Dalam ruang meeting selama satu jam lebih, Aleandro seolah tidak mendengarkan apapun. Hati dan jiwa lelaki itu bahkan berkelana ke mana-mana, hingga meeting selesai dan orang-orang mulai meninggalkan ruangan pun, Lean tidak menyadarinya.
Untunglah ada Jerry yang selalu bisa diandalkan untuk menangani setiap keadaan kacau yang disengaja maupun tidak disengaja atasannya.
“Em, maaf, Tuan. Apa Anda akan terus berada di sini?” Jerry sedang mencoba menyadarkan sang atasan.
Lean sedikit kaget tetapi dia cepat sekali menguasai diri. “Oh, sudah selesai yah?”
Kembali hening dengan Lean yang tampak diam sambil sedikit menunduk dan memijat pangkal hidungnya. Sementara itu, Jerry ikut terdiam tanpa menjawab pertanyaan atasannya. Sejujurnya lelaki itu bingung dengan situasi yang sedang terjadi saat ini.
Terdengar helaan nafas panjang dan berat. Sedikit, Jerry mulai bisa memahami jika atasannya itu memiliki masalah.
“Menurutmu, kenapa wanita ingin meminta cerai?” tanya Lean tiba-tiba.
“Ha?”
Lean berdecak. “Ck, tidak usah kaget. Jawab saja yang kau tau.”
Lah, mana saya tau? Tentu saja saya kaget. Orang saya tidak punya pasangan.
“Kau dengar tidak?” sentak Lean.
“Ah, iya, Tuan. Ya, ya … mungkin saja sudah tak cinta lagi,” jawab Jerry seadanya yang dia tau.
Lean menggebrak meja membuat asistennya terlonjak. “Jadi kau ingin bilang dia tidak mencintaiku lagi, hah?”
“Oh, eh … bu-bukan begitu maksudku, Tuan.” Issshhh, kenapa juga saya yang salah, sih?
“Jawaban lain!” ucap Lean dengan tegas.
Dih, pemaksaan. “Emm, bisa jadi dia merasa terluka atau tersiksa dengan sikap pasangannya–”
“Stop!”
Lean langsung bangkit dan berjalan keluar disusul oleh sang asisten. Tiba di ruangannya, Lean kaget mendapati sosok Tamara di sana. Belum selesai dengan kekesalan terhadap istrinya, datang lagi hal baru yang lebih mengesalkan.
Sekesal-kesalnya Lean pada sang istri, tetapi lebih kesal lagi dia terhadap mantan kekasihnya itu. Hubungan mereka sudah berakhir 4 tahun lalu, tetapi Tamara masih saja dengan tidak tahu malu menempel padanya.
Seperti yang dia lakukan saat ini. Datang tanpa diundang, bahkan tak diinginkan sama sekali. Lean bahkan bosan menghadapinya. Sikap dingin yang dia perlihatkan selama ini, tidak jua mampu memberi dampak jera ataupun menyerah pada wanita itu.
“Pergilah, Ara! Aku sedang tidak berselera untuk berdebat. Aku muak melihat tingkahmu yang memalukan ini.”
Lean langsung menghempaskan tubuhnya di atas kursi kebesaran. Tangannya terangkat melonggarkan dasi.
“Sejak kapan aku peduli akan hal itu, Baby?” Mendekat ke arah Lean dan memilih duduk di ujung meja kerja milik pria itu. “Kau tahu bahwa aku tidak akan menyerah sampai kau melapaskan wanita jalang–”
“Tamara!”
Tidak hanya Tamara yang tersentak, tetapi juga Jerry yang setia berdiri di belakang tuannya. Saking kaget dan tidak percaya dibentak seperti itu, Tamara pun langsung berdiri dan terpaku.
Lean ikut berdiri lalu menatap mantan kekasihnya itu penuh amarah. Dalam hati Tamara, dia berpikir kali ini Lean benar-benar murka. Ini bukan Lean yang dia kenakan sebelumnya. Semarah apapun lelaki itu padanya, belum sekali pun dia membentak dan meneriaki namanya seperti saat ini. Takut, satu kata mendeskripsikan wajah Tamara saat ini.
“Dulu mungkin sering aku biarkan, tapi tidak lagi kali ini, bahkan kali yang akan datang. Yang harus kau catat dan kau ingat, wanita itu istriku. Aku tidak akan membiarkan wanita tidak tau malu sepertimu merendahkan istriku. Tidak seorang pun. Seburuk-buruknya dia, dia tetap istriku. Istri Aleandro Sanjaya. Camkan itu dan jangan kau ulangi lagi!” ucap Lean panjang lebar dengan begitu tegas dan penuh penekanan.
Tubuh Tamara bergetar mendengar ucapan Lean. Sangat-sangat tidak bisa diterima akal sehatnya sama sekali. Ini bukan Lean, ini bukan Lean. Hanya itu yang terus bergema di kepala Tamara.
“Kau mengerti? Sekarang keluarlah!” titah Lean setelah itu.
Tamara menggeleng kuat. “Tidak. Aku tidak ingin mengerti dan tidak akan pernah mau mengerti sampai kapanpun. It's ok, kalaupun aku keluar, itu artinya aku akan datang lagi dan bukan untuk pergi dari hidupmu!” balas Tamara ikut membentak.
Lean membuang wajahnya karena kesal melihat wajah Tamara yang begitu tidak pantang menyerah. Pria itu kembali duduk sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Apalagi yang harus dia lakukan untuk wanita ini? Begitu pikirnya.
“Aku tau kau sedang ada masalah. Dan ini mungkin yang bikin mood kamu gak baik. Tenangkan dirimu, Baby. Aku akan ke rumah dan menemui wanita itu.” Tamara menolak percaya dengan sikap Lean tadi.
Baru saja hendak melangkah, Tamara sudah tidak bisa untuk bergerak sedikit pun. Suara wanita itu bahkan hilang dalam sekejap. Dalam kekakuan dan ketidakberdayaannya yang dia lihat hanyalah amarah Lean yang meluap-luap untuknya.
“Aku peringatkan untuk menjaga langkahmu, Tamara. Jangan coba-coba kau ke rumah atau menemui istriku! Sedikit saja bagian tubuhnya kau sentuh, kau akan melihat sisi lain diriku yang belum pernah kutunjukan.” Lean berucap dengan nada rendah penuh emosi.
“Le-Lean,” ucap Tamara terbata.
“Lepaskan dia, Tuan. Dia bisa mati.” Jerry berucap sembari sedikit menyentuh pundak atasannya.
Hal itu sukses menyadarkan Aleandro yang tengah dikuasai amarah. Lelaki itu lantas melepaskan cengkeramannya dari leher Tamara. Tidak menunggu persetujuan atau perintah apapun lagi, Jerry segera menuntun Tamara keluar dengan paksa. Dia tidak mau menjadi saksi atas tindak kriminal siang itu.
“Lepaskan aku, Sailan! Aku bisa sendiri. Minggir,” sentak Tamara begitu mereka keluar.
“Wah, wah. Benar-benar tidak tau diri kau ini. Pantas saja tuan tidak sudi melihatmu apalagi saya. Hati-hati di jalan, Nona Tamara,” ucap Jerry penuh sindiran. Pria itu kemudian berbalik dan kembali masuk ke ruangan Lean.
Sementara itu, Tamara berjalan keluar gedung dengan sedikit terseok-seok. Dalam hati wanita itu sedang membuat perhitungan dengan Caitlyn. Dia tahu bahwa perubahan Lean saat ini semata karena pengaruh buruk dari Caitlyn. Oleh sebab itu dia tidak mengindahkan peringatan dari Lean. Dia justru semakin ingin melabrak Caitlyn saat ini juga.
“Ke kediaman Sanjaya, Pak!” perintah Tamara pada supirnya.
...***...
Di sisi lain, Caitlyn tampak sedang menenangkan dirinya dari rasa sakit hati dan tekanan yang begitu banyak. Hari ini menjadi hari yang berat bagi Caitlyn. Bertengkar dengan suami masalah perceraian, bertengkar dengan ibu mertua masalah uang. Selain itu dia juga harus meladeni mood nenek Sanju yang minta ampun, dan kini dia harus melihat wanita lain di ruangan kerja suaminya sendiri.
Ya, beberapa saat lalu Caitlyn hendak menyusul Lean ke kantor dan memaksanya untuk mengiyakan permintaan cerai yang dia layangkan. Namun, rupanya Tamara sudah lebih dulu tiba di sana dan melenggang masuk begitu saja ke ruang kerja Lean. Caitlyn lantas menghentikan langkah dan berbalik arah tanpa menunggu lama.
Kecewa? Sakit hati? Of course. Istri mana yang tidak sakit hati melihat suaminya masih terus berhubungan dengan sang mantan? Oh, halo … ini hati. Bukan halte bus.
Kini Caitlyn berada di apartemen milik sahabatnya, Saskia. Duduk di ruang nonton sambil menikmati sekotak pizza, tetapi tidak sedang menonton. Tempat inilah yang selalu menjadi pelarian Caitlyn dari segala kepenatan hidup yang dia jalani.
“Kenapa tidak lu labrak saja, sih, Ly? Wanita iblis, tidak tau diri seperti itu harus dikasih pelajaran. Lagian si Lean brengsek itu kok mau-maunya menerima mantan sialan kayak begitu. Jadi cowok kok bego.” Saskia menyolot emosi.
“Lu saraf yah? Barbar juga liat tempatnya kali, Kia,” sahur Caitlyn dengan nada malas.
“Elah, masih o‘on juga ini otak yah.” Saskia mendorong kepala Caitlyn menggunakan ujung telunjuknya. “Malah bagus tau gak? Kalo sampe lu bikin ribut trus si bego Lean tau dan marah, paling-paling dia mempermudah perceraian kalian,” ucap Kia penuh semangat tapi juga penyesalan.
Caitlyn tampak berpikir sejenak. “Iya juga yah? Tapi … gak ah, gak. Sama aja gua bikin Lean malu. Gak, itu gak baik untuk reputasi dia. Lu tau, ‘kan, pernikahan kita karena apa?”
“Lily, Lily. Maka dari itu dibikin imbang dong. Kalian nikah karena mereka mikirin reputasi, nah cerai juga lebih bagus dengan alasan yang sama. Iya gak? Paling gak lu yang diuntungkan, Ly.” Saskia masih dengan pemikirannya.
“Gak. Gua gak mau ninggalin dia dengan jejak gak baik. Biarkan ini menjadi akhir yang baik untuk kita.” Caitlyn berdiri lalu menuju kamar sahabatnya. “Gua mau tidur. Jangan angkat telepon dari siapapun itu!”
Saksi mengedikan bahunya. “Ck, susah kalo bicara soal hati. Lu terlalu naif karena jatuh cinta sama dia, Ly,” gumam Saskia.
...TBC...
...🌻🌻🌻...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Yuni Verro
yah namanya cinta
2023-05-18
1