Hari Pertama Sekolah

Chloe berdiri sendirian di lorong yang ramai, menyaksikan siswa lain bergegas melewatinya, mengobrol dan tertawa bersama teman-teman mereka. Dia merasa tidak terlihat, seperti sedang berdiri di lipatan kehidupan, menyaksikan semua orang menjalani hidup mereka masing-masing. Bukan karena Chloe tidak punya teman—dia punya Emma, Mia dan Sarah—tetapi mereka semua social butterfly yang juga bergaul dengan teman-teman lain di jam istirahat seperti saat ini.

Sekelompok gadis terkikik saat mereka melewati Chloe, melirik sekilas ke arahnya. Chloe tahu mereka tidak menertawakannya, tapi sikap mereka tetap membuatnya merasa kecil dan tidak penting. Dia menghela nafas dan bersandar di lokernya, berharap dia bisa menjadi salah satu dari gadis-gadis itu—percaya diri, riang, dan social butterfly.

Chloe menghela napas dan bersandar di lokernya, memejamkan mata dan berharap dia bisa menghilang. Tapi saat dia akan menyerah dan menuju ke kelas, dia mendengar suara yang familiar memanggilnya.

"Hei, Chloe! Tunggu!"

Chloe menoleh untuk melihat Tyler, kakak tingkat sekaligus sahabatnya, berlari ke arahnya dengan senyum lebar di wajah. Tyler selalu penuh energi, dan itu selalu berhasil menularinya. Tapi Chloe saat ini sedang tidak ingin berbasa-basi, maka dia hanya bisa tersenyum kembali.

"Ada apa, Kak?" Chloe bertanya, saat Tyler meluncur dan berhenti tepat di depannya.

Pipi Tyler memerah, dan rambutnya sedikit kusut karena latihan basket. Namun, mata Tyler tetap berbinar-binar seperti tidak pernah kelelahan sedikit pun sepanjang usianya. "Hanya ingin menyapa dan melihat bagaimana kabarmu. Ini kan hari pertama sekolah…."

“Tapi kemarin….” Tukas Chloe ingin memprotes kata-kata Tyler tapi cowok itu kembali meneruskan perkataannya.

“Maksudku, hari pertama sekolah sungguhan. Kemarin hanya proses penyambutan dan pengenalan lingkungan sekolah.” 

Yah… seperti biasa, selalu sendirian saat jam istirahat, jawab Chloe dalam hati, tapi bibirnya menjawab, ". Hanya mencoba melewati hari," sambil mengangkat bahu.

Tyler mengangguk simpatik melihat wajah murung Chloe. "Aku paham. Dulu saat masih kelas X, aku pun merasa sendirian. Tapi kamu tahu apa yang selalu membuatku merasa lebih baik?"

Chloe mengangkat alis. "Apa itu?"

"Main basket!" seru Tyler, melompat-lompat di atas kakinya. "Tapi aku tahu kamu tidak suka main basket. Jadi, bagaimana kalau kamu datang menontonku bermain hari ini sepulang sekolah? Aku janji akan menyenangkan." Tyler menyeringai lebar.

Chloe menggelengkan kepalanya. "Aku tidak terlalu suka basket, Tyler."

Tyler cemberut. "Ayolah, Chloe. Kamu belum pernah melihatku bermain sebelumnya. Setelah itu, kita bisa makan camilan di kantin dan jalan-jalan…" Tyler berhenti sejenak. “Kamu tahu nggak, kantin sekolah kita menyediakan makanan dari berbagai belahan dunia. Tiga tahun tidak cukup rasanya mencoba semua.” Tyler berusaha keras membujuk Chloe.

Chloe menghela napas. Dia lebih menyukai buku, tetapi di sudut terkecil dalam batinnya, Chloe tidak ingin mengecewakan Tyler.

"Baiklah, aku akan datang," kata Chloe sambil tersenyum kecil.

Chloe merasakan sepercik kegembiraan di dadanya. Dia mungkin tidak suka basket, tapi menghabiskan waktu bersama Tyler bisa jadi menceriakan suasana hatinya.

"Tentu," sambung Chloe sambil mengangguk. "Aku akan datang menonton."

“Benarkah?” kata Tyler takjub tidak memercayai pendengarannya. Matanya kembali berbinar-binar lebih cerah dibandingkan sebelumnya. "Aku berjanji kamu tidak akan menyesalinya," ucap Tyler penuh semangat. 

Sore harinya, usai kelas praktikum kimia, Chloe keluar dari ruang laboratorium kimia bersama Mia. Sesungguhnya Chloe lupa kalau sore ini dia berjanji menonton pertandingan Tyler. Chloe malahan membuat janji dengan sahabat-sahabatnya, untuk menonton film di bisokop sekolah. Tapi ketika dilihatnya Tyler sudah berdiri bersandar di pintu laboratorium, seketika Chloe ingat janjinya. Dia berbisik pada Mia meminta maaf tidak bisa ikut menonton dan akan pergi lain kali. Walaupun Mia tidak mengerti, tapi dia menurut saja. Dia pergi ke laboratorium biologi untuk menjemput Sarah dan Emma sambil sesekali melirik jail ke arah Chloe, membuat Chloe tersipu-sipu malu. 

“Hai, Chloe,” sapa Tyler.

“Oh hai juga,” balas Chloe canggung. “Aku menaruh buku-bukuku di loker asrama dulu.”

Tyler mengangguk mengerti. Saat mereka berjalan menyusuri lorong bersama menuju asrama, Tyler mengoceh tentang pertandingan basket terbaru dan Chloe mendengarkan setengah-setengah. Chloe lebih berfokus menenangkan dirinya sendiri yang terlalu senang berjalan bersama Tyler walaupun itu hanya berjalan di lorong sekolah. Chloe merasakan harapan muncul di dalam dirinya. Mungkin, mungkin saja, hari ini adalah hari di mana dia akhirnya menemukan tempatnya di dunia.

Stadion basket tampak lengang. Hanya anak-anak ekskul basket saja yang ada di sana dan beberapa cewek-cewek duduk manis di podium. Mungkin mereka kekasih dari anggota tim basket. Tim Tyler sedang melakukan pemanasan, dan Chloe memperhatikan saat mereka menjalankan latihan, melatih dribble dan shoot, dan mengobrol satu sama lain dengan penuh semangat. Canda tawa mereka memenuhi ruangan.

Diam-diam Chloe merasa iri. Dia berharap bisa merasakan hasrat semacam itu untuk sesuatu, apa saja. Tapi dia tidak pernah menemukan satu hal yang membuat hatinya berdendang ria, kecuali belajar. Sialnya, belajar menjadi bumerang dalam kehidupan sosialnya. Dia menjadi makhluk aneh dan asing

Tyler melihat dan melambai, memberi isyarat agar dia turun ke lapangan. Chloe ragu-ragu sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam dan mulai turun dari bangku penonton. Saat dia semakin dekat ke lapangan, dia bisa merasakan energi permainan membanjiri dirinya. Gemuruh bola yang menghantam lapangan dan derit sepatu kets. Semuanya begitu luar biasa.

“Ayo, aku kenalkan kepada teman-temanku," kata Tyler, menuntun Chloe ke arah rekan satu timnya. "Ini Chloe, sahabatku. Dia ada di sini untuk menyemangati kita."

Chloe merasakan gelombang rasa malu menyelimuti dirinya saat para cowok kakak kelas itu menyapanya. Mereka semua tampak gagah dan percaya diri, seolah-olah mereka berasal dari dunia yang berbeda dari dirinya.

Tapi dengan Tyler ada di sisinya, Chloe merasa tidak terlalu sendirian. Setelah berbasa-basi sejenak—Tyler yang berbasa-basi, Chloe cuma tersenyum ke kanan dan kiri—Chloe kembali ke tempat duduk penonton. Tak lama kemudian, pertandingan pun dimulai. 

Tyler adalah pemain inti, dan Chloe tidak bisa menahan bangga saat dia melihat Tyler bermain. Dia bergerak dengan anggun dan presisi, menggiring bola ke bawah lapangan, melewati pemain lain, dan akhirnya melontarkan bola ke arah ring dengan hasil sempurna.

Laga berjalan sengit, kedua tim menampilkan permainan terbaiknya. Tim Tyler unggul dua poin, dan Chloe mendapati dirinya bersorak bersama penonton—gadis-gadis pasangan tim basket, terjebak dalam kegembiraan permainan.

Tim Tyler menang. Para gadis sorak-sorai dan tepuk tangan, dan Chloe mendapati dirinya ikut-ikutan bertepuk tangan dan bersorak-sorai bersama semua orang.

Tyler berlari ke Chloe, berkeringat dan terengah-engah, seringai lebar di wajahnya. "Kami menang!" katanya terengah-engah.

Chloe tertawa. "Ya! Hebat" sambil bertepuk tangan penuh semangat.

Tyler berseri-seri. "Terima kasih, Chloe. Aku senang sekali kau datang."

Chloe balas tersenyum, merasakan kehangatan menyebar di dadanya. Mungkin dia tidak menyukai basket, tetapi dia menyukai Tyler, dan dia senang berada di sana untuk mendukungnya. Dan siapa tahu, mungkin dia bahkan lebih menghargai olahraga setelah melihat Tyler main basket.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!