"Tolonglah Amanda pikirkan semua ini. Kemarin aku bersikap seperti itu karena aku takut akan bocor, akan ada yang melaporkan hal itu kepada Clarissa dan kamu yang akan menjadi korbannya. Mengertilah," kata Abimana yang penuh dengan bujuk rayu.
Amanda terdiam, kini yang ada di dalam kepalanya bukanlah soal anaknya dan dia saj. Tapi ini juga menyangkut soal lain seperti ibu dan juga adiknya. Apa yang ada dia lakukan saat ini akan berpengaruh beberapa saat ke depan. Amanda tidak bisa gegabah dan asal-asalan.
"Pak, bayi ini bukan anakmu. Jadi buat apa kamu berusaha untuk bertanggungjawab?" tanya Amanda sudah dengan isak tangisnya.
Abimana tersenyum getir, dia menitikan air matanya. Pil pahit dan rasa malu itu kini hadir berdampingan. Rasa malu lantaran pernah menuduh gadis baik-baik melakukan sesuatu yang bahkan tidak pernah dia bayangkan.
"Siapa yang coba kamu bohongi Manda? Siapa? Aku sudah menyuruh orang untuk mengawasimu. Kamu bahkan tidak punya teman spesial. Waktumu hanya habis untuk bekerja dan belajar. Aku tahu itu Manda. Dari semenjak kamu mengatakan kalau istriku dua kali menggugurkannya, aku sudah meminta orang untuk mencari informasi tentang kamu juga." Abimana mengakuinya.
"Tidak ada yang bisa aku tutup-tutupi darinya, dia punya uang dan tahu cara bagaimana mencari informasi yang benar. Aku harus bagaimana Tuhan?" batin Amanda berbicara dengan Tuhannya.
"Sudahlah, ini sudah malam. Aku mengantuk dan aku butuh istirahat. Bapak silahkan kembali ke ranjang Bapak. Silahkan kembali atau aku akan pergi meninggalkan Bapak sendirian di sini," tawar Amanda yang syarat akan ancaman.
Abimana terdiam, ancaman Amanda itu membuatnya tidak berkutik. Tiba-tiba saja yang ada di kepalanya adalah, bagaimana bila gadis ini benar-benar pergi dalam keadaan hamil. Dia memikirkan tentang janin yang ada di dalam sana.
"Baik, aku akan memberi kamu waktu. Aku beri kamu waktu dan kita bicarakan ini lain kali. Tapi ... apa boleh aku menyentuh perutmu? Sebentar saja Manda, aku sangat ingin menyentuhnya," pinta Abimana.
"1 menit saja. Tidak boleh lebih," jawab Amanda memberikan izinnya.
Abimana langsung berbinar cerah. Dia langsung menyentuh perut Amanda yang jika dipakai untuk duduk maka akan semakin terlihat buncitnya. Pria itu begitu senang dan luapan kebahagiaan itu begitu nyata.
"Sayang, anak Ayah. Maafkan ayah ya, yang sempat tidak mau mengakuimu. Jujur, semenjak pertama kali ayah menyentuhmu waktu itu, yang kita berdiri di depan kulkas, ayah jadi terus memikirkanmu. Hati kecil ayah terpanggil Sayang. Ayah tidak bisa membuatmu menderita. Sebisa mungkin ayah akan menjamin hidupmu supaya layak. Ayah janji," kata Abimana dengan bercucuran air mata.
"Tidak pernah selama aku bekerja dengannya, aku melihat tangis pria ini. Sama sekali tidak pernah sampai sesedih ini. Apa dia benar-benar ingin bertanggungjawab? Apa benar seperti itu?" pikir Amanda yang mencoba menerawang dan mengingat kembali bagaimana sikap Abimana yang sesungguhnya.
"Dia seperti mempunyai kepribadian ganda. Disaat jahat, dia akan jahat sekali. Di saat baik, dia akan baik sekali hingga mudah untuk ditipu. Sampai-sampai, istrinya dua kali menggugurkan kandungan pun dia tidak tahu." kata hati Amanda.
"Sudah habis, sudah 1 menit. Silahkan bapak kembali ke ranjang," kata Amanda dengan sangat sopan dan formal.
"Baik."
Hanya sepenggal kata itu yang keluar dari mulut Abimana Dipta. Setelahnya Amanda benar-benar menutup mata. Lelah menangis seharian membuatnya sangat mudah terlelap.
Detik demi detik berlalu. Seorang laki-laki tidak tidur sepanjang malam Ia gelisah memikirkan pilihan hidupnya. Sesekali senyuman terukir indah mana kala dia melihat perut wanita yang tidur di sofa bergerak.
"Lucu sekali, entah kenapa aku sangat yakin jika dia adalah bayi laki-laki." Abimana menggumam dengan binar kebahagiaan.
Sampai pagi hari, pukul 9 saat Dokter melakukan kunjungan, pasien yang mengalami luka tusuk itu belum juga terbangun, sementara Amanda dia sudah bersiap dan merapikan bekas tidurnya.
"Apa dia senyeyak ini dari semalam?" tanya Dokter saat memeriksa.
Amanda menggeleng. "Tidak Dok, semalam dia sempat gelisah. Mungkin dia tertidur agak dini hari jadi sampai sekarang belum bangun juga."
"Oh, bagus. Tolong perhatikan luka di punggungnya ya. Jangan sampai tertekan, nanti bisa kembali berdarah. Sejauh ini dia cukup kuat menahan sakit. Oh iya, polisi menunggumu di ruanganku. Mereka ingin meminta keterangan. Hanya saja di sini mungkin akan mengganggu dia," ujar Dokter yang berusia paruh baya.
"Baik Dok, saya akan ikut ke ruangan Dokter," jawab Amanda. Dia mengekor di belakang Dokter yang bertugas.
...----------------...
"Jadi begitu kejadiannya, hemh ... saya sangat menyayangkan hal itu. Sama sekali tidak menduga kalau istrinya sampai sekejam itu. Biasanya yang melakukan penganiayaan itu laki-laki dan ini malah wanitanya. Dia sama sekali tidak membalas?" tanya polisi tersebut.
"Tidak Pak, sama sekali. Dia hanya melindungi kepalanya dari tindakan brutal istrinya." Amanda menjawab dengan apa adanya.
Sementara Amanda diinterogasi, Abimana yang baru saja terbangun seketika menjadi panik saat melihat tempat di mana biasanya Amanda berada kini kosong melompong. Detak jantungnya menjadi tidak beraturan. Rasa bersalah mengepungnya hingga membuat air matanya kembali meleleh.
"Apa dia pergi? Apa dia pergi karena aku memintanya untuk tetap tinggal?" kata Abimana seorang diri.
Tanpa berpikir panjang, Abimana langsung keluar menyusuri lorong rumah sakit mencari keberadaan seorang Amanda, pembantunya. Dia mengabaikan rasa sakit di kaki dan tangannya yang mengalami keretakan tulang. Abimana hanya memikirkan tentang Amanda dan janinnya.
Berkali-kali dia mengusap air matanya, nyatanya tetap jatuh juga. Dia yang begitu mendambakan mempunyai keturunan dan kini secara tidak sengaja mempunyainya meskipun melalui rahim seorang pembantu, merasa begitu sedih hingga terisak. Dadanya menjadi sesak dan seperti tercekik hebat.
"Apa kamu benar-benar pergi? Kamu benar-benar lari dariku Manda? Dengan membawa anak kita?" gumam Abimana.
Sementara itu Amanda yang baru saja selesai memberikan keterangan, langsung kembali ke ruang rawat. Betapa terkejutnya dia ketika ruangan itu kosong. Dia sudah memeriksa bahkan di dalam kamar mandi pun ia periksa, tapi tetap saja nihil. Tidak ditemukan Abimana di sana.
"Pak, Pak Abi ... Bapak ke ...."
Ucapan Amanda menggantung di udara mana kala Abimana langsung memeluknya dari belakang. Ia menangis tergugu di punggung wanita yang tengah mengandung anaknya. Dia melupakan sekat pemisah antara majikan dan babu.
"Jangan pergi lagi ya, tunggu aku. Aku akan menyelesaikan semua ini dan akan menikahimu. Setidaknya biarkan ada namaku yang tercatat sebagai ayah kandungnya. Jangan pergi lagi aku mohon," pinta Abimana dengan berurai air mata.
"Bapak, aku hanya ke ruangan Dokter tadi. Polisi datang meminta keterangan, tapi tadi Bapak masih tertidur pulas jadi ya ...."
Lagi dan lagi kalimat Amanda terhenti sebab Abimana dengan cepat memutar posisi. Kini mereka berhadapan, ia menatap lekat kedua manik Amanda dan kembali memeluknya. Anehnya, bukannya menolak, tubuh Amanda malah justru seperti menerima dengan ikhlas setiap sentuhan hangat itu.
"Aku bermasalah. Seharusnya aku pukul kepalanya saat ini juga. Dia sudah berbuat cabul tapi aku malah suka?" pikir Amanda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments