Setelah memastikan semua makanan dan minuman sudah tertata dengan baik di atas meja, Caitlyn segera bergegas mempersiapkan diri.
Detik bergulir dengan begitu cepat tanpa bisa dicegah dan kini Caitlyn pun terlihat sudah siap menunggu kepulangan suaminya. Jumpsuit merah tanpa lengan dengan kerah terbuka panjang, hingga memperlihatkan belahan dadanya yang indah. Rambut panjang berwarna chestnust brown itu dibiarkan tergerai begitu saja. Caitlyn kembali mematut dirinya di depan cermin.
“Apa masih ada yang kurang?” tanyanya entah pada siapa. Mungkin saja pada pantulan dirinya dalam cermin di sana. “Ah, hampir saja lupa,” imbuhnya lagi kala baru teringat akan sesuatu.
Caitlyn menunduk dan menatap pada seperangkat keperluan wanita di seluruh dunia ini yang tersusun rapi di atas meja rias. Rapi? Bukankah harus berantakan karena Caitlyn sedang bersiap-siap? Realitanya memang rapi dan selalu seperti itu. Benda-benda yang ada di sana hampir tidak pernah bergeser dari tempatnya. Tumpukan alat make up dengan brand ternama di sana hanyalah pajangan karena sesungguhnya Caitlyn sangat malas menggunakan semua itu. Ah, tidak. Dia tidak begitu mahir mengaplikasikan alat-alat tersebut ke wajah cantiknya. Lipstik pun tidak akan dia gunakan jika bukan untuk menghadiri sebuah acara formal. Pantas saja meja rias dengan desain mewah itu selalu terlihat rapi.
Caitlyn hanya lebih senang merawat kulit dan bentuk tubuhnya daripada berias. So, tidak heran jika wanita satu ini terlihat cantik alami dengan kulit yang begitu putih, halus, lembut bagaikan susu, serta postur tubuh yang indah bak model.
Tangan Caitlyn terulur meraih lipstik, kemudian mengoleskan pada bibir tipis miliknya yang selalu berwarna alami. But not for this time. Let she sparkle with red.
“Seperti ini, ‘kan?” Berbicara sendiri sambil memperhatikan wajahnya dengan teliti. “Aku kira cukup. Jangan berlebihan, Lily. Kau akan terlihat seperti wanita malam atau bahkan seperti badut.” Caitlyn tergelak membayang ucapannya.
Selesai dengan urusan bibir, si cantik itu meraih sebotol parfum dan memberikan sentuhan terkahir untuk menyempurnakan penampilannya malam ini.
“Well, done!”
Kaki jenjang Caitlyn segera membawanya keluar dari kamar. Jangan lupa rutinitas di depan pintu. Tarik napas dalam-dalam, lalu embuskan dengan pelan. Begitu pintu tertutup, Caitlyn menaikan dagunya dan mulai berjalan bak di atas catwalk menuju ruangan khusus yang dia sendiri sudah persiapkan sebelumnya.
“Terima kasih, Dita. Kau boleh pergi dan melanjutkan tugasmu yang lain,” titah Caitlyn santun tetapi sedikit tegas.
“Baik, Nona. Saya permisi.” Pelayan itu sedikit membungkuk lalu segera berlalu dari sana meninggalkan Caitlyn sendiri menunggu suaminya.
Pelayan itu memang ditugaskan sedari awal tadi untuk berdiri di samping meja yang sudah tertata. Bukan apa-apa, tetapi Caitlyn memang tidak percaya dan tidak akan pernah percaya dengan ibu mertuanya. Tidak untuk sekarang maupun nanti.
Caitlyn melihat jam tangan yang melingkar cantik di pergelangan tangannya dan waktu setempat menunjukkan pukul 19.20 PM.
“Sebentar lagi,” gumam Caitlyn.
Wanita itu memandang ke luar jendela dengan perasaan yang berbeda. Tiba-tiba saja senyum indah yang tercetak sedari tadi berganti senyum miris di wajahnya. Caitlyn mendongak begitu dia merasakan matanya mulai memanas.
Tidak, tidak. Tidak untuk sekarang sebelum semuanya tuntas. Tahan, Ly. Tahan ….
Dia mencoba tertawa sambari menelisik setiap sudut ruangan itu. Tidak ada yang berubah selama tiga tahun terkahir. Namun, mungkin saja setelah malam ini semuanya akan berubah. Apapun itu, Caitlyn sudah memantapkan hati jauh sebelum malam ini dan yang akan terjadi di hari esok.
Lagi-lagi dia melirik jam tangannya. “Huh, aku terlalu berharap.”
Caitlyn menertawai dirinya sendiri. Jenuh menunggu, wanita itu berdiri lalu melangkah ke arah jendela ruangan tersebut. Berhenti di sana lalu menatap keluar menyapu hamparan kota yang diterangi cahaya bulan dan lampu-lampu. Caitlyn melipat tangannya di dada kemudian menunduk menatap gerbang besar kediaman keluarga Sanjaya. Namun, Belum juga terlihat tanda-tanda kedatangan seseorang yang dia tunggu sedari tadi.
Caitlyn hendak melirik sekali lagi jam yang melingkar di tangan, tetapi suara ribut-ribut dari arah bawah menyita perhatiannya. Wanita itu segera melangkah keluar dengan langkah sedikit terburu-buru dan dia langsung disambut sang mertua di depan tangga.
“Heh, anak pungut tidak tau diri! Kau pikir kau siapa, hah? Siapa yang jadi nyonya besar di rumah ini? Berani-beraninya kau menyuruh mereka untuk melarangku naik ke atas? Wah, wah–”
“Kita bicara di atas, Ma.” Satu kalimat singkat dengan nada datar itu membuat ucapan Sania terhenti dan semakin dipenuhi emosi. Akan tetapi, dia pun melangkah mengikuti Caitlyn yang sudah berbalik pergi terlebih dahulu.
“Apa lagi yang kau inginkan?” tanya Caitlyn tanpa menaruh hormat sedikit pun. Wajah cantiknya terlihat dingin tanpa ekspresi.
“Apa lagi memangnya?” Sania balik bertanya dengan tidak tahu malunya. “Tidak perlu berbasa-basi ….” Wanita paruh baya itu menengadahkan sebelah tangannya dengan gaya angkuh. “Berikan cek atau transfer langsung ke rekening–”
“Kau tidak akan lagi mendapatkan sepeser pun. Tidak akan pernah mulai malam ini.” Rendah tetapi penuh penekanan nada bicara Caitlyn.
Melihat wajah Sania yang kaget dan shock, membuat Caitlyn semakin menaikkan wajahnya. Mata indahnya menatap sang mertua dengan sangat tajam.
“Tidak perlu terlihat shock seperti itu. Bukankah sejak awal sudah aku ingatkan bahwa hari ini akan tiba? Jangan katakan jika kau lupa akan perkataanku, Mama mertua.” Caitlyn memberi penekanan di setiap kata-kata yang terlontar.
Sania terbelalak mendengar perkataan barusan. “Kau … jangan bilang kau ingin ….” Sania tidak dapat meneruskan kata-katanya.
“Ya, tentu saja. Aku sudah memutuskan untuk tidak akan lagi menjadi alatmu–”
Sania tiba-tiba tertawa keras membuat Caitlyn keheranan melihatnya.
“Kau pikir kau bisa hidup tanpa keluarga ini? Bahkan sejak kau dipungut pun uang dari keluarga inilah yang membesarkanmu.” Sania mencengkram pipi mulus Caitlyn. “Lihat dirimu. Semua yang menempel padamu ini apakah uang dari nenek moyangmu yang sudah menelantarkanmu, hah? Apa kau bisa hidup tanpa kemewahan ini? Belagu juga liat kondisinya, Menantu tidak tau diri!” Semakin mengencangkan cengkramannya.
Namun, tindakan itu tidak berlanjut karena suara yang memanggil Sania dari arah tangga terdengar begitu nyaring. Sania melepaskan Caitlyn tetapi disertai ancaman kecil.
“Transfer malam ini juga atau–”
“Atau apa?” potong Caitlyn dengan cepat.
“Akan kuberitahu soal dirimu yang diam-diam sering mengunjungi seorang pria di ap–”
“Permisi, Nyonya besar. Nyonya Sanju mencari Anda dan beliau menunggu di bawah.” Seorang pelayan datang menghentikan ucapan Sania.
Wanita itu melepaskan Caitlyn dan segera turun menemui mertuanya diikuti sang pelayan tadi. Sementara itu, Caitlyn terdiam dengan tubuh menegang. Dia tidak akan menyangka jika Sania akan memata-matai urusan pribadinya sejauh ini.
Caitlyn berbalik dan berlari kecil menuju ruangan tadi. Dia langsung menjatuhkan bobot tubuhnya di atas kursi dengan ukiran kayu di sana. Wajahnya terlihat sedikit kacau dan juga panik. Namun, Caitlyn berusaha menyetel kembali raut wajahnya seceria mungkin.
Usahanya tidak sia-sia karena tidak lama setelah itu, sang suami yang dia nanti sedari tadi akhirnya tiba di rumah.
Caitlyn mengangkat menoleh begitu mendengar bunyi derap langkah yang mendekat memasuki ruangan. Senyum lebar terukir di wajahnya saat melihat dia yang datang. Namun, ….
Kenapa? Ada apa?
Caitlyn bertanya dalam hati sambil menatap sekeliling mencari jawaban atas diamnya sang suami di depan pintu ruangan itu. Lelaki itu berhenti melangkah dan terdiam di tempat dengan pandangan yang lurus ke depan. Beberapa detik kemudian dia menggeleng cepat lalu kembali melangkah menghampiri istrinya.
“Kau sudah lama menunggu?” tanya Lean, suami Caitlyn. Pria itu langsung duduk bersebrangan dengan istrinya.
Caitlyn masih merasa bingung dengan sikap suaminya yang tadinya terdiam sejenak, kini berdehem berulangkali terlihat sangat tidak nyaman. Apakah suaminya ini sedang gugup? Oh, halo … yang benar saja seorang Aleandro Sanjaya gugup karena berduaan dengan istrinya yang bahkan tidak dia cintai sama sekali? Lelucon konyol macam apa ini? Begitu yang terlintas di benak Caitlyn.
“Kalau aku bilang iya kau tidak akan percaya seperti biasanya,” jawab Caitlyn dengan tenang.
Lean tersenyum culas sembari sedikit melonggarkan dasinya. “Jadi hanya ini kejutanmu?”
Pria itu menatap beberapa menu di atas meja dan bergantian menatap istrinya.
“Adakah hal lain yang kau butuhkan lagi di dunia ini? Sedangkan kau telah memiliki segalanya.” Caitlyn masih dengan senyum yang sama.
“Sudah kuduga. Kejutanmu tidak pernah membuatku terkejut tapi tetap saja aku senang.” Ya itulah Lean. Tidak benar-benar peduli dengan apa yang dilakukan istrinya. Akan tetapi ada hal-hal kecil yang disenangi lelaki ini dari diri Caitlyn yaitu perhatian. Apapun bentuk perhatian itu, asalkan bukan makanan. Ingat, dia sangat takut diracuni sang istri. What the hell?
“Kau tidak sedang ingin membunuhku, ‘kan?” tanyanya memastikan dengan mata memicing.
Caitlyn terkekeh. “Kalaupun iya, kenapa tidak aku lakukan saja sejak tiga tahun lalu?” Dia makin tertawa melihat Lean yang tersenyum masam. “Happy anniversary, Al.” Entah mengapa, ucapan itu terdengar sangat tulus di telinga Lean. Tidak seperti ucapan yang sudah-sudah.
Sepasang suami-isteri itu lalu menikmati makan malam dalam diam, hingga Caitlyn menawarkan wine untuk Lean. Pria itu menerima dan keduanya pun bersulang.
Lean terus meneguk minuman dari hasil fermentasi itu sembari berceloteh banyak dengan sang istri. Caitlyn tersenyum kecil. Dia tahu persis bahwa jika ingin membuat pria ini banyak bicara, maka dia hanya perlu sedikit wine. Dia yang sedari tampak menghindari tatapan sang istri, kini mulai bisa menatap dengan sesukanya.
Caitlyn bangkit berdiri lalu menghentikan tangan Lean yang hampir saja menuangkan wine ke dalam gelasnya untuk kesekian kali.
“Cukup, Al. Aku masih punya sesuatu untukmu.” Hendak menarik tangan Lean dan melangkah, tetapi tubuhnya justru ditarik dan tenggelam dalam dekapan Lean.
“Aku tau yang ingin kau perlihatkan. Bukankah ini?” Lean menarik bagian depan baju istrinya memperlihatkan pemandangan yang membangkitkan gairah.
“Bukan–”
Ucapan Caitlyn terhenti saat Lean dengan cepat menyambar bibir tipisnya yang sedari tadi terlihat menggoda. Ah, seharusnya Caitlyn memperkirakan hal ini sebelumnya. Dalam keadaan mabuk, Lean akan bersemangat untuk menyakitinya dengan sentuhan-sentuhan brutal seperti ini. Bodoh, itulah kata yang tepat untuk Caitlyn saat ini.
“Apalagi yang bisa kau lakukan selain memberikan tubuhmu ini, hm?” Kembali dia meraup bibir Caitlyn, tetapi sebentar saja. Dia kemudian menariknya menuju ke kamar.
Lean langsung mendorong pelan tubuh istrinya ke atas ranjang dan dia ikut berbaring menindih tubuh yang jauh lebih kecil darinya itu.
“Kenapa kau terlihat begitu cantik malam ini? Mau sengaja ingin menggodaku, ‘kan?”
Lean bangkit dari atas tubuh sang istri setelah memberikan satu kissmark di leher jenjangnya. Pria itu melepaskan dasi dan juga jas, lalu melemparkan ke sembarang arah. Dia bahkan melepas tiap kancing kemejanya dengan tidak sabar.
“Padahal kau bisa memintanya jika kau ingin,” ucap Lean dengan suara berat.
Caitlyn hanya memperhatikan setiap gerakan sang suami dengan tenang, hingga tangan besar itu berada pada kancing terkahir, Caitlyn lantas bangkit dan mengucapkan satu kalimat yang mampu menghentikan gerakan Lean.
“Mari kita bercerai, Al!”
Seketika Lean mematung di tempatnya. Meskipun wajah itu tidak menujukkan keterkejutan, tetapi Caitlyn yakin bahwa Lean mendengar ucapannya. Detik berikutnya Lean tertawa remeh.
“Berhenti bercanda! Aku tidak lagi berhasrat.” Lean menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, tetapi perkataan Caitlyn selanjutnya kembali menarik dia untuk bangun.
“Aku serius, Al. Ayo, bercerai! Kita lepaskan diri kita dari ikatan penuh drama ini,” jelas Caitlyn.
“Sebenarnya aku yang mabuk atau kau, hah?” Lean berdecak lalu mengancingkan bajunya kembali dan hendak melangkah keluar, tetapi Caitlyn menahannya.
“Aku tidak mabuk, Al. Aku serius. Bukankah ini yang kita inginkan bersama?” Sekali lagi Caitlyn meyakinkan.
“Jadi ini kejutan yang kau maksud itu?” tanya Lean tanpa berbalik menatap Caitlyn.
“Ya. Kali ini kau terkejut sekaligus bahagia, bukan?” Entahlah, tetapi ucapan itu menembus hati Lean.
“Tidurlah! Kau tampak kelelahan mempersiapkan kejutan ini, bukan? Aku akan keluar sebentar.” Setelah mengucapkan itu, Lean segera menghilang dari sana tanpa mau mendengarkan panggilan Caitlyn sedikit pun.
...TBC...
...🌻🌻🌻...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Yuni Verro
lean menyanyangimu catlyin
2023-05-18
1