Burhan Lubis telah mendengar semua hal buruk dan memalukan yang menimpa putri semata wayangnya. Ya, ia tidak memungkiri jika Sela Lubis memang seringkali membuat keributan yang tidak masuk akal hanya untuk mencari perhatian dari dirinya. Namun, kali ini ia tidak dapat menoleransi apa yang Sela perbuat, karena Sela telah membuatnya malu di hadapan rivalnya yang paling ia benci, yaitu Richard Raendra. Ia dan Richard memang tidak memiliki hubungan baik, mereka bersaing di banyak hal, termasuk di dalam bisnis gelap sekali pun. Dan apa yang baru saja Sela perbuat, membuat harga dirinya semakin jatuh di hadapan Richard.
Burhan Lubis melonggarkan dasi yang melingkar di kerah kemejanya. Wajahnya yang kesal membuat atmosfer ruangan menjadi lebih dingin dari biasanya. Tidak ada yang berani berkata-kata jika wajah Burhan sudah seperti itu. Bahkan asisten pribadinya sekali pun hanya bisa diam bagai patung, dan baru akan bergerak saat Burhan memberikan perintah.
"Siapkan mobil untukku, dan kirim satu mobil untuk menjemput Sela di kampus," titah Burhan, setelah beberapa saat. "Oh, ya, jika Sela tidak mau bekerjasama, paksa saja dia. Seret jika perlu, aku sama sekali tidak peduli."
"Siap, Tuan." Asisten pribadinya yang bernama Tio langsung bergerak dengan sigap guna melaksanakan perintah yang meluncur dari bibir Burhan.
"Richard, Richard, Richard, kenapa kamu ini menyebalkan sekali." Burhan bergumam, lalu segera bangkit berdiri dan melangkah menuju elevator khusus yang ada di dalam ruangannya.
***
Mona berlari menyusuri koridor kampus sembari membawa dua minuman dingin. Napasnya terengah-engah dan tubuhnya berkeringat saat ia tiba di hadapan Tiffani dan Rama.
Tiffani yang sedang duduk di kursi taman menoleh ke Mona saat Mona berhenti di hadapannya.
"Aku dapat ... minuman boba instan yang kamu minta," ujar Mona sambil tersenyum bangga. "Aku harus berkeliling toko di sekitar sini untuk menemukannya."
"Bagus," ujar Tiffani.
"Matcha untukmu, dan matcha untukku. Dua-duanya matcha." Mona menyerahkan satu kaleng minuman dingin yang ia bawa ke Tiffani, dan satunya lagi ia tempel di sekitar pipinya. "Oh, God, aku kepanasan."
"Ck. Jangan ditempel di wajahmu, Mon, minuman ini untuk dia." Tiffani merebut minuman dingin itu dari tangan Mona dan langsung menyerahkannya ke Rama.
"Untukku?" tanya Rama, keheranan.
"Ya, untukmu. Ambilah mumpung aku sedang baik hati."
Rama mengibaskan tangan dengan cepat. "Tidak usah, Nona, aku sungguh tidak haus sekarang ini. Berikan saja pada Mona, sepertinya Mona sangat kehausan."
Mona mengangguk senang, tangannya terulur untuk menerima minuman dingin itu. Namun, bukannya memberikan pada Mona, Tiffani justru membuang minuman dingin itu ke tempat sampah yang berada tidak jauh darinya.
"Nona," gumam Rama.
"Fan, astaga, kenapa dibuang." Mona menggerutu.
Tiffani bangkit dari posisi duduknya dan menatap Rama. "Aku membeli itu untukmu, karena kamu tidak mau maka aku membuangnya. Asal kamu tahu saja, Rama, aku tidak suka ditolak!" Tiffani menyerahkan minuman dinginnya ke Mona, lalu ia melenggang pergi meninggalkan Mona dan Rama secepat yang ia bisa.
Mona langsung mengekor langkah Tiffani sambil berteriak-teriak memanggil gadis itu, tetapi percuma saja karena Tiffani tidak sekali pun menghiraukan Mona.
Rama mengusap wajahnya dengan kasar, dan memutuskan untuk menyusul Tiffani, tetapi sebelum ia mulai mengejar gadis itu, ia menghampiri tempat sampah di mana Tiffani membuang minuman dinginnya tadi.
"Dasar gadis sombong. Bisa-bisanya dia membuang minuman mahal seperti ini," gumam Rama setelah ia mendapatkan kembali minuman dingin yang Tiffani beri untuknya.
***
Pukul 16.00, semua mata kuliah akhirnya selesai. Para mahasiswa dan mahasiswi berbondong-bondong keluar dari kelas. Raut kelelahan dan bosan terlihat jelas di wajah mereka. Tidak ada lagi wajah ceria dan make-up tebal seperti saat mata kuliah baru saja dimulai di pagi hari. Beberapa mahasiswa bahkan menertawai mahasiswi yang bulu mata palsunya lepas sebelah, dan ada pula yang maskaranya berhamburan keluar dari area yang seharusnya.
Rama mencari-cari Tiffani di dalam gerombolan, ia tidak dapat melihat dengan jelas karena di depannya penuh dengan lautan mahasiswa yang baru saja keluar dari ruang auditorium juga.
Tiffani yang baru saja keluar dari kelas sebenarnya dapat melihat Rama dengan jelas, tetapi ia enggan menghampiri Rama. Ia masih kesal pada pria itu karena telah menolak kebaikan hatinya beberapa saat lalu. Padahal kebaikan hati yang ia tunjukan pada Rama adalah sesuatu yang jarang ia tunjukan ke orang lain.
"Biar saja dia kebingungan mencariku! Dasar menyebalkan," gumam Tiffani. Alih-alih menghampiri Rama, ia malah mengendap-endap menjauh dari Rama.
"Hai, cantik!"
Tiffani terkejut saat Brian mendadak muncul di hadapannya dan berteriak.
"Sial. Kamu mengejutkank, Bri." Tiffani meninju dada Brian.
"Argh! Yang barusan itu adalah tinjuan paling romantis yang pernah kudapatkan selama aku hidup." Brian kemudian mengedipkan sebelah matanya ke Tiffani.
Brian memang selama ini terang-terangan mengejar Tiffani. Ke mana pun Tiffani pergi,Brian selalu mengekor. Ia bahkan tidak peduli pada para pengawal yang selalu berkeliaran di sekitar Tiffani.
Tiffani berdecak kesal lalu segera menarik tangan Brian menjauh dari kerumunan Mahasiswa yang semakin merenggang.
"Aku butuh bantuanmu," ujar Tiffani.
Brian membungkuk hormat sambil melambaikan sebelah tangannya, seolah sedang memberi salam pada seorang putri raja. "Apa pun akan kulakukan demi dirimu, Tiffani."
"Sudahlah, jangan berlebihan. Bawa aku pergi dari sini sekarang."
"Sekarang? Tanpa Mona dan pengawalmu?" tanya Brian.
Tiffani mengangguk cepat. "Ayo!"
***
Mona dan Rama kehilangan Tiffani, dan ini sangatlah di luar dugaan mereka berdua. Saat kerumunan mahasiswa semakin berkurang di depan kelas Tiffani, Rama tidak juga melihat sosok cantik yang angkuh itu. Ia hanya melihat Mona, dan sekarang keduanya tengah kelelahan karena mencari keberadaan Tiffani di seluruh bangunan yang ada di area universitas negeri itu.
"Ke mana dia, ya, Tuhan!" Mona mengeluh, sambil mencoba menghubungi Tiffani berulang kali, tetapi Tiffani tidak mengangkat telepon darinya sama sekali.
"Apa panggilannya terhubung?" tanya Rama.
Mona mengangguk. "Ya, terhubung, tapi dia tidak mengangkat teleponnya."
Rama kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam saku jasnya. "Boleh aku minta nomor ponselnya. Jika menggunakan nomor baru, mungkin akan diangkat."
Mona menyerahkan ponselnya pada Rama sambil berujar, "Tidak akan dia terima. Tiffani paling anti mengangkat panggilan tanpa nama."
"Begitu?"
"Ya, tentu saja begitu, karena dia itu cantik dan populer. Kalau dia meladeni satu panggilan, bisa-bisa seluruh laki-laki yang ada di dunia ini akan ikut meneleponnya juga."
Rama tertawa. "Dia tidak secantik itu, dan dia bukan ratu dunia sehingga seluruh laki-laki akan menghubunginya."
Mona terkekeh. "Itu hanya kiasan. Aku tahu dia tidak sepopuler itu, tapi tetap saja dia populer."
"Ya, kuakui dia memang cantik," komentar Rama.
"Ciee, kamu menaruh rasa padanya?" goda Mona.
Rama diam sejenak, kemudian ia mengangguk. "Ya, rasa kesal. Dengan menghilang seperti ini bukankah dia sengaja membuat kita repot."
Mona tertawa terbahak-bahak. "Sebenarnya hal seperti ini sudah sering terjadi. Aku tahu dia pasti sengaja menghilang agar kamu segera mengundurkan diri atau dipecat karena lalai. Tiffani tidak suka dikawal. Apa kamu tahu jika dalam tiga bulan saja sudah ada 49 pengawal yang mengundurkan diri, dan kamu adalah pengawal Tiffani yang ke 50."
"Wah, serius?" tanya Rama,ia terlihat benar-benar terkejut.
"Jangan kaget begitu. Percayalah padaku bahwa kejadian ini baru permulaan. Aku yakin, di hari-hari selanjutnya kamu akan lebih menderita. Tegarlah, oke." Mona menepuk bahu Rama sambil tertawa.
"Tidak! Aku tidak mau ikut! Lepaskan, aku bilang lepas!"
Suara jeritan seorang perempuan terdengar hingga ke tempat Mona dan Rama berdiri. Keduanya saling pandang sejenak sebelum keduanya berlari bersamaan menuju asal suara.
"Tidak mungkin itu suara Nona, 'kan?" tanya Rama, yang terlihat benar-benar khawatir.
"Entahlah, suaranya tidak terlalu jelas," Jawab Mona dengan napas yang terengah-engah. Ia sungguh panik, ia takut jika sesuatu yang buruk menimpa Tiffani.
Rama dan Mona terus berlari hingga keduanya tiba di bagian samping gedung, di mana terdapat jalan menuju keluar dari area universitas juga di sana. Kekhawatiran keduanya lenyap seketika saat mereka melihat bahwa yang berteriak ternyata bukanlah Tiffani, melainkan Sela.
"Hai, apa-apaan kalian!" Rama berteriak, lalu berlari menghampiri Sela yang sedang menangis, kedua lengan Sela di cengkraman dengan kuat oleh dua orang pria berpakaian serba hitam, sama seperti pakaian yang Rama kenakan.
Mona memukul kepalanya sendiri dengan kesal. "Rama ini memang suka ikut campur urusan orang lain atau bagaimana, sih!" keluhnya.
"Rama, tolong aku, mereka mau menculikku," jerit Sela, begitu Rama dan Mona tiba di hadapannya.
Mona berdecak sambil menggelengkan kepalanya. "Ckckck, mereka ini pengawal ayahmu. Bagaimana mungkin mereka mau menculikmu. Kamu jangan suka melebih-lebihkan sesuatu ya, Sel."
Sela menyingkirkan tangan kedua pengawal dari lengannya, lalu ia mengusap air matanya dengan kasar. "Mereka memang ingin menculikku, karena mereka memaksaku ikut dengan mereka padahal aku tidak mau! Aku tidak melebih-lebihkan."
Mona tertawa. "Ya, terserah kamu saja. Ayo, Ram!" Mona kemudian melingkarkan lengan di tangan Rama dan menarik Rama menjauh dari Sela.
"Kita harus menolong dia. Apa kamu yakin kalau dua pria itu adalah pengawal ayahnya?" ujar Rama, yang masih menoleh ke belakang untuk melihat keadaan Mona.
"Ck, aku yakin. Aku pernah bertemu dengan mereka saat ... ah, tunggu sebentar." Mona menghentikan langkah karena ponselnya berdering. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam blazer-nya. "Ini Tiffani," ujarnya pada Rama, sebelum ia menerima panggilan tersebut.
"Angkatlah cepat," ujar Rama.
Mona mengangguk. "Halo, Tiffa--"
"Halo, Mona. Mon, kamu di mana? Tolong aku, cepat tolong aku."
"Tiffani apa yang terjadi. Kamu di mana? Katakan sekarang kamu di mana?" Mona panik, karena Tiffani sedang menangis di seberang panggilan.
Melihat wajah Mona yang panik dan suaranya yang gemetar, Rama langsung merebut ponsel dari tangan Mona.
"Halo, Nona, ini Rama. Apa yang--"
"Brian membawaku ke sebuah hotel. Aku tidak tahu di mana, tapi--"
"Aktifkan lokasi di ponsel Anda. Aku dan Mona akan melacak dan--"
"Ya, akan aku aktifkan."
Tuuut!
Panggilan berakhir begitu saja.
"Damn!" Rama mengumpat. Ia kemudian melepas jasnya, dan menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku.
"Ada apa?" tanya Mona. "Apa yang terjadi pada Tiffani, hah?"
Rama menghela napas dan sibuk dengan ponselnya. "Nona diculik. Aku harus menemukan lokasinya dan menyelamatkannya," ujar Rama, serius.
Mona menutup mulut dengan kedua tangan. "Diculik! Siapa yang berani ... astaga, bagaimana bisa?"
"Kita harus menemukannya dan bertanya sendiri kepada penculiknya, kenapa dia menculik nona kita. Ayo!"
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 209 Episodes
Comments
Megabaiq
kurang jeli dan jenius pengawalnya..
2023-10-09
0
Dwi Winarni Wina
teffani membuat rAma paknik n mengerjain rama,,,lanjut thor....
2023-06-21
0