6

Hei Tono, kenapa kau bersedih?” tanya Elin, penasaran.Ngg.. Hikss.. Bis.. sa kah k..kau me..membantuku Elin?” ucap Tono sambil menangis.Ya! Tentu saja. Kau mau aku bantu apa?” ucap Elin.

“Bi-bisa kah k..kau meng..ambilkan bajuku y-yang ja tuh di..p-pinggiran sungai i-itu? Aku takuut a.. air,” jawab Tono dengan raut muka yang sedih.

“Tapi kan, danau itu penuh dengan buaya? Bagaimana bisa aku turun ke sana?”

“Kau tak bi..sa membantuku? I.. itu.. adalah baju pemberian Ibuku.” jawab Tono. Tangisan Tono sekarang semakin kencang, meyakinkan Elin supaya Elin kasihan kepadanya. Elin pun masuk ke perangkap Tono.

“Hmm, baiklah. Akan aku ambilkan bajumu. Aku akan turun ke bawah, tunggu sebentar ya!” ucap Elin, Elin tak kuasa melihat kesedihan Tono dan dia pun turun ke bawah untuk mengambilkan baju Tono yang jatuh di pinggiran sungai, walaupun Elin tahu di sungai itu banyak sekali buaya-buaya ganas yang sedang lapar, tetapi Elin seakan tidak mempedulikan bahaya yang akan mengancam dirinya. Tono pun tertawa jahat.

Saat Elin sudah berada di bawah pinggiran sungai, dia sedang berusaha untuk mengambil baju milik Tono yang saat itu bajunya sangat jauh dari jangkauan tangan Elin. Dari belakang, Tono diam-diam menghampiri Elin, dan tak lama.. Byuuaarr!!?! Tono mendorong Elin ke sungai, Tono tertawa jahat seakan tidak merasa berdosa. Sementara itu Elin yang berteriak minta tolong, terdengar oleh hewan-hewan yang lain. Kemudian, datanglah beberapa buaya ganas yang sedang lapar ke permukaan sungai dan semakin mendekati Elin. Tono yang melihat buaya itu, berharap Elin akan dimakan oleh si buaya. Tak sesuai dengan harapan, buaya tersebut malah menyelamatkan Elin dan buaya lainnya menangkap si Tono. Tak lama kemudian, datanglah beberapa hewan yang mendengar teriakan Elin tadi, yaitu gajah, jerapah, harimau, sapi, dan monyet. Mereka adalah sahabat baiknya si Elin.

“Elin.. Apakah kau baik-baik saja?” tanya sapi.

“Y.. ya, aku baik-baik saja,” jawab Elin.

“Hei Tono, kau kira kami akan memakan Elin? Hahaha, engkaulah yang akan kami makan,” jawab si buaya.

Hei, ampunilah aku. Aku memang bersalah. Tolooong, jangan makan aku buaya! Elin, bilang kepadanya, selamatkan aku!” ucap Tono.

Elin yang melihat Tono, merasa kasihan.

“Hei buaya, lepaskanlah dia,” ucap Elin.

“Tapi dia sudah mencelakaimu!” ucap buaya.

“Tidak apa, kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan,” jawab Elin sambil tersenyum.

“Terima kasih Elin atas kebaikanmu, aku tidak akan mengulanginya, aku janji,” ucap Tono.

“Iya, baiklah. Baguslah kalau memang begitu.” jawab Elin.

Dan mereka pun sekarang hidup tenang dan damai.

Bagiku hari ini adalah hari yang paling membahagian. Bagaimana tidak, di hari pertama aku masuk sekolah, aku diajak kenalan oleh seorang wanita. Sungguh aku malu sekali.

Aku tak bisa menolaknya, karena aku adalah anak pindahan dari sekolah sebelah. Jujur, aku tidak pernah mempunyai teman wanita semenjak SD.

Aku bingung harus bagaimana saat dia menjulurkan tangan dan meberitahukan namanya sembari berkata “namaku Dewi, salam kenal”

Dengan polosnya aku juga mengenalkan diriku, Miqdad. Setelah berjabat tangan dia langsung pergi dan tak memedulikanku. Tapi dengan diriku sendiri, aku tidak bisa bergerak setelah jabatan itu terlepas. Tubuhku gemetaran dan aku bingung mau berbuat apa.

Dengan polosnya aku juga mengenalkan diriku, Miqdad. Setelah berjabat tangan dia langsung pergi dan tak memedulikanku. Tapi dengan diriku sendiri, aku tidak bisa bergerak setelah jabatan itu terlepas. Tubuhku gemetaran dan aku bingung mau berbuat apa.

Aku paksa kaki ini melangkah masuk kelas dan berusaha berbuat sebiasa mungkin, jangan sampai kekonyolan terlihat banyak murit di kelas. Bisa-bisa aku akan hanya menjadi bahan tertawaan.

Saat itu, bel berdering menandakan pelajaran pertama dimulai. Aku duduk dibangku paling belakang, berharap tidak ada yang melihatku. Aku masih belum terbiasa dengan murit-murit di sini.

Bu guru juga menyuruhku perkenalan di depan kelas. Aku memperkenalkan diriku singkat dan bergegas menuju tempat dudukku lagi. Aku tak begitu memedulikan sekitar, aku hanya menatap buku kosong dan berusaha tidak melakukan hal yang membuat perhatian anak-anak menuju padaku.

Seketika itu bu guru membuka materinya dan aku pun melihat ke depan. Tanpa ku sadari, setelah aku melirik sedikit bangku kiriku, ternyata dia adalah wanita yang mengajakku kenalan tadi.

Aku semakin gemetaran, kenapa sih cewek ini kok bisa pas ada di bangku paling belakang, di sampingku lagi. Kenapa dia gak duduk di depan saja, kenapa pas ketika aku masuk di hari pertama. Gerutuku dalam hati.

Pas guru menyuruh kami untuk mencatat, aku pun merombak tas ku dan mencari pena yang aku sudah siapkan. Aku merogok tas ku sampai terdalam, ternyata bulpen yang telah aku siapkan dari tadi malam lupa aku masukan tas.

Akhirnya aku meminjam pulpen temanku laki-laki di bangku sebelah.

“bro pinjem bulpen dong, aku lupa gak bawa nih”

“wah aku cuma punya satu” kata temenku.

Aku berusaha meminjam ke bangku depan. Ternyata dia juga gak punya.

Malahan dia menyarankan untuk pinjam ke temen perempuan.

“itu tu pinjem Dewi aja, dia punya banyak bulpen.”

Whatt ..?, Sebetulnya hari ini kenapa sih, kenapa coba kok pas banget. Ketemu sama cewek la, sebelahan la, sekarang aku harus pinjam bulpen

Eh pinjem bulpen dong” kataku sambil malu-malu.

“ohh bulpen, bentar ya”

Dia mengeluarkan wadah pensilnya dari samping, dan kulihat ada mungkin sepuluh bulben yang berbeda warna dan jenisnya. Wih banyak banget nih anak bulpennya, kataku dalam hati.

Seketika itu tangannya menjulur memberi bulpen yang warna pink, aku pun langsung menangkapnya. Lalu bilang padanya,

“kok pink yang lain kan ada, itu aja tuh yang hitam”

“oh gak suka ya, ya udah sini”

Dia mengambilnya kembali sambil memberikan yang baru yang aku minta. Saat itu juga tangannya menjulur dan aku hendak mengambilnya lalu tangannya kembali sambil mendekap bulpen tersebut.

“kalo ini jangan ah, kan ini pemberian ibu ku dari Malaysa.”

Ya udah yang lain saja” kataku.

Dia memberikan yang warna biru, aku pun hendak meraihnya. Tapi lagi-lagi dia menggugurkan niatannya.

“ini juga jangan ah, ini juga susah belinya gak ada di sini”

Aku mulai kesal.

“yang ini aja” katanya.

Aku pun mengambilnya dengan sedikit malas, tapi sekali lagi, dia memberi harapan palsu. Tanganku yang sudah ingin merainya dianya dengan sergap mendekap pulpen yang hendak iya berikan.

Aku benar-benar kesal sekarang.

“aghh.. ya udah yang mana saja napa sih, ini sudah ketinggalan jauh nulisnyaaa..”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!