingga membuat si bajingan Harison itu berhasil menyembunyikan harta karun organisasi yang begitu banyak ... Jadi biarkan aku yang bekerja kali ini!" serunya.

Pria garang yang bernama Berry itu menggertakkan giginya, lalu tanpa menyanggah lagi perkataan pria yang bernama Marco itu, ia pun menjauh dariku, lalu berdiri di samping kiriku, memperhatikan apa yang akan di lakukan Marco selanjutnya.

Pria yang sedari tadi berdiri di belakangku itu mulai berjalan menuju sebelah kananku sehingga dengan begitu aku bisa melihat sosoknya dengan sangat jelas, yaitu seorang pria yang tingginya tak jauh berbeda denganku, wajahnya juga tak kalah sangarnya dengan pria yang bernama Berry tadi dengan bekas luka sabetan di bagian pelipis matanya yang cukup panjang sehingga kesan sangarnya semakin menjadi saja. Selain itu mata peraknya yang sangat dingin dan tajam itu menatapku sehingga membuat nyaliku semakin menciut hanya dengan melihatnya saja.

"Well, well, hanya dengan sekali lihat saja aku langsung bisa menebak bahwa pria ini bukanlah yang membunuh Harison, Berry! Sepertinya matamu sangat buta ya ..." ucapnya setelah ia untuk beberapa saat memandangiku dengan penuh selidik seakan ia sedang mempelajariku.

"Pemuda lemah ini bukanlah tandingan si Harison, jika memang dia berhadapan dengannya, sudah pasti pemuda ini yang akan mati," sambungnya sembari melirik Berry yang berdiri di seberangnya.

Pandangnya lalu kembali dialihkan padaku. "Kau ... mari kita bicara," ucap pria itu kemudian. Ucapan yang terdengar singkat itu tampak biasa saja, tapi merasakan sesuatu yang mematikan di baliknya.

Bersambung ...

Chapter 3 Tidak baik-baik saja

Pria yang bernama Marco itu lalu membantuku melepaskan semua tali yang mengikatku sehingga akhirnya aku bisa terbebas.

"Bangunlah, dan mari kita bicara!" seru Marco yang setelah itu duduk di sebuah kursi yang berada di samping meja tempatku diikat tadi.

Perlahan aku bangkit dari posisiku, lalu turun dari meja dengan keadaan lemas dan berdiri di samping pria yang sudah siap untuk berbicara padaku itu.

"Duduk di sana!" serunya sembari menunjuk kursi yang berseberangan dengannya.

Aku menoleh pada Berry, pria yang hampir saja membunuhku tadi. Aku melihat padanya, karena takut orang itu akan menyakitiku lagi.

Benar saja, dia tampak seperti tengah bersiap untuk melakukan hal mengerikan jika dilihat dari bagaimana raut wajah dan matanya yang begitu merah, serta keningnya juga dipenuhi urat-urat yang timbul seakan menunjukkan bahwa dirinya benar-benar murka.

Tapi sepertinya Berry tidak akan melakukan apa-apa sebelum Marco selesai denganku karena pria yang hendak berbicara denganku itu sepertinya memiliki kedudukan yang lebih tinggi darinya. Aku merasa seperti itu karena Berry menurut begitu saja ketika Marco memerintahnya, meski pria itu sudah hampir membunuhku dengan amarahnya.

"Kenapa kau bengong begitu, duduklah! Dia tidak akan melakukan apa pun sebelum aku selesai denganmu," ucap Marco dengan suara yang dingin, tapi sangat mengintimidasi.

"Ba ... Baik,." Akhirnya mulutku bisa berbicara setelah aku yakin Berry tidak akan menyakitiku untuk saat ini, tentunya.

Aku pun melakukan apa yang Marco katakan dengan duduk di sebuah kursi kosong yang menghadap padanya itu.

Setelah aku duduk dengan benar, dia malah diam memperhatikanku, tanpa mengatakan apa pun ia mempelajari dari bawah sampai atasku. Mulutnya sedikit terbuka dengan matanya yang dengan lincah menyelidiki aku. Sungguh aku tidak tahu apa yang sedang ia lihat dariku.

"Berry, kau pergi ke tempat mayat Harison dan awasi terus tempat itu!" seru Marco yang lalu beralih pada pria yang sedang marah itu.

"Baik," jawab Berry dengan sangat berat dan wajahnya masih menunjukkan kemarahan. Ia lalu pergi dengan mengentak-entakkan kakinya sembari berjalan seperti seorang anak kecil yang sedang menunjukkan kemarahan.

Setelah pria menyeramkan itu pergi, tinggallah aku dan Marco seorang diri di ruang bawah tanah yang gelap dengan pencahayaan seadanya.

"Well, anak muda, apakah kau tahu takdir yang sudah menunggumu saat ini?" tanya Marco membuka pembicaraan seriusnya.

Aku menggeleng kecil. Bukan berarti aku tidak tahu, sejujurnya aku sangat yakin bahwa apa pun yang terjadi pada akhirnya akan membawaku pada kematianku.

"Hm, kau pasti berpikir bahwa takdirmu adalah kematian ... Well, itu tidak salah, lagi pula semua orang pasti akan mati ..." ucap Marco yang kemudian mencondongkan badannya padaku dengan pandangannya tetap memandang tajam padaku. "... Hanya saja, yang membedakannya adalah waktu, tiap orang mempunyai waktunya masing-masing untuk bertemu dengan ajal mereka," lanjutnya.

"... Bisa saja mereka memajukannya, atau membiarkannya berjalan dengan semestinya, hanya menunggu kematian itu datang menghampirinya sembari melakukan sesuatu yang bisa ia lakukan sebelum hal itu terjadi," sambungnya.

Aku hanya diam, menunggunya selesai berbicara dan sampai pada intinya dengan apa yang ingin dia bicarakan padaku.

"Well, anak muda, saat ini kau berada di tipe yang mana?" tanyanya dengan sangat serius.

Jelas aku terdiam, pertanyaannya itu membuatku dalam sekejap merenungkannya dengan mendalam karena hal itu entah mengapa langsung mengena pada hati.

"Tak perlu terburu-buru karena aku tidak menerima jawaban mengasal, aku hanya menerima jawaban tegasmu, ketahuilah, aku sangat ahli dalam menilai, jadi jangan coba untuk membodohiku!" Marco memperingatkanku di tengah pikiranku yang sedang kalut memikirkan jawaban yang tepat dari pertanyaan tak terduga itu.

Setelah itu dia terdiam kembali sembari memperhatikanku yang masih belum mengatakan apa-apa ini.

Aku berpikir cukup lama, kira-kira sekitar setengah jam kami diam dalam keheningan. Setelah selama itu akhirnya aku memberanikan diri untuk mulai membuka mulut.

Kuangkat wajahku dan dengan sepenuh keberanianku menatap balik pria berwajah dingin yang bernama Marco itu. "Tuan, jika kukatakan bahwa aku benar-benar tidak tahu, apakah kau akan mempercayainya?" tanyaku untuk memastikan terlebih dahulu.

Marco tampak tak terganggu dengan pertanyaanku itu dan ia malah menyeringai, lalu berkata, "Well, aku percaya ... Tapi kau harus mengatakan sesuatu yang lebih sehingga bisa membuatku terpikirkan sesuatu mengenaimu."

GLEK!

Aku menelan ludah terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Marco. Sungguh melihat orang ini menyeringai itu membuatku merinding.

"Baik tuan, aku akan mengatakan semua yang bisa kukatakan padamu," ucapku.

Marco hanya mengangkat alisnya pertanda bahwa aku bisa mulai melanjutkan perkataanku.

"Aku sebatang kara, aku hidup seorang diri, tak ada yang menungguku pulang di rumah, aku tidak memiliki banyak teman dan keseharianku hanya berangkat bekerja di sebuah mini market pada pagi hari dan pulang saat malam sudah tiba, lalu hanya berada di rumah saat hari libur tiba, hanya itu yang kulakukan selama ini, terkadang aku merasa mati rasa, sampai-sampai aku tidak tahu sebenarnya untuk apa aku masih hidup sampai sekarang karena aku selalu merasa bahwa ada atau tidak adanya aku di dunia ini itu benar-benar tidak ada pengaruhnya, tapi di sisi lain aku sangat takut mati, bisa dikatakan bahwa aku adalah orang yang muak hidup, tapi enggan untuk mati ..." tuturku mencurahkan perasaanku yang tak pernah kucurahkan pada siapa pun sampai sekarang.

"Seorang pecundang penakut sepertiku tidak akan memberikan apa pun bagi siapa pun," pungkasku.

Marco menegakkan posisi duduknya sembari menggosok-gosok kedua telapak tangannya setelah mendengar pemaparanku yang keluar begitu saja dari mulutku yang sebelumnya malah tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun karena saking takutnya.

Jujur saja entah mengapa aku bisa berkata blak-blakan seperti tadi pada pria ini. Dia benar-benar bisa membuatku cukup tenang untuk mengeluarkan apa yang kupikirkan. "Mengapa bisa begitu?" pikirku sembari memperhatikan apa yang akan dilakukan pria itu.

"Well, kalau begitu katakan bagaimana kau bisa berakhir di tempat ini?" tanyanya yang tampaknya itu adalah pertanyaan terakhirnya.

Aku cukup lega, sepertinya apa yang baru saja kupaparkan itu cukup memuaskan baginya sehingga dia tidak memperpanjang hal itu.

Setelah mendengarkan pertanyaan itu, dengan segera aku pun langsung menjelaskan dengan detail mengenai mengapa aku bisa berakhir di rumah ini dan tentu saja mengenai mayat yang bernama Harison itu. Marco tampaknya mengikuti setiap penuturanku dengan seksama sehingga ia hanya diam sambil mengangguk saja selama aku menceritakan semuanya.

"Sudah, hanya itu saja yang kulakukan, aku benar-benar tidak melakukan hal lain selain menumpang menghangatkan diri di dalam rumah yang perapiannya sedang menyala ini," pungkasku di akhir cerita panjangku.

Marco hanya mengangguk sembari memasukkan tangan kanannya pada saku bagian dalam mantelnya. Sungguh aku berharap dia tidak mengeluarkan senjata berbahaya seperti pistol atau pisau, tapi mengingat si pria galak Berry itu tidak segan-segan melakukan hal buruk padaku, aku jadi tidak bisa berpikir bahwa yang akan dikeluarkannya itu bukanlah benda berbahaya.

"Kau tau, benda apa ini?" ucap Marco sembari menunjukkan sebuah lencana padaku.

"I ... Itu!" Aku sungguh terkejut melihat apa yang dikeluarkannya. Mamang itu hanya sebuah lencana, tapi itu bukanlah lencana biasa. Itu adalah lencana sebuah organisasi mafia terbesar di kota ini, Kota Leuwiya.

"Well, melihat reaksimu sepertinya kau tahu apa maksud dari lencana ini," komentar Marco yang sepertinya bisa menebak pikiranku berdasarkan tampang kaget bukan mainku saat melihat benda yang ternyata jauh lebih berbahaya dari hanya sekedar senjata.

"Ka ... Kau anggota organisasi mafia Tigre Nera!" timpalku memperjelas apa yang kupikirkan mengenai logo harimau berwarna hitam yang begitu elegan tapi mematikan itu.

"Well, betul sekali." Marco mengangkat alisnya sembari meletakkan lencana itu di atas meja.

Pandanganku tak lepas dari lencana itu. Aku sungguh tidak menyangka bahwa saat ini aku bisa terlibat dengan organisasi berbahaya macam organisasi mafia Tigre Nera yang menguasai kota Leuwiya ini. Melihatnya saja membuatku langsung terpikir bahwa hari ini aku benar-benar akan mati karena kau berada di suatu situasi yang amat serius.

"Apakah kau menyukainya?" tanya Marco yang membuyarkan lamunanku itu.

Aku lalu menoleh padanya dengan keringat dingin yang kini semakin deras bercucuran di sekujur tubuhku. "A ... Apa?" tanyaku dengan ragu.

"Well, kita mulai saja dari awal ..." timpalnya. "Coba kau katakan apa yang kau tahu mengenai Tigre Nera!" serunya dengan senyum mematikan kini terpajang lagi di wajahnya.

Bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!