20

“Kakek ini kan yang aku kasih uang kemarin itu, Subhanallah dia menolongku” bisik benakku.

“Ini ga mungkin kan sus?” tanyaku.

“Kakek ini sudah meninggal mba, pas dibawa ke rumah sakit bersama mba” jawabnya.

“Innalillahiwainnailaihirajiun”, ucapku.

Air ini pun mampu membasahi pipi. Pandangan mataku tertuju pada sekujur tubuh yang sudah ditutupi kain putih itu. Ucap terima kasih tak lagi didengarnya.

Hidup ini penuh dengan kejutan. Aku semakin sadar bahwa segala hal yang aku lakukan akan terbalaskan, entah itu dengan orang yang sama ataupun orang yang tidak aku kenal sedikitpun.Terkadang balasannya tak akan selalu sama dengan apa yang kita berikan. Bisa jadi dalam bentuk uang, makanan, atau bahkan nyawa. Tak perlu takut hartamu habis, semua itu akan tergantikan.

Aku memeluk kedua kakiku. Tangan dan kakiku mulai membiru, entah bagian tubuh yang lain. Bibirku bergetar pelan. Kaos dan celana pendek yang kukenakan, juga gubuk kecil—yang dulunya digunakan sebagai tempat berkumpul orang-orang sebelum ronda malam—tidak mampu menghangatkanku. Hujan yang turun semenjak lebih dari dua jam lalu, sama sekali tidak mau menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Air mulai naik, sejengkal lagi akan meraih papan kayu tempatku meringkuk. Mungkin air sungai tepat di bawah gubuk ini turut meluap. Sedangkan cahaya-cahaya yang muncul di langit, masih semangat untuk menerangi sekelilingku yang gelap.

Tak ada satu orang pun yang lewat, padahal gubuk ini tidak terletak di jalan setapak kecil menuju persawahan seperti gubuk-gubuk yang lain di daerah ini. Orang-orang mungkin takut berhadapan dengan curahan air, atau mungkin takut bertemu garis-garis putih yang terlihat seperti akar pohon beringin yang melambai di langit.

Di saat-saat seperti ini, aku biasanya di rumah, bergelung dalam selimut sambil mendengarkan bapak mengaji. Tapi aku yang bodoh ini, sudah terlanjur terjebak. Sejak lebih dari dua jam yang lalu, aku tidak akan bisa pergi dari gubuk ini.

Aku tidak tahu kapan hujan ini mulai mereda, atau akar-akar beringin yang berangsur menghilang, tapi samar-samar aku mendengar suara tahlil. Semakin lama semakin kencang. Semakin lama, aku bisa mendengar suara gesekan sandal-sandal dengan jalan tak beraspal ini, bercampur dengan suara genangan air yang mereka terjang. Dan tak lama, keranda berselimut kain hijau dan berpayung itu melintasi tempatku meringkuk. Di antara banyaknya orang itu, beberapa memegangi batang-batang bambu yang bagian atasnya terbakar, menerangi jalanan yang berlumpur ini.

Aku terduduk. Siapa gerangan yang ada di bawah selimut hijau itu? Semisal aku ada di dalamnya, apa aku bisa merasakan hangat? Atau bagaimana jika aku meminjam salah satu oncor mereka? Aku menatapi diriku. Ternyata tubuhku basah. Apa aku sejak tadi kehujanan dan tidak menyadari ini? Apa atap gubuk ini bocor?

Lalu perlahan, rombongan itu mulai menjauh, lalu menghilang ditelan belokan menuju tanah perkuburan yang tak jauh dari gubuk ini, meninggalkan asap yang perlahan menyatu dengan udara. Aku termangu, tergelitik pemikiran untuk mencuri kain hijau itu.

Aku kembali meringkuk, berharap lenganku yang kecil mampu menghalau seluruh tubuhku dari udara yang bercampur bau tanah basah ini. Baru saja aku menikmati kegelapan dalam mataku, bunyi papan kayu gubuk ini yang diinjak-injak menggangguku, hingga membuatku terbangun.

Aku melihat lelaki paruh baya duduk tepat di tepi gubuk yang menghadap jalan setelah mengitari papan kayu yang merupakan alas gubuk ini. Lelaki itu tampak termenung, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Aku seperti mengenal wajahnya yang tampak berkilau karena keringatnya tertimpa cahaya matahari, tampak familiar. Tetapi aku bahkan tidak bisa mengingat siapa diriku.

“Kalau tidak mau mengaji, dengarkan saja Bapak mengaji, Nak!” ucapnya tiba-tiba, tepat setelah berhenti tertawa. Dan lelaki itu, terus mengucapkan kalimat yang sama. Rasanya, lubang telingaku akan buntu jika sekali lagi dia mengucapkan kalimat yang sama.

Lelaki ini tampak aneh. Dia terus berucap kalimat yang entah bertuan kepada siapa. Apakah sedari tadi dia tidak menyadari keberadaanku? Mengingat itu, aku kembali memandangi diriku, mendapati diriku masih basah. Sepertinya sisa hujan semalam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!