5. Sarapan Bersama

Pagi hari, Amanda melakukan tugasnya seperti biasa. Dia membersihkan rumah lalu membuat sarapan. Setelahnya jika majikannya sudah berangkat maka tugasnya hanyalah tidur seharian.

Pagi ini berbeda, ada seseorang yang harus ia tanya dan sapa. Majikannya berada di rumah setelah kepulangannya malam tadi. Saat aroma masakan menyebar memenuhi dapur, saat itu juga Abi terbangun setelah mendengar suara bising dari dapur.

"Apa tidak bisa kamu masaknya pelan? Berisik sekali!" tanya Abi seolah dia tidak mengenal siapa Amanda. Iya, saat ini suasana diantara mereka adalah seperti orang asing yang tidak saling mengenal.

Padahal sebelumnya hubungan mereka sangat baik, seperti adik kakak. Namun setelah malam kelam itu, hubungan mereka seperti musuh. Amanda menyimpan kebencian namun tidak seutuhnya benci. Ia sadar keluarganya begitu banyak berhutang budi pada sosok Abi.

"Maaf."

Hanya kata itu yang terlontar dari bibir mungil Amanda. Dia bahkan tidak berbalik badan dan melihat keberadaan Abi di belakangnya. Perpaduan rasa antara kesal dan takut menguasainya.

"Cuman maaf? Manda! Kamu pikir aku jongosmu? Seenaknya kamu bicara tanpa mau menatapku! Ingat ya, yang bayar gajimu itu aku! dan ibumu juga butuh uang itu. Oh iya. Aksa juga butuh uang untuk sekolahnya. Jadi jangan sombong kamu sama aku!" sembur Abimana dengan menunjuk ke arah Manda tepat di depan hidungnya.

Amanda tidak mau kalah. Dia juga rupanya sudah ingin meledak dari tadi. Dia yang menjadi korban, tapi dia terus yang terintimidasi.

"Mau Bapak apa? Mau aku melihat wajah Bapak begini?" tanyanya dengan nada marah. "Aku belum bisa lupa akan malam itu asal Bapak tahu!" tunujuknya balik dengan spatula yang nyaris mengenai hidung mancung Abimana.

Tidak terima dengan apa yang Amanda perbuat, Abimana lalu merebut spatula itu dan melemparkannya ke lantai. Entah mengapa setiap membahas malam itu ia merasa harga dirinya terluka hebat.

"Lupakan! Mana sarapanku?" tanya Abimana dengan mengalihkan pembicaraan.

Walaupun kesal, dan ingin sekali mencekik leher Abimana, Amanda tetap saja menyajikan makanan untuk majikannya. Ia tetap menjalankan tugasnya dengan profesional. Setelah menyodorkan sepiring nasi goreng, Amanda melepaskan celemek dan bersiap pergi.

"Tunggu, kita perlu bicara." Abimana mencekal pergelangan tangan Amanda.

"Bicara apa lagi? Kalau soal obat peluruh itu, aku sudah meminumnya dan semoga saja tidak akan mengandung anakmu Pak," ketus Amanda.

Abimana menatapnya dan menggeleng. "Bukan soal itu."

"Lalu?" tanya Amanda sampai keningnya berkerut indah.

"Duduklah dulu. Ini tentang malam itu. Aku ingin meminta maaf," ucap Abimana yang tiba-tiba menjadi sangat lembut seperti sebelum masalah itu meledak.

Amanda duduk tapi dengan membuang muka. Dia melengos menghindari interaksi mata dengan majikannya. Abi pun tidak bisa lagi memaksa Amanda.

"Kalau mau bicara silahkan saja,tapi lepaskan tanganku. Tidak baik seorang majikan berdekatan dengan babu seperti ini Pak," ucap Amanda penuh makna sindiran.

"Tidak, aku tidak akan membiarkan kamu pergi. Manda, sebelumnya hubungan kita baik. Dan aku sangat meminta maaf untuk kejadian malam itu. Sumpah aku sedang mabuk malam itu Manda," ucap Abi bersungguh-sungguh.

Amanda mengusap air matanya yang jatuh begitu saja. Dia tidak akan mungkin lupa mengingat kala itu Abimana merudapaksa dengan melengkuh menyebut nama Clarissa. Kala itu Amanda hanyalah menjadi objek pelampiasan.

"Iya aku tahu. Aku tidak akan melupakan bau tubuhmu dan juga suaramu saat menyebut nama istrimu di telingaku," kata Amanda dengan suara yang bergetar.

Abi mengotak-atik ponselnya dan memberikannya kepada Amanda. "Tulis saja nominalnya. Ada 11M tabunganku di sana. Terserah kamu mau berapa, tapi setelahnya aku minta tidak akan ada lagi pembahasan tentang ini dan sikapmu harus kembali seperti semula."

Amanda tertawa namun dengan air matanya yang berderai membasahi pipinya. "Tak segampang itu. Bagaimana jika obatnya tidak berhasil dan aku tetap hamil?"

Pertanyaan dari Amanda seketika membuat Abimana tercekat. Mereka saat ini saling bertatapan penuh kebencian. Tatapan yang memadukan antara rasa jijik dan sakit hati.

"Manda, aku melakukannya secara tidak sengaja. Hanya satu kali saja tidak mungkin kamu bisa hamil. Sedangkan aku, dengan istriku saja berkali-kali melakukannya tidak membuahkan hasil," ucap Abimana yang membuat Amanda tertawa.

"Kenapa kamu tertawa? Apanya yang lucu dari ini?" tanya Abimana.

"Istrimu, sudah 2 kali menggugurkan bayi kalian. Aku yang merawatnya saya pemulihan. Aku terlalu banyak menyimpan rahasia dari rumah ini. Jadi benar dugaanku kalau Bapak tidak tahu menahu tentang hal itu. Lucu sekali, perihal nyawa tapi hanya dijadikan mainan saja," cemooh Amanda dengan matanya yang berkaca-kaca.

Abimana menarik lebih kuat pergelangan tangan Amanda sampai terasa sakit. Akan tetapi Amanda tidak menunjukkan rasa sakit itu. Ia malah tersenyum sinis.

"Bukan tidak membuahkan hasil, tapi dia sengaja membuangnya di saat usianya masih muda, masih berupa gumpalan darah. Operasinya pun dia lakukan di luar negeri dengan alasan pekerjaan. Hahaha lucu sekali melihat Bapak terlihat bodoh begini. Sudah ada dua anakmu yang bahkan tidak ia urus pemakamannya dengan benar."

"Manda! Kamu bohong kan?" desak Abimana dengan matanya yang berkaca-kaca.

"Tidak mungkin dia melakukan itu. Itu anak kami! Tidak mungkin dia tega menghabisi calon anak kami," ujar Abimana dengan penuh penekanan dan menekan kuat pergelangan tangan Amanda.

"Apa dengan melukaiku seperti ini Bapak bisa mendapatkan bukti? Aku menyimpan bukti itu. Jika Bapak tidak percaya sebaiknya lakukan penyelidikan sendiri. Sebaiknya gunakan uangmu yang banyak ini untuk menyelidiki bagaimana sikap istrimu yang sebenarnya. Terima kasih, saya sudah kenyang," kata Amanda seraya melepaskan cekalan Abimana.

Baru satu langkah Amanda akan pergi, Abimana sudah kembali meraih pergelangan tangannya lagi. "Mana buktinya jika memang kamu tidak berbohong."

Ting! Sebuah pesan masuk dan Abi terhenyak saat membacanya. Pesan yang berisi foto dari sebuah kwitansi bukti tagihan pelunasan biaya aborsi atas nama Clarissa. Mengapa Amanda menyimpannya, itu semua atas perintah sang ibu yang merasa bahwa suatu saat nanti Abimana akan membutuhkan semua itu untuk mengurus sesuatu.

"Andai saja kamu tahu satu fakta lagi Bapak Abimana. Aku rasa duniamu akan hancur dalam sekali jentikan jari. Tapi aku tidak sejahat itu. Aku bukan orang yang suka melihat orang lain terluka. Aku melakukan ini supaya kamu mengulur waktu dan lupa akan kejadian malam itu sambil aku menunggu dan memastikan bahwa aku tidak hamil. Dan kalau pun aku hamil, aku akan tetap merawatnya dengan atau tanpa ayah."

"Sudah? Sebaiknya Bapak fokus dengan istri Bapak saja jangan fokus dengan saya. Oh ya satu lagi, jangan terlalu membebaskan istri Anda untuk tidak pulang sampai berminggu-minggu. Berbahaya," kata Amanda dengan pelan dan penuh penekanan.

"Argh ...!" Abimana menghempaskan tangannya dan membuat piring di meja makan tadi beterbangan. Piring itu pecah berhamburan membentur marmer. Amanda hanya bisa menguatkan hati dan memejamkan matanya saat suara riuh itu terdengar.

"Bukan aku ingin menghancurkan, tapi aku juga butuh menyelamatkan diriku sendiri." Amanda berlalu pergi.

Terpopuler

Comments

Ririn Mutiarini

Ririn Mutiarini

Abimana terlalu bucin atau bodoh terhadap kelakuan Clarissa 😮‍💨

2024-05-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!