Tiffani kembali ke kamarnya setelah beberapa saat menghabiskan waktu untuk mengobati kepala dan lengan Rama yang terluka. Ia berhasil mengendap-endap dan menghindari pelayan yang berkeliaran di sekitar kamarnya tanpa ketahuan.
Begitu berada di dalam kamar, Tiffani langsung memukul kepalanya dengan keras. Ia merasa bodoh sekali karena memeluk Rama begitu saja tanpa alasan.
"Ish, pasti dia menganggapku murahan sekarang!" keluh Tiffani, sambil melangkah menuju ranjang dengan menghentakkan kaki.
Tindakan Tiffani itu disaksikan oleh Mona yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi.
"Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Mona.
Tiffani terlonjak. Ia terkejut karena Mona ada di dalam kamarnya. "Astaga, kamu mengejutkanku, Mon. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Tiffani
Mona menaikan sebelah alisnya. "Apa yang kulakukan di sini? Bukankah kamu yang memintaku untuk berendam hingga berjam-jam agar kamu bisa pergi ke kamar Rama."
Tiffani memukul keningnya. "Oh, benar, aku lupa."
Mona menghampiri Tiffani dan menyikut tubuh gadis itu. "Terjadi sesuatu yang membuatmu lupa waktu dan lupa segalanya? Sampai-sampai kamu melupakanku juga," tanya Mona.
"Tidak! Tidak terjadi apa-apa!" sanggah Tiffani sambil menggigit bibir bawahnya.
"Ah, yang benar. Lalu kenapa kamu menggigit bibirmu, apa kalian berciuman?"
Tiffany memelintir tangan Mona dan menjatuhkan sahabatnya itu ke atas ranjang. "Aku bilang tidak, ya, tidak. Dan kami tidak berciuman."
Mona tertawa terbahak-bahak. "Mengaku sajalah, Tiffani, aku tahu kalau kalian habis berciuman. Sekarang katakan padaku bagaimana rasa bibirnya?"
"Astaga, Mona, jaga bicaramu!"
"Siapa yang berciuman, Nak?"
Suara berat Richard mengejutkan Tiffani dan juga Mona. Keduanya buru-buru bangkit dari ranjang.
"O-om, selamat malam." Mona membungkuk untuk menyapa Richard.
Richard mengangguk pada Mona, lalu ia kembali bertanya. "Jadi siapa yang berciuman? Kamu atau Tiffani?"
Mona memandang Richard dengan gugup. "Hem, itu ... anu ...."
"Ayah, ada apa? Kenapa ayah datang ke kamarku?" tanya Tiffani yang langsung menghampiri Richard, agar Richard tidak lagi bertanya pada Mona tentang ciuman yang tidak pernah terjadi sama sekali.
Richard merentangkan tangan, meminta Tiffani untuk memeluknya. "Tidak ada apa-apa, Nak, ayah hanya ingin melihat keadaanmu."
Tiffani tersenyum, lalu memeluk Richard. Pelukan dari sang putri membuat Richard melupakan segala hal yang mengganggunya, termasuk ucapan Mona beberapa waktu lalu tentang ciuman.
"Aku baik-baik saja, Ayah," ujar Tiffani.
Richard menepuk punggung Tiffani seraya berkata, "Baguslah. Ayah sudah meminta dokter Andrew untuk datang. Sebentar lagi dia akan sampai kurasa."
Mendengar nama Andrew disebut, wajah Tiffani seketika menjadi cemberut. "Tidak usah, Ayah, aku baik-baik saja. Aku tidak butuh dokter, tidak butuh Andrew, dan aku tidak butuh dia datang ke sini."
"Ck, kamu ini jangan kekanak-kanakan. Kamu tidak baik-baik saja, Tiffani. Luka di kakimu itu harus diobati dengan benar. Lihatlah, cara memasang perban saja salah. Apa kamu sendiri yang memasang perban di kakimu itu?"
Tiffani menggeleng. "Bukan aku. Rama yang melakukannya."
"Nanti aku akan minta Andrew mengajarkan Rama cara memasang perban yang benar, agar dia bisa mengobatimu dengan baik jika dalam keadaan darurat."
Tiffani menunduk untuk menatap kakinya. "Tidak ada yang salah, kok, perbannya terpasang dengan rapi dan aku tidak merasa sakit sama sekali. Rama sudah mengobatiku dengan baik dan tepat, Ayah, itulah sebabnya aku tidak membutuhkan Andrew lagi."
Richard menggeleng melihat sikap keras kepala Tiffani. Ia kemudian menuntun Tiffani untuk duduk di tepi ranjang anak gadisnya tersebut. "Jangan membantah. Lagi pula, Andrew sudah dalam perjalanan, tidak mungkin aku memintanya untuk kembali. Saat dia nanti datang, bersikap baiklah padanya, Fan."
Tiffani dan Mona saling bertatapan. Mona tahu apa yang ada di pikiran Tiffani, dan Tiffani tahu apa yang ada di dalam pikiran Mona. Mereka berdua tidak ada yang menyukai Andrew, tapi sayangnya Andrew adalah kandidat teratas yang menurut Richard paling cocok untuk menjadi menantunya. Itu berarti Andrew tidak tersentuh, bahkan oleh keluhan yang sering terlontar dari bibir Tiffani tentang perangai Andrew yang buruk.
Richard memperhatikan keduanya, lalu tersenyum. "Baiklah, kalau begitu ayah akan keluar dulu."
***
Andrew Rajasa, seorang pria yang memiliki tubuh tinggi dan besar baru saja turun dari dalam sedan mewah yang ia kendarai. Andrew merapikan jas putih yang ia kenakan, lalu segera melangkah menuju bangunan utama yang di kelilingi oleh beberapa penjaga berpenampilan mengerikan.
Penjaga-penjaga yang berjaga di bagian depan rumah langsung membungkuk ketika Andrew mulai menapakkan kaki di teras. Mereka semua tahu siapa itu Andrew, dan bagaimana kedudukan Andrew di dalam keluarga Raendra.
"Tuan," sapa para penjaga.
Andrew menghentikan langkah dan tersenyum kepada semua penjaga yang ada di sana. "Kalian bekerja keras, ya. Bagus sekali, bagus sekali," ujar Andrew sambil terkekeh. Kemudian ia melanjutkan langkah menuju ruang tamu.
"Tuan." Salah seorang pelayanan yang sedang membersihkan lemari hias di dekat tangga kembali memberi hormat pada Andrew.
Andrew menghentikan langkah, lalu menatap pelayan muda yang menyapanya dengan tatapan khas yang Andrew miliki, yaitu tatapan mesum. "Rokmu terlalu panjang, Cantik, andai kamu pendekkan sedikit lagi, pasti kamu akan terlihat lebih menarik," komentar Andrew, sambil mengedipkan sebelah matanya dan meremas bokong pelayan itu dengan gemas.
Si pelayan tidak terlalu terkejut, karena semua pelayan yang ada di rumah itu sudah tahu bagaimana sikap Andrew yang memang sangat-sangat mata keranjang.
Biasanya para pelayan wanita akan berlarian dan bersembunyi di dapur jika Andrew datang mengunjungi rumah Richard. Namun, tidak semua pelayan beruntung, terkadang ada beberapa yang tidak mendapat informasi dan akhirnya akan berpapasan dengan Andrew si mesum.
Setelah puas menggoda si pelayan yang hanya bisa diam bagai patung, Andrew segera menaiki tangga menuju kamar Tiffani yang ada di lantai dua.
Tok, tok, tok!
Andrew mengetuk pintu kamar setelah ia tiba di depan kamar Tiffani.
Tiffani yang berada di dalam kamar dengan Mona seketika menjadi panik.
"Itu pasti dia! Aku yakin itu pasti dia!" Tiffani memekik. "Aduuuh, apa yang harus kita lakukan?" tanyanya pada Mona.
"Mau bagaimana lagi. Bukankah ayahmu tadi berkata kalau kita, terutama kamu harus bersikap baik pada Andrew," ujar Mona, sambil berlari menuju lemari pakaian Tiffani yang berukuran sangat besar.
Mona lalu mulai mengeluarkan beberapa pakaian Tiffani yang berbahan tebal dan berukuran besar, tidak seperti pakaian yang Tiffani kenakan sekarang, terlalu mini dan pasti akan mengundang pikiran kotor bagi pria manapun yang melihatnya, terutama pria seperti Andrew.
"Pakai semua ini!" seru Mona, sambil melempar celana kulot, sweater rajut, syal dan kaus kaki ke pangkuan Tiffani yang masih duduk di tepi ranjang.
Tiffani menatap semua pakaian yang ada di pangkuannya. "Percuma saja, dia pasti akan tetap berusaha untuk merabaku."
Mona berdecak. "Tidak. Aku pastikan kali ini tangan nakalnya itu tidak akan menyentuhmu, bahkan ujung rambutmu pun tidak. Cepatlah ganti di ruang ganti, aku akan membuka pintu dan membiarkan dia masuk."
Tiffani mengangguk, lalu segera berlari menuju ruang ganti, sementara Mona membuka pintu untuk Andrew.
"Hai, Mona Sayang!" seru Andrew, begitu pintu terbuka.
Mona tersenyum dan mempersilakan Andrew untuk masuk. "Masuklah, Dok."
Andrew tertawa. "Kenapa formal sekali. Santai saja, aku sedang tidak bertugas."
"Ya, memang tidak, tapi kedatangan Anda ke sini adalah sebagai dokter, jadi kita harus menjaga sikap, bukan?" ujar Mona.
"Ah, benar juga, kamu memang gadis yang cerdas," ujar Andrew, lalu mulai melangkah masuk ke dalam kamar Tiffani, dan duduk di sofa yang ada di tengah ruangan.
Mona menyusul masuk, dan membiarkan pintu terbuka.
Tidak lama kemudian Tiffani keluar dari dalam ruang ganti dengan tubuh yang terbalut pakaian tebal.
Andrew tertawa melihat penampilan gadis cantik itu. "Kamu baru saja tiba dari kutub utara?" tanyanya pada Tiffani.
Tiffani tidak menanggapi, ia hanya merapatkan syalnya lalu duduk di hadapan Andrew, setelah itu Tiffani langsung meletakkan kakinya di atas meja.
"Aku rasa kamu sudah tahu apa yang harus kamu lakukan," ujar Tiffani sambil menggerak-gerakan kakinya.
Andrew tersenyum dan segera mengeluarkan peralatan untuk pengobatan dari dalam tas jinjing yang ia bawa. "Kaki yang cantik, sayang sekali harus terluka." Andrew menyentuh kaki Tiffani dan mulai melepas perban yang terpasang di kaki gadis itu. Namun, bukannya mulai mengobati kaki Tiffani, tangan Andrew justru semakin naik, dari telapak kaki, kini tangan Andrew sudah berada di betis Tiffany.
Baru saja Tiffani dan Mona ingin menghentikan gerakan tangan Andrew yang kurang ajar, sebuah bola kasti menghantam tangan Andrew dengan keras, hingga membuat Andrew menjerit kesakitan.
Tiffani, Andrew, dan Mona langsung mengalihkan pandangan ke pintu dan mereka melihat Rama berdiri di sana.
"Rama!" seru Tiffani dan Mona, keduanya terlihat senang melihat Rama datang tepat pada waktunya.
"Siapa dia?" tanya Andrew, pada Mona dan Tiffani.
Mona berdehem, kemudian menjawab pertanyaan Andrew. "Dia adalah Rama, bodyguard baru Tiffani."
Andrew memindai penampilan Rama dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kenapa kamu tidak bilang padaku kalau kamu memiliki bodyguard baru, Fan?" tanya Andrew.
"Dia baru bekerja hari ini. Aku belum sempat memberitahumu." Tiffani menjawab. "Masuklah, Rama," ujar Tiffani kemudian.
Rama mengangguk, dan langsung masuk ke dalam kamar Tiffani. "Tuan memintaku datang ke sini, katanya aku harus belajar cara memasang perban yang benar."
Tiffani mengangguk. "Ayah juga mengatakan hal itu padaku tadi. Sekarang duduklah di sini, Dokter Andrew akan mengajarkanmu cara memasang perban." Tiffani menepuk sofa yang ada di sebelahnya, agar Rama duduk di sana.
Rama melakukan yang Tiffani perintahkan, lalu ia menatap Andrew dengan seksama. "Dia sungguh dokter?" tanya Rama.
"Dia memang dokter," jawab Tiffani.
"Tidak terlihat seperti dokter."
Mona tertawa mendengar komentar yang terlalu juju dari Rama. "Ya, dia memang lebih terlihat mirip preman daripada dokter. Preman mesum."
Andrew tidak peduli pada ocehan Mona, ia kembali menyentuh telapak kaki Tiffani yang terluka, membersihkan luka itu dan lagi-lagi tangannya mulai meraba bagian yang tidak seharusnya.
Perbuatan Andrew itu tidak luput dari perhatian Rama. Rama segera menyambar tangan Andrew dan memelintirnya sedemikian rupa hingga Andrew menjerit kesakitan.
"Aah, Lepaskan aku. Kurang ajar sekali ... argh!"
Rama mendekatkan wajahnya ke Andrew. "Akan kulepaskan, tapi jaga tangan Anda, jangan sentuh dia dengan cara seperti itu," desis Rama, tatapan matanya yang begitu tajam menusuk membuatnya terlihat kejam dan menakutkan, tetapi kesan kejam dan menakutkan itu malah semakin membuatnya terlihat luar biasa tampan.
Andrew balas menatap Rama dengan tatapan yang tidak kalah menusuk. "Sialan, apa kamu tidak tahu siapa aku?" bentak Andrew.
"Ya, aku tahu, kamu adalah dokter mesum yang mencari keuntungan pada pasien wanitamu. Kurang ajar sekali kamu ini." Rama semakin menekan pergelangan tangan Andrew.
"Argh! Hentikan, Sialan. Kamu benar-benar tidak tahu siapa aku? Aku ini Andrew Rajasa, tunangan Tiffani!"
"What?!"
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 209 Episodes
Comments