Chapter 3 Tidak baik-baik saja

Pria yang bernama Marco itu lalu membantuku melepaskan semua tali yang mengikatku sehingga akhirnya aku bisa terbebas.

"Bangunlah, dan mari kita bicara!" seru Marco yang setelah itu duduk di sebuah kursi yang berada di samping meja tempatku diikat tadi.

Perlahan aku bangkit dari posisiku, lalu turun dari meja dengan keadaan lemas dan berdiri di samping pria yang sudah siap untuk berbicara padaku itu.

"Duduk di sana!" serunya sembari menunjuk kursi yang berseberangan dengannya.

Aku menoleh pada Berry, pria yang hampir saja membunuhku tadi. Aku melihat padanya, karena takut orang itu akan menyakitiku lagi.

Benar saja, dia tampak seperti tengah bersiap untuk melakukan hal mengerikan jika dilihat dari bagaimana raut wajah dan matanya yang begitu merah, serta keningnya juga dipenuhi urat-urat yang timbul seakan menunjukkan bahwa dirinya benar-benar murka.

Tapi sepertinya Berry tidak akan melakukan apa-apa sebelum Marco selesai denganku karena pria yang hendak berbicara denganku itu sepertinya memiliki kedudukan yang lebih tinggi darinya. Aku merasa seperti itu karena Berry menurut begitu saja ketika Marco memerintahnya, meski pria itu sudah hampir membunuhku dengan amarahnya.

"Kenapa kau bengong begitu, duduklah! Dia tidak akan melakukan apa pun sebelum aku selesai denganmu," ucap Marco dengan suara yang dingin, tapi sangat mengintimidasi.

"Ba ... Baik,." Akhirnya mulutku bisa berbicara setelah aku yakin Berry tidak akan menyakitiku untuk saat ini, tentunya.

Aku pun melakukan apa yang Marco katakan dengan duduk di sebuah kursi kosong yang menghadap padanya itu.

Setelah aku duduk dengan benar, dia malah diam memperhatikanku, tanpa mengatakan apa pun ia mempelajari dari bawah sampai atasku. Mulutnya sedikit terbuka dengan matanya yang dengan lincah menyelidiki aku. Sungguh aku tidak tahu apa yang sedang ia lihat dariku.

"Berry, kau pergi ke tempat mayat Harison dan awasi terus tempat itu!" seru Marco yang lalu beralih pada pria yang sedang marah itu.

"Baik," jawab Berry dengan sangat berat dan wajahnya masih menunjukkan kemarahan. Ia lalu pergi dengan mengentak-entakkan kakinya sembari berjalan seperti seorang anak kecil yang sedang menunjukkan kemarahan.

Setelah pria menyeramkan itu pergi, tinggallah aku dan Marco seorang diri di ruang bawah tanah yang gelap dengan pencahayaan seadanya.

"Well, anak muda, apakah kau tahu takdir yang sudah menunggumu saat ini?" tanya Marco membuka pembicaraan seriusnya.

Aku menggeleng kecil. Bukan berarti aku tidak tahu, sejujurnya aku sangat yakin bahwa apa pun yang terjadi pada akhirnya akan membawaku pada kematianku.

"Hm, kau pasti berpikir bahwa takdirmu adalah kematian ... Well, itu tidak salah, lagi pula semua orang pasti akan mati ..." ucap Marco yang kemudian mencondongkan badannya padaku dengan pandangannya tetap memandang tajam padaku. "... Hanya saja, yang membedakannya adalah waktu, tiap orang mempunyai waktunya masing-masing untuk bertemu dengan ajal mereka," lanjutnya.

"... Bisa saja mereka memajukannya, atau membiarkannya berjalan dengan semestinya, hanya menunggu kematian itu datang menghampirinya sembari melakukan sesuatu yang bisa ia lakukan sebelum hal itu terjadi," sambungnya.

Aku hanya diam, menunggunya selesai berbicara dan sampai pada intinya dengan apa yang ingin dia bicarakan padaku.

"Well, anak muda, saat ini kau berada di tipe yang mana?" tanyanya dengan sangat serius.

Jelas aku terdiam, pertanyaannya itu membuatku dalam sekejap merenungkannya dengan mendalam karena hal itu entah mengapa langsung mengena pada hati.

"Tak perlu terburu-buru karena aku tidak menerima jawaban mengasal, aku hanya menerima jawaban tegasmu, ketahuilah, aku sangat ahli dalam menilai, jadi jangan coba untuk membodohiku!" Marco memperingatkanku di tengah pikiranku yang sedang kalut memikirkan jawaban yang tepat dari pertanyaan tak terduga itu.

Setelah itu dia terdiam kembali sembari memperhatikanku yang masih belum mengatakan apa-apa ini.

Aku berpikir cukup lama, kira-kira sekitar setengah jam kami diam dalam keheningan. Setelah selama itu akhirnya aku memberanikan diri untuk mulai membuka mulut.

Kuangkat wajahku dan dengan sepenuh keberanianku menatap balik pria berwajah dingin yang bernama Marco itu. "Tuan, jika kukatakan bahwa aku benar-benar tidak tahu, apakah kau akan mempercayainya?" tanyaku untuk memastikan terlebih dahulu.

Marco tampak tak terganggu dengan pertanyaanku itu dan ia malah menyeringai, lalu berkata, "Well, aku percaya ... Tapi kau harus mengatakan sesuatu yang lebih sehingga bisa membuatku terpikirkan sesuatu mengenaimu."

GLEK!

Aku menelan ludah terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Marco. Sungguh melihat orang ini menyeringai itu membuatku merinding.

"Baik tuan, aku akan mengatakan semua yang bisa kukatakan padamu," ucapku.

Marco hanya mengangkat alisnya pertanda bahwa aku bisa mulai melanjutkan perkataanku.

"Aku sebatang kara, aku hidup seorang diri, tak ada yang menungguku pulang di rumah, aku tidak memiliki banyak teman dan keseharianku hanya berangkat bekerja di sebuah mini market pada pagi hari dan pulang saat malam sudah tiba, lalu hanya berada di rumah saat hari libur tiba, hanya itu yang kulakukan selama ini, terkadang aku merasa mati rasa, sampai-sampai aku tidak tahu sebenarnya untuk apa aku masih hidup sampai sekarang karena aku selalu merasa bahwa ada atau tidak adanya aku di dunia ini itu benar-benar tidak ada pengaruhnya, tapi di sisi lain aku sangat takut mati, bisa dikatakan bahwa aku adalah orang yang muak hidup, tapi enggan untuk mati ..." tuturku mencurahkan perasaanku yang tak pernah kucurahkan pada siapa pun sampai sekarang.

"Seorang pecundang penakut sepertiku tidak akan memberikan apa pun bagi siapa pun," pungkasku.

Marco menegakkan posisi duduknya sembari menggosok-gosok kedua telapak tangannya setelah mendengar pemaparanku yang keluar begitu saja dari mulutku yang sebelumnya malah tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun karena saking takutnya.

Jujur saja entah mengapa aku bisa berkata blak-blakan seperti tadi pada pria ini. Dia benar-benar bisa membuatku cukup tenang untuk mengeluarkan apa yang kupikirkan. "Mengapa bisa begitu?" pikirku sembari memperhatikan apa yang akan dilakukan pria itu.

"Well, kalau begitu katakan bagaimana kau bisa berakhir di tempat ini?" tanyanya yang tampaknya itu adalah pertanyaan terakhirnya.

Aku cukup lega, sepertinya apa yang baru saja kupaparkan itu cukup memuaskan baginya sehingga dia tidak memperpanjang hal itu.

Setelah mendengarkan pertanyaan itu, dengan segera aku pun langsung menjelaskan dengan detail mengenai mengapa aku bisa berakhir di rumah ini dan tentu saja mengenai mayat yang bernama Harison itu. Marco tampaknya mengikuti setiap penuturanku dengan seksama sehingga ia hanya diam sambil mengangguk saja selama aku menceritakan semuanya.

"Sudah, hanya itu saja yang kulakukan, aku benar-benar tidak melakukan hal lain selain menumpang menghangatkan diri di dalam rumah yang perapiannya sedang menyala ini," pungkasku di akhir cerita panjangku.

Marco hanya mengangguk sembari memasukkan tangan kanannya pada saku bagian dalam mantelnya. Sungguh aku berharap dia tidak mengeluarkan senjata berbahaya seperti pistol atau pisau, tapi mengingat si pria galak Berry itu tidak segan-segan melakukan hal buruk padaku, aku jadi tidak bisa berpikir bahwa yang akan dikeluarkannya itu bukanlah benda berbahaya.

"Kau tau, benda apa ini?" ucap Marco sembari menunjukkan sebuah lencana padaku.

"I ... Itu!" Aku sungguh terkejut melihat apa yang dikeluarkannya. Mamang itu hanya sebuah lencana, tapi itu bukanlah lencana biasa. Itu adalah lencana sebuah organisasi mafia terbesar di kota ini, Kota Leuwiya.

"Well, melihat reaksimu sepertinya kau tahu apa maksud dari lencana ini," komentar Marco yang sepertinya bisa menebak pikiranku berdasarkan tampang kaget bukan mainku saat melihat benda yang ternyata jauh lebih berbahaya dari hanya sekedar senjata.

"Ka ... Kau anggota organisasi mafia Tigre Nera!" timpalku memperjelas apa yang kupikirkan mengenai logo harimau berwarna hitam yang begitu elegan tapi mematikan itu.

"Well, betul sekali." Marco mengangkat alisnya sembari meletakkan lencana itu di atas meja.

Pandanganku tak lepas dari lencana itu. Aku sungguh tidak menyangka bahwa saat ini aku bisa terlibat dengan organisasi berbahaya macam organisasi mafia Tigre Nera yang menguasai kota Leuwiya ini. Melihatnya saja membuatku langsung terpikir bahwa hari ini aku benar-benar akan mati karena kau berada di suatu situasi yang amat serius.

"Apakah kau menyukainya?" tanya Marco yang membuyarkan lamunanku itu.

Aku lalu menoleh padanya dengan keringat dingin yang kini semakin deras bercucuran di sekujur tubuhku. "A ... Apa?" tanyaku dengan ragu.

"Well, kita mulai saja dari awal ..." timpalnya. "Coba kau katakan apa yang kau tahu mengenai Tigre Nera!" serunya dengan senyum mematikan kini terpajang lagi di wajahnya.

Bersambung ...

Terpopuler

Comments

🥑⃟Serina

🥑⃟Serina

Wah wahh difitnah kah?

2023-07-23

1

Radiah Ayarin

Radiah Ayarin

Marco

2023-07-16

2

Radiah Ayarin

Radiah Ayarin

ya itu memang benar

2023-07-16

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!