Chloe berdiri terpaku di depan pintu kayu mahoni besar dan kokoh di hadapannya. Apa yang aku jumpai nanti di dalam? Apakah kakak tingkatku baik seperti Tyler? Apa teman-temanku akan menerimaku dengan baik? Apakah aku akan diolok-olok lagi seperti dulu? Apa aku hanya akan dianggap cewek ambisius? Apa aku bisa mengikuti pelajaran di sini? Bagaimana kalau aku gagal? Apakah aku….
“Hai! Ayo masuk sama-sama,” seorang cewek pendek gemuk menepuk pundak Chloe. “Namaku Anka, Bianka,” sahut gadis itu semringah. Kata-kata yang keluar dari bibir tipis Bianka seperti melompat-lompat riang gembira di padang bunga-bunga.
Nada ceria gadis itu menulari Chloe. Kegugupan dan kekhawatirannya pelan-pelan menyusut. “Namaku Chloe, kelas X-1.”
“Wah ternyata kita sekelas!” pekik Anka antusias dan disambut senyuman Chloe. Keduanya lalu berjalan beriringan masuk ke aula. Begitu keduanya membuka pintu, gadis-gadis itu terpana.
Chloe hampir berbalik arah mengira dia salah masuk ruangan. Aula ini lebih pantas disebut aula hotel ketimbang aula sekolah. Tapi, kemewahan telah menyerbu sejak dirinya memasuki gerbang sekolah. Jadi, Chloe sepenuhnya yakin aula ini aula sekolah barunya, dan kemewahan di hadapannya kini hanyalah setitik kecil dari kemewahan-kemewahan lain yang akan dijumpainya nanti.
Aula itu luas dan lapang sekali. Karpet beledu biru terhampar di tengah-tengah ruang. Sebaris marmer hitam legam dengan rambut-rambut keemasan, berjajar di tepi tembok membingkai permadani beledu itu.
Chloe mendongak. Lagi-lagi dia melihat lampu-lampu kristal bercahaya kuning terang menyinari ruangan. Rupanya pemilik sekolah ini penggemar lampu kristal. Kalau di lobby tadi lampu kristal model panjang menjuntai di sisi tangga, lampu kristal di sini berupa kelompok-kelompok kecil yang tersebar di penjuru ruangan. Sinar kuning memantul melalui mangkuk-mangkuk mungil dan mengeluarkan cahaya berpendar-pendar berwarna-warni.
Perhatian Chloe akan keindahan aula ini teralihkan dengan genggaman tangan Anka yang setengah menarik tangannya menuju ke kelompok kelas mereka. Chloe melihat ada layar LCD yang bertuliskan kelas X-1 dan sekelompok anak tampak telah berbaris di depan layar itu.
Chloe dan Anka pun bergegas bergabung dengan teman-teman sekelas mereka. Semua ada 40 siswa, 20 siswa perempuan dan 20 siswa laki-laki. Ada tiga kelas di sini. Itu artinya kelas X ada 120 siswa. Ah, salah. Bukan ada. Tapi hanya. Hanya 120 siswa. Hanya 120 siswa terpandai di negeri ini, batin Chloe. Kebanggaan merekah dalam dadanya sebab ini untuk pertama kali dalam hidupnya dia merasa tidak apa-apa menjadi pintar, tidak apa-apa menjadi ambisius, tidak apa-apa menjadi kutu buku, dan tidak apa-apa kalau yang kamu tahu cuma pelajaran sekolah.
Teng… teng… teng… terdengar suara lonceng. Chloe celingak-celinguk mencari arah suara itu. Tredengar seperti lonceng sungguhan dan bukan rekaman.
“Murid-murid kelas sepuluh, harap berbaris. Buat dua barisan. Kiri untuk perempuan dan kanan untuk laki-laki.” Terdengar suara seseorang memberi aba-aba di depan. Chloe seperti pernah mendengar suara itu. Dia pun berjinjit melihat ke depan untuk memastikan pendengarannya. Ternyata benar. Itu Kak Tyler. Tanpa sadar Chloe tersenyum.
“Kamu kenal, Chloe?” bisik Anka melihat teman barunya itu tersenyum.
“Iya. Tadi kami berkenalan di lobi.”
“Oh…” Anka manggut-manggut. Mereka berhenti mengobrol ketika melihat Tyler kembali ke sisi panggung seperti hendak mengumumkan sesuatu.
“Sebentar lagi upacara penyambutan siswa baru akan dimulai. Para siswa diharap tenang,” suara bass Tyler bergema di seluruh aula. Para siswa yang sedari tadi masih berbincang-bincang mendadak diam. Tak berapa lama kemudian, lagu mars sekolah berkumandang sangat merdu.
Chloe mencari arah suara merdu itu dan baru menemukannya saat tirai di sisi kiri pelan-pelan terbuka. Tirai biru tua itu pelan-pelan terbuka dan menampilkan lantai dua yang agak menjorok ke tengah membentuk podium. Di sana, sekelompok besar paduan suara bernyanyi dengan lantang. Di sisi kiri tampak piano kuno yang seolah-olah berbunyi sendiri sebab sang pianis, seorang cewek, sangat mungil sampai-sampai sosoknya tersembunyi di balik tingkap piano.
Di barisan depan, para pemusik berderet-deret tampak berfokus pada alat musik. Biola, cello, kontrabas, trompet, klarinet, dan saxophone membentuk satu kesatuan harmoni.
Kelompok orkestra itu terdiri dari para musisi berbakat dari kelas XI dan kelas XII, juga para guru dan staf. Mereka bergabung bersama dalam sebuah kelompok orchestra sekolah. Khusus untuk acara penyambutan siswa baru ini, mereka telah berlatih selama berhari-hari secara khusus di luar jadwal latihan rutin.
Ketika kain biru yang menutupi panggung dinaikkan, musik mengalun memenuhi ruangan konser. Dengan tatapan fokus, para musisi menampilkan kelebihan mereka yang memukau. Setiap not dimainkan dengan penuh semangat. Himne sekolah mengalir lembut, menyentuh hati para siswa baru. Keharuan terselip dalam dada dan membuat mereka terbuai dalam alunan harmoni yang tak terlupakan.
‘Dalam ilmu dan cipta, terus maju dan berdaya. Tak kenal lelah dan henti, mengukir jejak abadi’ pelan-pelan Chloe ikut melantunkan chorus himne sekolahnya. Rupanya para siswa yang lain pun juga berlaku sama. Lamat-lamat terdengar suara para siswa baru ikut bernyanyi.
Setelah acara menyanyikan lagu himne sekolah usai, seorang laki-laki kurus memakai jas hitam sangat formal naik ke panggung. Dia berdiri tegap di depan podium dan berkata-kata dengan tegas dan berwibawa,
“Selamat pagi, para siswa semua. Saya, Tobias Greer, kepala sekolah SMU Arcadia, mengucapkan selamat datang kepada para siswa kelas sepuluh. Selamat kalian telah terpilih dari ribuan siswa SMP untuk melanjutkan sekolah di sini. Selamat datang!” seru Pak Tobias disambut tepuk tangan para siswa.
Selanjutnya, seperti layaknya pidato kepala sekolah di setiap tahun ajaran baru, Pak Tobias juga memotivasi siswa agar terus belajar. Kepala Sekolah menekankan pentingnya etos kerja keras, disiplin, kejujuran dan sikap rendah hati agar meraih sukses. Tak hanya untuk para siswa, Kepala Sekolah juga memberikan arahan kepada para guru agar selalu mendukung para siswa dalam belajar baik di kelas maupun di asrama sambil tidak melupakan membina karakter yang baik.
Pidato ditutup dengan meriakkan semboyan Arcadia, Fortitudo per Cognitio, dengan penuh semangat.
Dan akhirnya, pidato panjang ini baru sungguh-sungguh berakhir dengan tepuk tangan meriah para siswa baru, yang entah termotivasi oleh pidato Pak Kepala Sekolah, atau penasaran akan gedung sekolahnya.
Setelah pidato Kepala Sekolah dilanjutan dengan perkenalan para guru. Semua guru satu per satu naik ke atas panggung mengenalkan diri dan pelajaran yang diampu. Setelah semua guru mengenalkan diri, tirai panggung bergerak ke atas, dan menampilakan barisan siswa kelas XI dan kelas XII. Mereka bertepuk tangan meriah menyambut kehadiran adik kelas mereka.
Selanjutnya, mereka sekali lagi bernyanyi bersama-sama menyanyikan lagu himne sekolah. Kali ini dengan aransemen yang lebih ceria dan diiringi tepuk tangan mereiah. Begitu lagu itu usai, maka usailah acara penyambutan siswa baru yang meriah, ceria dan gembira. Para siswa kelas X akan memasuki dunia Arcadia yang sebenarnya; tempat tangisan akan lebih sering terdengar ketimbang canda tawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments