Rama membantu Tiffani turun dari rumah pohon, lalu menuntun Tiffani kembali menuju rumah. Keduanya berjalan beriringan dengan jarak yang begitu dekat. Pundak Tiffani dan Rama bahkan saling bersentuh saat mereka melangkah. Sebenarnya, baik Rama atau Tiffani ingin saling menyentuh, berjalan sambil saling menggenggam tangan, tetapi keduanya belum berani melakukan hingga sejauh itu. Ada keraguan, Rama takut jika Tiffani menolak, dan begitu juga dengan Tiffani yang takut jika Rama menepis tangannya.
"Setelah ini kamu harus benar-benar masuk ke dalam kamar dan jangan keluar lagi," ujar Rama, saat mereka telah tiba di teras.
Tiffani mengangguk. "Siap, mulai sekarang aku akan mendengarkan semua nasihatmu," ujar Tiffani, sambil tersenyum pada Rama.
Sikap Tiffani yang seperti itu membuat beberapa penjaga yang berjaga di teras terlihat bingung. Penjaga-penjaga itu menatap Tiffani dengan heran, seolah mereka baru saja melihat sebuah keajaiban terjadi di hadapan mereka.
Rama tertawa, dan selanjutnya ia tidak mengatakan apa-apa lagi sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar Tiffani.
Tiffani dan Rama menghentikan langkah, lalu berdiri dengan canggung, dan saling berhadapan.
"Aku masuk dulu kalau begitu," ujar Tiffani.
Rama mengangguk. "Ya, masuklah. Selamat istirahat."
Tiffani tersenyum, ia membuka pintu, tetapi menutupnya lagi dan kembali berbalik untuk menetap Rama. "Hem, soal janjimu--"
"Aku akan berdiri di sini sampai jam dua malam," ujar Rama.
Kedua pipi Tiffani merona. "Baiklah, kalau begitu aku masuk dulu, bye, Rama." Tiffani melambaikan tangannya ke Rama.
Ram membalas lambaian tangan Tiffani. "Selamat tidur."
Tiffani segera membuka pintu kamar dan masuk ke dalam kamarnya. Begitu tiba di kamarnya Tiffani langsung melompat kegirangan. Ia berputar-putar sambil tersenyum sebelum berlari menuju ranjang dan menyalakan monitor di samping tempat tidurnya, yang langsung menunjukan wajah tampan Rama.
"Rama, Rama, Rama," gumam Tiffani, menyentuh bayangan Rama di monitor tersebut. "Dia pasti jenuh jika berdiri begitu saja, 'kan?" gumam Tiffani lagi, yang langsung meraih gagang telepon di dekatnya dan menghubungi telpon yang ada di kamar kepala pelayan. "Halo, Ria, ada yang kubutuhkan sekarang juga."
Detik demi detik berlalu, Rama bersandar di dinding, memperkirakan posisinya yang paling baik agar wajahnya dapat terlihat dengan jelas oleh Tiffani. Ia berusaha menahan senyum saat menyadari bahwa Tiffani sedang memandangnya saat ini.
"Ah, gadis itu membuatku gila," gumam Rama.
"Selamat malam, Rama," sapa Ria, seorang kepala pelayan di rumah besar tersebut.
Rama terkejut, dan wajah terkejut Rama itu terlihat jelas oleh Tiffani di layar monitor yang sekarang berada di kedua tangannya. Ukuran layar yang hanya sebesar tablet, membuat Tiffani dapat lebih mudah menggenggamnya daripada harus meletakan monitor itu pada dudukan yang ada di atas nakas di samping tempat tidurnya.
"Apa ini?" tanya Rama, saat beberapa pelayan yang datang meletakkan sebuah kursi lipat dan juga meja kecil di dinding tempat Rama bersandar tadi. Kemudian beberapa pelayan kembali datang membawa bantal leher, camilan, dan minuman bersoda, lalu mereka menata semua camilan itu di atas meja.
"Nona yang meminta kami untuk melakukan semua ini. Jangan tolak kebaikan hatinya, kalau tidak ingin dia mengamuk. Karena jujur saja, Rama, baru kamulah yang nona perlakuan seperti ini. Aneh sekali," ujar kepala pelayan itu. ”Apa kamu menggodanya?"
Rama tertawa. "Apa nona terlihat seperti gadis yang mudah tergoda?" Rama balik bertanya.
Kepala pelayan itu menggeleng. "Benar juga. Nona adalah gadis yang paling keras kepala dan berhati dingin yang ada di seantero bumi, mana mungkin dia luluh pada sebuah godaan, kecuali ...." Pelayan itu menggantungkan ucapannya, kemudian ia menatap Rama dengan tatapan menyelidik.
"Apa?" tanya Rama.
Si pelayan menggeleng. "Aku tidak berani mengatakannya, bisa-bisa Tuan membunuhku kalau sampai aku mengatakan dan berpikir demikian."
Dahi Rama mengernyit. "Memangnya apa yang kamu pikirkan?" tanya Rama penasaran. Ria memang hampir seusia dengan Rama, hingga Rama dapat berbicara santai pada wanita itu.
Si pelayan mendekat, lalu berbisik di telinga Rama. "Mungkin nona jatuh cinta padamu, karena dia belum pernah seperti ini sebelumnya." Si pelayan kemudian menjauh dari Rama, lalu melanjutkan. "Tapi bisa gawat sekali kalau sampai hal itu terjadi. Nona adalah satu-satunya penerus di keluarga ini, mana boleh jatuh cinta pada orang-orang seperti kita."
Rama terdiam, raut wajahnya menunjukan kesedihan. Ia terpukul. Sebelumnya ia tidak memikirkan hal itu. Kedudukannya dan kedudukan Tiffani memang sangat jauh berbeda, bisa-bisanya ia mengharapkan Tiffani.
"Kami memang bagai langit dan bumi," gumam Rama, sambil menatap lurus ke salah satu lubang kamera yang ada tepat di depannya.
Tiffani yang masih memperhatikan Rama melalui monitor menyentuh layar monitor. "Kenapa tiba-tiba kamu terlihat sedih?" tanya Tiffani pada dirinya sendiri.
***
Pagi menjelang. Dering alarm dari jam beker berbentuk bulan mengejutkan Tiffani. Ia meraba-raba ranjang, mencari jam yang semalam ia letakkan tepat di sebelahnya, dan langsung melempar jam itu ke seberang ruangan hingga deringnya tak terdengar lagi, saat ia tidak menemukan tombol yang benar untuk mematikan suara deringnya.
Tiffani yang hampir tertidur kembali kemudian buru-buru bangun ketika teringat sesuatu. "Astaga, hari ini aku harus dandan yang cantik. Aku dan Rama akan melukis hari ini. Jam berapa sekarang?!" Tiffani kemudian memandang jam digital yang menempel di dinding. "Astaga, setengah delapan!"
Tiffani melompat dari tempat tidur, dan segera berlari menuju kamar mandi.
Sementara itu di halaman samping rumah yang letaknya dekat dengan gudang, Rama dan Mona sudah sibuk dengan berbagai macam peralatan lukis seperti cat air, kanvas yang sudah terpasang pada easel atau penyangga, dan palet serta kuas.
Rama yang hanya mengenakan kaos putih polos tanpa lengan, yang dipadukan dengan celana jeans berukuran besar membuat Mona terkagum-kagum, karena otot di lengan Rama terekspos dengan jelas. Jujur saja bagi Mona, Rama terlihat sangat cool dan jantan saat ini.
"Kamu ingin melukis, atau ingin menatapku seharian?" tanya Rama, yang sejak tadi merasa jika Mona tidak berhenti menatapnya.
"Kamu adalah objek terbaik yang pernah kulihat, rasanya aku tidak ingin melukis, aku hanya ingin memandang ciptaan Tuhan yang paling sempurna ... aaah!" Mona Meringis, saat sebuah pukulan mendarat di kepalanya, dan ternyata pukulan itu berasal dari Tiffani.
"Apa yang barusan kamu katakan?" tanya Tiffani.
Mona nyengir, kemudian ia mengomentari pakaian Tiffani yang lagi-lagi merit Mona adalah berlebihan dan salah kostum. Bagaimana mungkin seorang yang akan melukis mengenakan dress yang sangat pendek, dan high heels setinggi 5 cm. Tiffani bahkan membiarkan rambut panjangnya tergerai.
"Kamu ingin melakukan pemotretan?" tanya Mona, sambil memindai Tiffani dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Kenapa memangnya?" tanya Tiffani, yang merasa tidak ada yang salah pada penampilannya.
Mona baru saja akan bicara, tetapi Rama melarang. Rama menghampiri Tiffani, lalu meraih jaket yang tadi ia kenakan dan mengikat jaket itu di sekitar pinggang Tiffani, setelan itu ia mengikat rambut Tiffani dengan menggunakan karet gelang yang melingkar di tangannya. "Boleh aku melepas sepatumu?" tanya Rama. Saat Tiffani mengangguk, Rama langsung membungkuk dan melepas sepatu berhak tinggi yang Tiffani kenakan dan menukarnya dengan sandal jepit miliknya.
Setelah selesai melakukan semua itu, Rama mundur beberapa langkah menjauh dari Tiffani, lalu menatap Tiffani seolah sedang menatap hasil karyanya. "Nah, begini lebih baik. Mulai sekarang, jangan selalu menggunakan pakaian yang terlalu pendek. Akan sangat berbahaya jika ada pria yang tergoda," ujar Rama. "Aku tidak ingin sesuatu yang buruk menimpamu saat aku tidak ada."
Kedua pipi Tiffani terasa panas, Rama sangat perhatian hingga rasanya ia ingin memeluk Rama saat ini.
Tiffani berdeham, berusaha bersikap biasa saja. Ia lalu menghampiri Rama yang sekarang sibuk dengan kuas dan cat. "Tapi kamu tidak tergoda saat aku mengenakan pakaian pendek, itu berarti tidak semua pria mudah tergoda saat ada seorang perempuan mengenakan pakaian pendek, 'kan?"
Rama kemudian menatap tiffani dengan tatapan tajam. "Apa kamu tidak tahu kalau aku sedang menahannya dengan susah payah, Tiffani?"
Deg!
Tiffani yakin jika sekarang pipinya pasti sudah terlihat semerah tomat.
Keseruan yang berlanjut di halaman samping, tidak lepas dari perhatian Richard yang sekarang tengah berdiri di balkon bagian samping bangunan utama.
"Tiffani terlihat berbeda beberapa hari ini," gumam Richard pada Damar yang berdiri di belakangnya.
"Benar, Tuan, nona terlihat lebih bahagia sejak ada Rama," komentar Damar.
Richard mengangguk. "Kamu juga berpikiran sama denganku rupanya."
"Tentu, Tuan. Aku bahkan mendapat laporan tentang kejadian kemarin." Damar kemudian menceritakan kejadian kemarin di jalan Cendrawasih kepada Richard. Mulai sejak mobil Tiffani yang diikuti penjahat, hingga keputusan Tiffani untuk menyelamatkan Rama.
"Benarkah? Padahal tidak biasanya dia seperti itu," ujar Richard sambil tersenyum.
Damar mengangguk. "Aku rasa, Rama membawa pengaruh positif bagi nona. Nona perlahan menjadi sosok yang perhatian. Nona bahkan sudah bisa mengatakan kalimat maaf, padahal nona kan paling anti minta maaf." Damar tertawa. "Ah, maafkan aku, Tuan, tapi putri Anda memang seperti itu, egois dan merasa tidak pernah salah."
Damar hanya tersenyum, lalu kembali memperhatikan Tiffani yang tertawa terbahak-bahak bersama dengan Rama dan Mona. "Sudah lama aku tidak melihat Tiffani begitu bahagia. Sejak ibunya meninggal, Tiffani menjadi pribadi yang sangat tertutup. Jika semua ini karena Rama, apa menurutmu yang pantas kuberikan untuk pemuda itu?" Richard kembali bertanya pada Damar.
Damar menggeleng. "Anda tidak bisa memberikan apa pun untuk Rama, karena dia pasti akan menolak, Tuan. Apa Anda tidak bisa membaca situasi jika Tiffani dan Rama saling jatuh cinta. Barang apa pun dan nominal berapa pun tidak akan ada artinya bagi Rama."
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 209 Episodes
Comments
Ardie willy
semakin seruu
2023-05-08
0