Angin begitu dingin, malam yang kelam dan tak ada suara kaki yang melintasi sepanjang jalan itu kecuali aku. Aku yang berbadan bau, memakai baju lusuh dan compang-camping, tubuhku yang kurus keriput, dan rambutku putih memenuhi kepalaku. Aku adalah lelaki tua yang berjalan terseok-seok di antara sampah-sampah dan terpaan angin. Satu goni yang terikat di punggungku. Aku berjalan begitu tajam menginjak debu-debu di jalan, mata ini mencari-cari, aku berhenti di antara tumpukan-tumpukan sampah.
Tak ada sapaan untukku, mereka tak kunjung gubris ketika berpapasan dengan wajahku. Aku tak pernah menjulurkan tangan di setiap kedai dan pinggiran jalan, selama aku masih bisa berjalan, hal semacam itu tak akan kulakukan. Aku mengais sampah-sampah dengan tanganku, itu yang kulakukan, botol demi botol kumasukan ke dalam goni, aku terus mengais.
Goni yang kubawa sudah penuh berisikan barang bekas, aku begitu lelah. Air yang kubawa ternyata tak mampu mengenyangkan perutku.
“Andai saja ada sisa makanan di sampah ini” kataku sambil mengais.
Sisa makanan tak aku temukan sedikitpun, kaki ku ayunkan perlahan-lahan, mataku memejam dan berhenti sejenak. Karton yang kudapat kujadikan sebagai alas tidur. Toko yang berwarna putih itu menjadi inapan bagiku malam ini. cacing di perut seakan meminta makanan. Mungkin tidur bisa mengalahkannya.
Air itu membasahi sekujur tubuhku.
“Pergi kau dari sini” ucap pria berkemeja biru .
“Ternyata sudah pagi” bisikku dalam hati.
“Jangan datang lagi kau ke sini pengemis” mata memerah dan bola mata yang begitu tajam memandangku.
Sepatah kalimatpun tak keluar dari mulutku. Aku keluar dengan badan kedinginan. Tolakan tanganya begitu tepat di tulang punggungku hingga aku terguling menyintai aspal. Langsung saja dia masuk ke toko. Aku kembali menyusuri jalan. Subuh yang gelap. Matahari belum memancarkan sinar yang begitu terang. Dua jam aku berjalan, akhirnya sampah itu tepat dihadapanku. Aku terus mengais sampah lagi dan kutemukan sepotong roti yang sudah dipenuhi jamur.
“Alhamdulillah rezeki ini” ucapku.
Langsung kubuka bungkusan plastiknya. Roti itu sedikit lagi sudah masuk ke mulutku. tiba-tiba roti itu berada di tangannya. Seorang gadis yang berjilbab, wajah bulat, dan berkulit putih itu telah merebut rotiku.
“Kenapa Bapak makan roti ini?” tanyanya.
“Sudah semalaman Bapak kelaparan, dan sekarang Bapak menemukan sepotong roti ini, tapi kamu merebutnya” jawabku.
“Roti ini sudah kadarluasa Pak, jamurnya sudah penuh di roti ini, Bapak tidak boleh makan ini” lanjutnya dengan tatapan kasihan.
“Mari ikut saya” sambil menarikku masuk ke sebuah warung.
Aku menyuruh pelayan menghidangkan masakan paling enak di warung itu dengan segelas teh hangat, langsung saja ia menghabiskan nasi itu dengan lahapnya, selesai makan ia minta pamit kepadaku.
“Terima kasih banyak nak” katanya singkat,
“Bapak tidak bisa membalasnya, semoga kebaikan kamu dibalas oleh Allah swt.”
“Aminnn” jawabku
“Tunggu sebentar Pak”
Aku mengeluarkan uangku, ternyata sisanya hanya Rp50.000,00 aku tak menemukan sisa lain di sela dompet, semua uang itu aku berikan untuknya.
“Aku tidak punya uang banyak Pak, hanya ini, semoga bermanfaat untuk Bapak” ujarku
“Terima kasih banyak nak, semoga kamu selalu dalam lindungan Allah swt. kalau kamu butuh bantuan bapak, bapak selalu ada di pinggir jalan setiap hari dan malam” jawabnya,
“Baik Pak” singkatku.
Senyuman itu ia berikan kepadaku. Lalu dia berjalan keluar dengan perut kekenyangan.
Hatiku begitu damai bisa menolong mereka yang tak mampu, uangku tak seberapa, paling tidak bisa membantunya untuk makan dua hari. Aku sudah cukup bahagia melakukannya. Kini jam menunjukkan pukul 10.20 WIB, sebentar lagi kelas akan dimulai, aku bersegera ke kampus.
Selain kuliah aku juga gadis pengajar les untuk anak-anak SMA, hitung-hitung buat nambah uang jajan. Hari berlalu begitu cepat, entah putaran jam yang begitu cepat atau kegiatanku semakin mendesak.
“Intan? Hari ini ke perpus yok ajari aku buat tugas yg kemarin” Rina menarik tanganku dari belakang.
“Maaf banget aku ngak bisa hari ini, aku ada kelas ngajar, jauh pula, ngak bisa diganti karena pengajar lainnya sibuk semua” jawabku.
“Iya sih, kalau sama kamu harus buat janji dulu jauh-jauh hari” pungkasnya.
“Iya kamu pasti taulah gimana kegiatan aku, aku juga harus jualan pagi sabtu dan minggu di pasar”.
“Kalau hari senin bisa ngak? jam makan siang gitu, sekalian kita makan bareng” ajaknya lagi.
“Hmm…ok baik, nanti kabari aku tempatnya”.
“Oklah sampai ketemu”.
Setelah ditemui Rina, aku bergegas untuk pergi. Perjalanan kali ini cukup jauh dari rumahku. Mungkin memakan waktu sekitar 40 menit. Pengajar Bahasa Indonesia lain tidak ada hari ini. Jadi terpaksa aku yang harus ke sana. Matahari cukup membuatku gerah. keringat ini membasahi di sela tubuhku. Setelah ngajar aku langsung bergegas untuk pulang ke rumah.
Badanku terasa didorong begitu kencang, aku tergepar menyintai pinggiran jalan, darah membubuhi lengan dan kakiku. orang-orang semua teriak “Kecelakaan, kecelakaan, kecelakaan…”, mataku menuju ke tengah jalan, terbaring seorang lelaki tua dengan pakaian yang lusuh dan kotor, badannya kurus, darah membasahi sekujur bajunya, aku melihat badannya bergerak sedikit, lalu melihat ke arahku, setelah itu mataku terpejam kembali, aku pingsan tak sadarkan diri kurang lebih 30 menit.
Badanku terasa sakit sekali, kepalaku pusing, kakiku susah digerakkan
“Aku di mana?” tanyaku,
“Anda sedang di rumah sakit mba, jangan terlalu bergerak, istirahatlah kembali” jawab seorang gadis yang merawatku di ruangan itu.
“Aku kenapa sus?”
“Anda kecelakaan, 30 menit anda tak sadarkan diri” jawabnya lagi.
“Siapa yang bawa aku ke sini?”
“Warga yang membawa mba ke sini”
Mungkin benturan kakiku dengan aspal hingga susah digerakkan, akhirnya aku pun berniat tidur kembali. Sungguh, aku sama sekali belum mengingat kejadian siang tadi.
“Aku haus kali, air ga bawa lagi” kataku dalam hati.
Akhirnya aku berhenti di swalayan yang tidak jauh jaraknya denganku. Siang yang begitu terik, motorku kempes dalam perjalanan pulang, terpaksa aku meninggalkannya di bengkel dan harus
jalan kaki. Perutku keroncongan, cacing di dalamnya sangat berisik, seakan menggigit bagian dalam perutku (ehe, begitulah rasanya). Banyak rumah makan di pinggiran jalan, lalu aku mampir di tempat biasa aku makan siang yang berada di seberang jalan, selesai makan aku pulang, di tengah jalan aku baru ingat kalau dompetku tertinggal di meja makan tadi, yah walaupun isinya Rp 1000 lagi, kan banyak surat penting (pikirku dalam hati).
Langkah demi langkah ku ayunkan, aku berjalan lama sekali, mataku begitu buram dan badanku panas, aku sedikit hoyong tak karuan, hampir saja aku tertabrak, untungnya aku berhasil mengelak. Padahal sedikit lagi sudah sampai di rumah makan tadi, lantas kenapa mataku ngak sanggup? Terdengar suara klatson yang ricuh sekali, aku bingung harus berjalan ke arah mana lagi, tiba-tiba dorongan itu kencang sekali di badanku, badanku terasa sakit sekali, untungnya tidak terkena tembok, kalau tidak habislah kepalaku. ternyata ada mobil yang hampir menabrakku, seseorang telah menolongku, dia mencoba menyelamatkanku dengan mendorong badanku ke pinggir jalan, dia adalah seorang kakek, badan dia tidak jauh terlontar dari badanku.
“sakit……..” teriakkan itu seakan menggema sangat kuat di ruangan UGD itu.
Aku langsung terbangun dari kasur,
“padahal aku cuma mimpi” ucapku.
Mimpi itu sama persis dengan kejadian yang aku alami beberapa jam yang lalu, aku baru ingat, lelaki tua itu adalah lelaki yang tidak sengaja bertemu denganku tiga malam yang lalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments