Chloe memegang gagang pintu putar. Gagangnya terbuat dari emas dilapisi kulit lembut, dengan permukaan yang terasa halus di tangan Chloe. Perpaduan warna emas dan cokelat gelap kulit lembu asli membuat gagang pintu itu menawan.
Pintunya sendiri terbuat dari kaca tempered berkualitas tinggi. Di tengah-tengahnya ada mozaik lambang sekolah yang dipatri dengan sangat detil dan teliti, sehingga lebih pantas disebut karya seni ketimbang sekadar pintu. Cahaya matahari pagi yang menyinarinya memantulkan kembali mozaik lambang sekolah itu di lantai putih marmer lobi.
Lambang SMU Arcadia berupa lingkaran yang disusun dari lempengan-lempengan kaca segitiga warna-warni. Bagian tengahnya ada sebatang pohon rimbun dengan bagian akarnya bercokol pada tumpukan buku-buku berwarna cokelat—gradasi dari warna cokelat paling pudar sampai warna cokelat tergelap. Kemudian di atas pohon ada pita melengkung merah bertuliskan semboyan sekolah dalam huruf berliuk-liuk—dan ini semua disusun dengan kaca putih seputih susu—yakni: Fortitudo per Cognitio, Strength through Knowledge.
Kekuatan melalui pengetahuan, Chloe membatin, lalu tersenyum. Benar-benar sekolah yang sangat cocok untuk dirinya. Hobinya adalah belajar. Juara kelas adalah kelebihannya. Kenapa sekolah ini tidak membuka jenjang pendidikan sejak TK? Atau setidaknya mulai SD agar anak-anak seperti aku tidak terasingkan? Batin Chloe lagi. Dengan senyum cerah dan hati bungah dia mendorong gagang pintu putar.
Gerakan putar pintunya begitu mulus dan sempurna, seperti terbang di atas air. Pintu putar ini menambahkan sentuhan yang begitu indah dan glamor pada bangunan tempatnya berada. Mungkin sengaja diciptakan guna menjadi daya tarik utama saat orang-orang memasuki gedung sekolah ini. Seperti pengalaman yang tidak dapat terlupakan, pintu putar ini adalah sebuah karya seni yang mempesona dan membuat orang berdecak kagum setiap kali melewatinya.
Chloe melangkahkan kakinya ke lantai marmer putih lobi sekolah. Bahkan lantai marmer lobi sekolah ini pun benar-benar diperhitungan sisi estetikanya. Lantainya sekilas memang tampak hanya marmer putih biasa dengan rambut-rambut keabu-abuan khas marmer tapi lantai itu bisa memanttulkan dengan sempurna cahaya matahari yang menerobos hiasa kaca patri pada pintu sehingga lambang sekolah dengan jelas terpampang di lantai.
Ketika Chloe melangkahkan kakinya makin masuk ke dalam lobi, dia baru menyadari kalau dia seperti berjalan di red carpet sebuah ajang penerimaan penghargaan dengan lampu sorot yang mengiringi langkahnya.
Dia mendongak dan menemukan bahwa lampu sorot yang menyertai langkah kakinya itu berasal dari lingkaran-lingkaran kaca mozaik jauh di atas sana, hampir menyentuh langit-langit gedung. Chloe memandang takjub lobi gedung sekolahnya. Lobi ini begitu indah, mewah, dan megah. Dari desain interiornya yang elegan, hingga cahaya alami yang masuk melalui jendela yang besar, semuanya menciptakan suasana yang hangat dan menenangkan. Dinding lobi dihiasi dengan lukisan lambang sekolah. Bukan sekadar poster, tetapi lukisan cat minyak berukuran besar. Sungguh sebuah lambang sekolah bisa menjadi karya seni indah nan artistik.
Kalau lobinya saja seindah ini, tentu ruang kelas dan asramanya akan jauh lebih indah lagi, ujar Chloe dalam hati berdecak kagum.
Di hadapannya ada meja resepsionis panjang dari marmer orange pucat yang indah dilengkapi dengan sebuah vas bunga berisi rangkaian bunga lili putih, merah muda dan kuning. Vas itu berbentuk silender dari bahan kaca tebal transparan sehingga menampilkan air bening dan batang-batang ramping kehijauan bunga lili, memberikan sentuhan alami pada lobi mewah ini.
Lima orang wanita berblazer merah jambu dengan rambut dicepol tampak sibuk dengan tugas masing-masing. Dua orang wanita di bagian belakang tengah sibuk mengetikkan sesuatu di komputer, sementara tiga rekannya melayani para siswa baru yang hendak mengambil kartu akses yang akan digunakan selama bersekolah di sini.
Chloe masuk dalam antrean itu. Dia menoleh ke sisi kanan. Ada serombongan kakak tingkat yang berduyun-duyun menaiki tangga yang mengarah ke lantai atas. Tangga itu dilengkapi dengan lampu gantung yang cantik, sesuai dengan kesan glamor sekolahan ini.
“Chloe Herventia,” kata Chloe kepada petugas resepsionis yang menanyakan namanya ketika antrean akhirnya membawanya ke depan petugas itu. Dengan cekatan, petugas resepsionis itu memberikan kartu akses dan memintanya berjalan ke arah kanan, menaiki tangga.
Tadinya Chloe menuruti petugas itu dengan berjalan ke arah tangga, tapi ketika menoleh ke kiri, dia melihat tulisan ‘lift’.
“Kalau ada lift, kenapa semua orang memilih melalui tangga?” bisik Chloe kepada dirinya sendiri sambil memutar kakinya menuju ke arah kiri. Dia berdiri di depan pintu lift. Tanda di atas pintu lift menunjukkan panah ke atas dan angka 7. Itu artinya, lift sedang menuju ke sana. Chloe hendak memencet tombol panah turun ketiba tiba-tiba sebuah tangan mencegahnya,
“Jangan! Itu lift ke perpustakaan.”
Chloe menoleh ke arah suara itu. Seorang cowok berambut ikal, berkacamata, berbadan tegap dan tinggi, sedang berdiri di sampingnya dan menatapnya.
“Oh… eh…” Chloe gugup.
Cowok itu menunduk, melihat lanyard di leher Chloe berwarna merah. Dan cowok itu mengangguk mengerti dan lanjut berkata, “Kamu siswa baru ya? Kalau tidak salah, siswa baru diminta berkumpul di aula. Itu tepat di atas lantai ini. Kamu cukup naik tangga di sana,” Cowok itu menunjuk ke arah tangga berukir yang tadi juga ditunjukkan resepsionis pada Chloe.
“Oh… iya. Tadi resepsionis di depan juga sudah bilang begitu. Aku saja yang sok tahu,” Chloe tersipu-sipu malu.
“Kalau begitu, ayo aku antarkan ke aula. Kebetulan aku juga akan ke arah sana,” kata cowok itu dengan nada riang. “Oiya, namaku Tyler.” Cowok itu mengulurkan tangannya.
Chloe menyambut uluran tangan itu dengan malu-malu, “Aku Chloe kelas X-1.”
“Wow… kelas 1?” Cowok itu berdecak kagum tapi Chloe yang tidak mengerti maksud cowok itu hanya membalas dengan kernyitan dahi.
“Kelas 1 itu untuk anak-anak dengan nilai rapor SMP dan nilai tes masuk paling tinggi. Nanti di kelas XI, kalau kamu masuk kelas 1, itu artinya nilaimu terbaik seangkatan, begitu juga dengan kelas XII.”
Chloe manggut-manggut. Di sekolahnya dulu, guru memutuskan siswa mana di kelas satu atau kelas 5, berdasarkan undian. Tidak ada sistem peringkat macam itu.
“Kalau kamu…” Chloe berhenti sejenak begitu melihat lanyard biru di leher cowok itu, “Maaf, maksudku, Kakak kelas berapa?”
“Aku kelas XI-3, kelas paling akhir,” Tyler menggaruk-garuk kepalanya. “Bodoh ya.”
“Ah… tidak. Pelajaran kelas XI kan sulit. Aku juga belum tahu kedepannya aku masih bisa di kelas 1 atau tidak,” ujar Chloe simpatik.
“Hei Tyler. Katanya cuma mengecek panel surya, kok lama banget. Aku tunggu-tunggu dari tadi. Itu anak-anak baru sudah berkumpul,” seru seorang cowok bertubuh pendek dan gempal.
“Iya, aku jalan-jalan sebentar tadi.”
Chloe tidak mengerti apa yang dibicarakan dua cowok itu tapi dia diam saja. Nanti juga akan diberitahu saat seminar untuk siswa baru, batin Chloe.
Tyler menoleh ke arahnya dan berkata, “Aula tinggal jalan ke kiri terus saja. Kelihatan jelas kok.”
Chloe mengangguk-angguk. Setelah berpamitan dengan Tyler dan si cowok gempal, Chloe berjalan menuju aula.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments