"Bapak Abi, saya sudah mendapatkan satu bukti, tapi saya rasa ini belum begitu kuat jika dipergunakan untuk banding di persidangan. Jadi saya harap Bapak bisa bersabar," kata mata-mata melalui sambungan telepon seluler.
Abimana Dipta, dia tengah duduk di ruang tengah. Semenjak keberangkatan istrinya, dia lebih menenangkan diri di rumah dan hanya bekerja jarak jauh. Pikirannya kalut, apa lagi di tambah dengan perkataan Manda waktu itu yang menyebutkan tentang orang ketiga di dalam rumah tangga mereka.
"Baik, kumpulkan bukti sebanyak mungkin. Jika boleh, hanya foto itu pun tidak apa-apa kirimkan ke saya. Saya ingin melihat muka penghianat itu," pinta Abi.
"Baik Pak," kata si mata-mata mengiyakan.
Tidak butuh waktu lama, sebuah pesan pun masuk dan itu merupakan gambar seseorang yang amat sangat dia kenal. Abimana semakin lemas, ia merema* ponselnya, menyalurkan rasa sakit hati yang mendalam. Dalam foto itu terlihat bagaimana keduanya terlihat begitu dekat.
"Om Markus?" gumam Abimana sendirian.
"Kamu yakin dia orangnya?" tanya Abimana untuk memastikan.
"Iya, dia Pak. Saya bahkan sudah memastikannya. Mereka memesan satu kamar. Oh iya, kamar yang di pesan pun presiden suite, jadi saya rasa tidak ada keponakan dan pamannya yang memesan kamar seperti itu di dunia ini selain mereka," kata pelapor.
"Hemh, ya. Baik, intai terus," ujar Abi yang kemudian mematikan panggilan telepon lantaran tidak kuat dengan bukti yang ia dapatkan.
Om Markus merupakan adik dari ibunya dan memang saat ini bisnisnya sedang melejit jauh di atas Abimana. Namun dia tidak menyangka bila Clarissa akan setega itu. Bila dia dan Manda melakukannya karena ketidaksengajaan, maka lain hal dengan Clarissa yang secara sadar dan sengaja melakukannya.
Setelah ini bukan hanya perceraian antara dirinya dan Clarissa yang akan terjadi, namun tantenya juga pasti akan minta bercerai. Juga dengan perpecahan keluarga dan juga bisnis keluarga. Semua itu sudah membayangi Abimana membuatnya takut dan kalut.
Baru dua hari semenjak Clarissa pergi dan dia sudah mendapatkan bukti seperti itu. Rasanya saat ini dia sudah sangat ingin membunuh wanita itu beserta dengan Oomnya. Namun, dia harus lebih cerdas dari sekedar mengandalkan emosi.
Manda, yang ia harapkan akan keluar dari kamarnya pun seharian ini tidak keluar setelah selesai mengerjakan semua tugas rumahnya. Entah apa yang ia lakukan di dalam kamarnya hingga di betah seharian tidak keluar. Rasa penasaran itu menuntun Abimana untuk mendekati kamar pembantunya itu.
Abimana ingin mengetuk pintu, namun ia urungkan. Cukup lama dia berdiri di depan pintu kamar Manda. Ada rasa bersalah, tapi juga suatu rasa yang lain yang tidak pernah ia alami sebelumnya.
Mendadak Abi ingin berbincang dengan Manda dan memastikan keadaannya. Hingga maniknya melihat sebuah seprai miliknya yang sudah di setrika rapi di ruang laundry.
"Seprai, ah ... kasur!" gumamnya tiba-tiba.
Abi teringat akan kasur tipis yang ia buang. Saksi bisu di mana ia sempat menghabiskan satu malam dengan gadis malang itu. Hatinya merasa aneh kenapa dia tiba-tiba ingat akan hal itu.
"Kenapa memangnya kalau aku buang. Tidak apa-apa kan masih ada tikar," ucapnya dalam hati.
Namun sedetik kemudian ... "Tapi dia sedang hamil, ah ini kesempatan bagiku untuk membuat dia mau menggugurkan janin itu."
Abimana mengetuk pintu kamar Manda. Berkali-kali dia melakukannya namun tidak ada respon dari dalamnya. Hingga, sampai ia menambah kekuatan mengetuk pintu dengan setengah menggedor, barulah Manda mendengarnya.
"Ada apa?" Manda bertanya dengan raut wajah yang dingin dan datar. Sama sekali tidak ada senyuman.
"Kamu itu bekerja di sini, apa pantas mukamu masam begitu sama majikan?" tegur Abi dengan nada nge-gas.
"Buatkan aku kopi, antar ke ruang kerja!" titah Abimana dengan kasar.
"Baik," jawab Manda datar tanpa ekspresi.
Saat Manda berbalik, Abi sempat melongok dan melihat ke dalam ruangan. karpet lantai tipis dialasi handuk adalah tempat ibu hamil itu menghabiskan setiap malamnya untuk melepaskan penat. Tercubit hati Abi kala melihatnya.
"Dia sudah gajihan berapa kali sih, masak iya membeli kasur saja tidak bisa," pikir Abi yang menilai tanpa tahu sisi dalam seorang Manda.
Abimana tidak pernah tahu bagaimana cara Clarissa membayar gaji pembantunya. Dia sering memotong gaji bahkan atas kesalahan kecil saja. Lalu ke mana larinya uang-uang itu? Tentunya semua uang hasil memotong gaji pembantu itu masuk ke dalam rekening pribadinya dan selama bertahun-tahun Abi tidak pernah tahu akan hal itu.
Abi mengabaikannya dan masuk menuju ke ruang kerja. Ia duduk dan membuka laptopnya. Dia mulai membaca beberapa berkas sampai kopi itu datang.
"Taruh di sana saja," perintahnya dan Manda pun menurutinya.
"Mau ke mana kamu? Siapa yang suruh kamu pergi?" tanya Abimana dengan suara seraknya yang membuat Manda bergidik ngeri lantaran teringat akan malam itu.
"Ada apa lagi?" tanya Manda tanpa menatap wajah Abi.
Abimana mengambil sebuah amplop coklat dan menyodorkannya. Jika dilihat dari ketebalannya mungkin sekitar 30 juta. Akan tetapi Manda tetap tidak tergoda. Ia tetap menunduk dan menghindari interaksi dengan manik yang sempat membuatnya ketakutan itu.
"Ambil uang ini dan gugurkan dia sebelum masuk 4 bulan," kata Abimana tiba-tiba yang membuat detak jantung Manda terasa berhenti.
Dengan mudahnya dia bicara tanpa merasakan bagaimana susahnya Manda menyembunyikan hal itu dari semua orang. Dia harus menahan rasa tidak nyaman dan mual. Dia juga harus terus berlagak tidak apa-apa padahal sebenarnya dia sangat lemas dan pusing.
Manda mendekat dan menempelkan tangan Abimana ke perutnya yang masih terlihat rata. Tidak nampak seperti orang hamil memang, namun hal itu di karenakan usia janin yang masih muda dan dia bersembunyi dari ketidak nyamanan. Nanti setelah keberadaanya diakui, barulah akan nampak sebab dia merasa nyaman.
Pada saat Manda menempelkan tangan Abi di perutnya, janin yang ada di dalam pun berdenyut dan Abi bisa merasakan itu, seperti dia tengah kegirangan menyapa sang ayah. Abi membeku, dia bahkan tidak bisa menarik tangannya lagi. Seperti ada ikatan yang menghubungkan antara dirinya dengan si janin, darah dagingnya sendiri.
"Dia sudah 4 bulan, dan tidak perlu repot-repot. Aku sudah bilang dia bukan anakmu. Jadi kenapa Anda yang repot tuan Abimana Dipta. Bersantailah dengan hidupmu, maka aku juga akan bersantai dengan hidupku bersama anakku. Tenang, aku bukan perebut suami orang atau suka mengganggu suami orang," kata Manda dengan begitu tenang dan perlahan.
Setelah mengatakan hal itu, Manda pun pergi. Dia membuat Abi mematung. Uang yang tadi dia sodorkan sama sekali tak disentuhnya. Itu menunjukkan bahwa Manda masih menjaga harga dirinya, walaupun Abimana selalu merendahkanya.
"Argh ...!" erang Abi seorang diri diikuti dengan beberapa barang yang terlempar.
Sementara itu Manda kembali masuk ke kamar dan menangis. Dia menangisi keadaannya. Menyesali semua yang telah terjadi dan sejujurnya dia sama sekali tak tahu arah pergi.
Tidak ada uang yang cukup untuk menanggung hidupnya dan si buah hati nantinya. Belum lagi ibu dan adik yang membutuhkan banyak biaya. Ditambah lagi dengan biaya persalinan.
"Setelah ini, akan dengan apa ibu membayar persalinanmu Nak? Harus dengan apa ibu mencukupi segala kebutuhan kita nanti ...?" ucap Manda bersamaan dengan tangisnya yang menyayat hati.
Sementara di ruang kerja, Abi yang masih membiarkan laptopnya menyala justru melihat iklan produk kebutuhan bayi. Telinganya mendengar gelak tawa bayi dan juga ia melihat senyuman dari bayi itu. Seketika ingatannya menuju tepat pada saat tangannya merasakan denyutan tadi.
"Aku tidak percaya kalau dia punya pacar. Janin itu pasti anakku," ucapnya tanpa sadar yang mengakui bahwa si jabang bayi adalah darah dagingnya.
"Tapi ... aku tidak bisa mengakuinya saat ini. Aku harus bagaimana Tuhan!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Ririn Mutiarini
Abi kamu majikan yang ga peka 😮💨
2024-05-08
0
my love
buka mata dan hati Abi thorr...kasian Manda..semangat up banyak yvthor❤️sekebon😘
2023-05-15
1