Usai pembagian rapot di sekolah, akhirnya aku bisa menikmati liburan panjang. Meskipun aku tidak mendapat rangking atas, tapi aku tetap mendapat nilai yang lumayan baik.
Aku tetap bahagia karena membayangkan keluargaku mengajak aku pergi liburan.
Ayah dan ibuku mengajakku pergi liburan ke suatu tempat wisata yang menyenangkan. Aku sangat tidak sabar untuk pergi menikmati liburan.
Bahkan, aku bingung untuk memilih pakaian mana yang akan kupakai. “Kali ini aku pakai baju yang mana ya?” Tanyaku dalam hati. “Ah yang biru sangat bagus, tapi yang merah juga sangat cocok!”
Aku pun pergi menemui ayah dan ibu yang sedang asyik menonton TV. Lalu aku berbincang dengan mereka, “Ayah, Ibu, bagaimana kalau kita pergi liburan ke pantai? Aku sangat ingin pergi ke sana”.
Ayah dan ibu tiba-tiba hanya saling pandang, lalu ayah berkata “Nak, liburan kali ini kamu di rumah saja ya sama Ibu, karena Ayah harus ada pekerjaan di luar kota.”
Aku sangat kecewa dengan pernyataan ayah tapi aku harus menerima keputusannya.
Hari-hari telah berlalu dan aku hanya menikmati libur sekolahku di rumah saja. Meskipun aku sebenarnya juga ingin pergi ke luar rumah bersama teman-teman.
Tapi ibu melarangku pergi ke luar, dan hanya menyuruhku membantu melakukan pekerjaan rumah seperti bersih-bersih rumah. Kalaupun aku keluar hanya saat ke pasar dan itu pun juga ditemani oleh ibu.
Namun, aku tetap melakukan pekerjaan yang produktif seperti belajar untuk menyambut ujian nasional yang akan berlangsung beberapa bulan lagi.
Sebenarnya aku juga merasa suntuk berada di rumah terus. Terkadang aku ingin menolak permintaan ibu saat menyuruhku, tapi aku cuma bisa terima dan melakukannya.
Pergi jalan-jalan
Pada suatu sora ibu mengetuk pintu kamarku dan bilang kepadaku “kamu segera mandi ya, Ibu tunggu di luar.” Aku menjawabnya “loh kita mau kemana Bu?”
Lalu, ibu menjawab “Ibu mau mengajak kamu jalan-jalan ke taman kota, ya sekalian masa kau di rumah terus.” Sontak aku merasa senang “yang benar Bu, oke kalau begitu aku mandi dulu.”
Setelah itu, aku pergi ke taman kota bersama Ibu. Meskipun hanya jalan-jalan sore di sekitar taman, aku sudah merasa senang banget.
Mungkin ini karena aku terlalu lama berdiam diri di rumah dan baru kali ini menikmati jalan-jalan. Yang pasti aku sangat senang karena.
Dengan seragam putih abu-abu yang sudah lusuh karena seharian beraktivitas di sekolah, aku memaksakan untuk menukarkan buku di perpustakaan kota.
Buku bercover warna biru putih itu sudah lama belum aku kembalikan. Jika aku menundanya lagi, sudah pasti tunggakanku makin banyak.
Aku tak selesai membacanya karena hanya berisi cerpen remaja yang remeh temeh tentang cinta. Setelah sampai ke meja pustakawan, terlihat pustakawan sudah siap-siap mau pulang.
Segera, aku bilang untuk memberitahu ingin mengembalikan buku. Hanya saja, ibu pustakawan yang sudah beruban itu bilang, "Diurus sama mas yang itu, ya. Lagi magang dia. Reno, sini, No". Sosok tinggi berusia 20 tahunan itupun langsung menghampiri meja pustakawan. "Ibu pulang duluan ya, No. Anak bakal rewel nih".
"Ah iya bu," lelaki itu hanya tersenyum sopan. Lantas ibu itu pergi keluar dan menyisakan kami berdua.
"Bidhari, ya.. tunggakannya Rp.20.000," ujarnya sambil mengecek di layar komputer. Aku serahkan uang itu kepadanya, lantas ia tersenyum sambil menerima uangku, "Namanya bagus".
"Terima kasih, Mas," hanya itu yang bisa kuucapkan karena terlalu salah tingkah dengan pujian yang aku terima. Pasalnya, baru pertama kali ada yang memuji namaku.
Segera aku berbalik arah dan mencoba tidak berbalik. Namun, ia memanggil dan menyusulku. Ia pun menghalangi jalanku dengan postur tubuhnya.
"Kartu perpusnya ketinggalan, Dek," ujarnya sambil tersenyum. Aku kembali kikuk dan mengucapkan terima kasih.
Sepertinya kikukku terlihat jelas olehnya. Segera kupercepat langkah juga. Namun, saat perjalanan pulang, aku terus memikirkannya.
Inikah yang dirasakan para tokoh-tokoh remaja di buku cerpen remaja saat jatuh cinta? Sekarang, aku menjadi tahu apa yang harus kulakukan, sesering mungkin ke perpustakaan kota.
Enam+
00:55
VIDEO: Amir Khan Ketahuan Doping! Dibanned 2 Tahun dari Dunia Olahraga
...4 dari 4 halaman...
Terbalik
Gadis itu terpaku. Matanya sinis terhadap apa yang ia lihat. Ia melihat sosok gadis seumuran dengannya bermanja ria dengan orang tuanya duduk di resto. Ia yang melihat pemandangan dari luar cafe itu hanya bisa berdiam.
"Kamu kenapa, Ri?," sapaan temannya menghentikan lamunannya
"Gak apa-apa, ayo kita ke rumah Jihan!" Riri ceria kembali dan menyembunyikannya dari teman-temannya.
Gadis berusia 15 tahun itu menguncir rambutnya sambil jalan. Sifatnya yang ceria membuat siapa pun senang berteman dengannya.
Ia pun disegani guru-guru karena pintar dan sopan. Tapi, tanpa orang-orang sadari, ia memiliki lubang hitam di hatinya yang belum terlihat oleh siapa pun.
Jarak antara SMP dan rumah Jihan hanya beberapa meter. Alhasil mereka hanya jalan dan masuk ke kompleks rumah. Pada saat perjalanan pulang, Jihan yang berjalan di depan menghentikan langkah.
"Ri! Ri! Itu bapak kamu kan?" Jihan
Riri berdiam lalu kembali berlari ke arah sekolah. Ia tak mau melewati mobil ayahnya yang sedang bersama wanita selingkuhan.
Sontak teman-temannya pun mengejar dan merasa kebingungan. Mereka memanggil-manggil Riri, tapi tak digubris.
Sampai akhirnya di taman sekolah yang sudah sepi, mereka menemukan Riri tersungkur di pojok dinding taman.
"Tenang ya, Ri," ujar Hana.
"Kita bakal bantu kamu kok apa pun yang terjadi," ujar Jihan sambil memeluk Riri.
Pada hari itu, menjadi hal yang akan diingat oleh Riri. Bahwa masa mudanya tidak selalu berjalan mulus.
Akan selalu ada kepedihan yang akan diingat. Satu di antarnya ialah masalah keluarganya. Untungnya teman-teman Riri bisa diandalkan. Riri pun menjadi tenang kembali
Kamu harus punya mimpi masuk universitas negeri terkemuka. Mimpi kamu harus melampaui kakak-kakakmu. Kalau kamu tidak mau jadi dokter, kamu boleh ambil teknik pertambangan.” Kata Ayahku di depan keluarga besar kami.
Aku Ankarian, anak terakhir dari enam bersaudara. Keluargaku termasuk keluarga yang disegani oleh masyarakat sekitar. Dibesarkan oleh tata krama, pandangan sosial, dan derajat yang mereka anggap tinggi.
Sebagai anak, wajib hukumnya mengikuti kemauan orang tua. Jika tidak, maka akan di cap sebagai pembangkang. Definisi sukses dan bahagia yang dipikirkan hanyalah soal derajat dan materi. Padahal lebih dari itu, kebahagiaan adalah bagaimana kita menikmati proses hidup menjadi lebih berarti.
Jika melihat riwayat pendidikan dari keluarga besarku, mencapai strata satu sudah sangat biasa. Bahkan setiap anak wajib melewati gapaian kakak-kakaknya. Dari prestasi akademik hingga non-akademik, semua anak wajib menorehkan nama.
Aku terlahir menjadi yang paling biasa. Paling tidak ingin repot karena tuntutan orang-orang dewasa. Paling tidak ingin memiliki ambisi berlebihan. Paling tidak ingin memaksakan hidup hingga lupa menikmati hidup.
...ADVERTISEMENT...
Aku ingin berproses dengan caraku sendiri. Aku ingin bergerak sendiri, aku ingin mengambil keputusan dengan pilihanku sendiri. Dan aku ingin hidup dengan jalanku sendiri. Setidaknya, aku ingin benar-benar hidup dengan kemampuanku sendiri.
Sayangnya, semua hanya keinginanku saja. Tidak pernah dapat terwujud dan tak pernah berani aku lakukan.
“Kamu harus sekolah di sini. Mengikuti semua kakak-kakakmu.” Kata Ayahku ketika aku ingin mendaftarkan diri ke sekolah lain.
“Kamu sekolah di sini saja. Jalanmu menuju universitas impianmu akan lebih mudah.” Kata kakak laki-laki tertuaku.
“Kamu harus masuk jurusan ini. Kamu akan mudah dikemudian hari.” Ucap kakak perempuanku.
Impianku, kemudahan untukku, benarkah itu semua untukku? Atau hanya untuk mewujudkan mimpi mereka melalui aku? Aku bukan lah boneka. Aku bukan lah alat untuk mewujudkan mimpi-mimpi tertunda mereka. Karena sesungguhnya, aku pun memiliki mimpi seperti mereka.
...ADVERTISEMENT...
Aku turuti semua keinginan mereka. Aku masuk sekolah pilihan ayahku, aku melanjutkan di sekolah pilihan kakak laki-lakiku. Aku masuk jurusan sesuai dengan keinginan kakak perempuanku.
Bosan. Sangat bosan. Rasanya melelahkan hanya mengikuti keinginan orang-orang dewasa. Aku ingin melakukan apa yang aku suka juga. Tidak mengerti kah bahwa setiap anak memiliki mimpi masing-masing? Tidak bisa kah percaya kepada mimpi anak dan tetap mendukung inginnya?
Saat memasuki Sekolah Menengah Atas, setiap siswa diwajibkan mengikuti satu ekstrakurikuler. Berkegiatan di luar sekolah adalah keinginanku. Setidaknya begitulah cara yang dapat aku lakukan untuk menjauhkan diri dari lingkungan keluarga yang selalu menekanku. Maka, jangan pernah salahkan anak jika lebih asyik berkegiatan diluar. Bisa jadi, itu karena lingkungan keluarga yang tidak memberikan ruang untuk kebebasannya.
...ADVERTISEMENT...
Aku memilih ekstrakurikuler teater. Jadwal kegiatannya lebih padat dari dugaanku. Di hari libur aku masih harus berlatih, dan ternyata kegiatan ini sangat menyenangkan. Setidaknya, ini membuatku lupa akan masalah yang ada di keluargaku.
“Aku mau ikut lomba teater.” Ucapku di depan Ibuku
“Apa? Buat apa kamu ikut kaya gitu? Mending belajar buat olimpiade nanti.”
“Tapi ini tingkat Nasional. Aku udah ikut seleksinya dari jauh-jauh hari, Bu.”
“Terserah kamu.” Jawab Ibu dengan ketus
Aku yakin, pasti aku dianggap membangkang karena berkesenian. Di keluargaku tidak ada yang menekuni bidang seni apa pun. Hingga muncul lah anggapan bahwa berkesenian hanya membuang-buang waktu. Tidak memiliki masa depan.
Jawaban ketus Ibu mengantar kepergianku menuju lokasi perlombaan. Tidak ada restu dari orang tua, tidak ada yang mengantar menuju bandara. Penerbangan menuju Yogyakarta kuhabiskan dengan melihat cermin diri. Mencoba menguatkan hati agar tetap teguh berdiri walau berjuang seorang
Rasanya sungguh berat. Memperjuangkan mimpi tanpa ada dukungan dari keluarga. Jika mereka melihat aku tak mampu, maka aku harus membuktikan bahwa mereka salah. Aku tidak akan banyak berbicara, tapi aku akan berjuang sekuat tenaga.
Melaksanakan yang terbaik, menampilkan semua kemampuan dengan maksimal telah aku lakukan. Aku baru saja keluar arena pertunjukan. Pertunjukanku sudah berakhir dari 15 menit yang lalu. Aku menatap layar gawaiku. Tidak ada pesan masuk dari keluargaku. Entah yang menyemangati atau sekadar basa-basi.
Keesokan harinya aku kembali ke arena pertunjukan. Malam ini, adalah malam puncak dari rangkaian acara perlombaan. Aku tidak mengharapkan apa pun, aku harus mempersiapkan diri untuk kembali. Apa pun hasilnya, mungkin tidak akan mempengaruhi.
“Ray, lu Ray. Nama lu disebut itu.” Kata Karina sambil menarik earphone yang menggantung di telingaku.
“Apa sih Kar? Disebut apaan?” Jawabku sambil membetulkan kembali earphone-ku.
“Itu lu Juara 1 Ray. Lu menang.” Katanya antusias sambil menunjuk layar besar yang ada di depan dan memelukku secara spontan.
Aku terdiam. Terpaku melihat namaku berada di layar besar itu. Dan Karina masih memelukku. Aku merasakan mataku mulai memanas. Genangan air lolos begitu saja diluar kendaliku. Aku menangis.
Karina menyadari perubahan emosiku. Aku yang menunduk dan berusaha menyembunyikan air mataku merasakan ada tangan yang menggenggamku.
“Kamu hebat Ray. Dan semua orang di sini tahu itu. Kamu dan kegigihanmu berhak mendapatkan ini. Sekarang, waktunya kamu menikmati apa yang sudah kamu usahakan.” Dia mengusap air mataku lalu memintaku bergegas naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan.
Setelah acara puncak itu, aku semakin yakin dengan mimpiku. Aku semakin yakin dengan keinginanku. Aku ingin menjadi seniman. Aku ingin terjun di dunia teater yang telah banyak mengajarkanku tentang kehidupan.
Mungkin orang akan berkata, “Teater itu tempat bersandiwara. Kamu tidak akan bisa belajar dari hal-hal bohong. "Tidak. Salah besar orang yang mengatakan itu. Aku merasa lebih hidup ketika mendalami teater. Ternyata, berteater mengajarkan tentang hidup yang sebenarnya. Tentang bagaimana memanusiakan manusia. Tentang bagaimana kita harus mengolah emosi disaat yang lain mungkin tidak bisa meredamnya. Kita, harus lebih peka terhadap sekitar kita. Setidaknya, itulah yang aku dapatkan dalam tiga tahun aku bergabung di teater sekolah.
Pendaftaran perguruan tinggi semakin dekat. Setiap siswa sudah mulai mempersiapkan diri untuk mencari perguruan tinggi mana yang akan menjadi tujuan mereka. Tidak terkecuali aku. Aku sibuk mencari universitas yang akan menunjang mimpiku untuk menjadi
Setelah aku putuskan untuk mengambil salah satu universitas di kota pelajar, aku mendatangi guru BK di sekolahku. Melihat nilai rapor dan portofolio yang aku miliki, guru BK-ku mendukung dan yakin bahwa aku akan mendapatkan salah satu kursi di sana.
“Ini sudah bagus. Peluang kamu sepertinya cukup besar. Tinggal kamu minta persetujuan orang tuamu, yah.” Kata guru BK.
Aku menghela napas berat. Ini tidak akan mudah. Sepulang sekolah, aku harus langsung membicarakan ini dengan orang tuaku. Aku tidak ingin lagi menjalankan sesuatu yang tidak aku sukai.
Benar saja. Perdebatan panjang tentang masa depanku terjadi kala aku mengutarakan niatku menjadi seniman. Di sini aku yang akan menjalani perkuliahan. Di sini aku yang akan berjuang selama empat tahun pembelajaran. Di sini aku yang akan mengerjakan tugas dan segala kegiatan.
Aku mengembuskan napas berat untuk yang kesekian kalinya. Aku sudah lelah mendengarkan perdebatan panjang mereka.
“Yah, bu, kak. Yang kuliah itu aku. Aku cuma minta restu kalian. Aku pengen semua pilihan yang aku ambil di ridhoi Tuhan. Aku gak mau ngejalanin apa yang enggak aku suka lagi. Aku udah besar. Aku berhak menentukan pilihanku sendiri.” Kataku sambil menahan perasaanku.
“Aku ingin membuat kalian bahagia. Tapi tentu dengan jalanku sendiri. Dan aku yakin aku pasti bisa. Tolong kasih aku kesempatan. Aku ingin menciptakan kebahagiaan melalui kebahagiaan juga.” Kataku yakin sambil menatap mereka.
“Kamu bener, Dek. Kamu juga berhak punya mimpi. Kakak akan dukung kamu.” Ucap kakak keduaku. Entah mengapa rasanya melegakan mendengar itu. Akhirnya, aku memiliki seseorang yang mendukungku.
...ADVERTISEMENT...
Mungkin keluargaku masih dan akan terus ragu akan pilihan yang telah aku pilih ini. Tapi, justru inilah yang menjadi pemacuku untuk berkembang dan menunjukkan kemampuanku. Aku, tidak akan membuat kecewa orang-orang yang telah mempercayaiku.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments