Richard terkekeh melihat tingkah putri kesayangannya yang keras kepala dan tidak mudah bersahabat. Tidak heran jika dalam waktu tiga bulan saja Tiffani sudah memecat sebanyak 49 pengawal. Sekarang saja Tiffani terlihat tidak bersahabat pada Rama, padahal Rama terlihat lebih unggul dibanding pengawal-pengawal Tiffani lainnya. Selain tampan, Rama juga masih muda, bahkan Rama terlihat seusia dengan Tiffani.
Tiffani menghempas bokongnya dengan kasar di kursi, lalu mulai meraih selembar roti gandum, mengoles roti itu dengan mentega dan kemudian mengunyah roti itu dengan kasar.
Sambil menyantap sarapan, Tiffani mulai memikirkan bagaimana cara membalas kelancangan pengawal barunya. Setidaknya ia harus memberi pelajaran kepada pengawal yang telah menghinanya secara tidak langsung, entah itu sengaja ataupun tidak sengaja, dan akan lebih bagus lagi jika ia bisa memecat pengawal itu sekalian.
"Ayah, siapa dia?" tanya Tiffani, sambil mengedikkan kepala ke tempat Rama berdiri.
Richard yang sedang mengunyah sarapannya meminta Rama untuk memperkenalkan diri. "Rama, perkenalkan dirimu," titahnya.
Rama mengangguk, lalu maju mendekat ke Tiffani. "Perkenalkan, Nona, saya adalah pengawal baru Anda. Saya Rama," ujar Rama, sambil membungkuk ke Tiffani.
Tiffani memindai penampilan Rama dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bagi Tiffani pria bernama Rama itu terlalu sempurna untuk menjadi seorang pengawal. Wajah Rama begitu tampan dengan mata elang yang memiliki tatapan tajam dan memabukkan, bibirnya terlalu sensual, hidungnya terlalu mancung, alisnya begitu tebal dan memiliki bentuk yang sempurna. Tubuh Rama memang tidak sebesar para pengawal yang pernah bekerja untuk menjaganya, tetapi dengan bentuk tubuh seperti yang Rama miliki, Rama malah terlihat lebih seksi dan cocok untuk berada di sebelahnya.
Tiffani menggeleng, ia begitu terkejut dengan pikirannya sendiri yang menganggap Rama cocok untuk menjadi pengawalnya. Padahal memiliki pengawal adalah sesuatu yang sangat memuakkan baginya.
"Berapa usiamu?" tanya Tiffani.
Rama yang sejak tadi menunduk, sekarang mengangkat wajahnya dan menatap Tiffani. Ia terlihat berpikir keras, dan hal itu membuat Tiffani bingung.
"Kamu bahkan tidak ingat berapa usiamu? Wah, jika hal seperti itu saja membuatmu bingung, tidak heran jika barusan kamu salah mengira bahwa Mona adalah putri ayahku yang harus kamu jaga," komentar Tiffani. "Sudahlah, tidak usah dijawab. Aku tidak begitu tertarik."
Tiffani lalu mengalihkan pandangan, menatap Richard yang masih asyik menyantap sarapan. "Ayah, bukankah aku sudah bilang kalau aku tidak butuh pengawal. Pengawal sangat membuat ribet ayah. Bayangkan saja jika aku selalu diikuti oleh tiga atau empat pria sekaligus setiap hari. Mona saja sudah cukup bagiku, aku tidak butuh pengawal."
Richard tersenyum dan membalas tatapan sang putri. "Kali ini ayah pastikan kamu tidak akan merasa tidak nyaman, Nak. Ayah sudah melihat bagaimana kemampuan bela diri Rama, dan itulah sebabnya ayah memilihnya untukmu. Kamu tidak akan diikuti oleh beberapa pengawal sekarang. Hanya Rama yang akan bertugas untuk menjagamu. Apakah itu adil?"
Tiffani kembali menatap Rama. "Dia jago berkelahi?"
Richard mengangguk. "Ya, dia jago menghajar seseorang. Mulai sekarang ayah akan merubah formasi saat kamu hendak bepergian. Tidak ada lagi mobil pengawal yang akan mengekor mobilmu, kamu tidak nyaman dengan hal itu, 'kan?"
Tiffani mengangguk.
"Mulai sekarang hanya ada satu mobil, dan kamu akan duduk di kursi belakang dengan Rama, sementara Mona di depan bersama dengan sopir. Dengan begitu jika terjadi apa-apa, Rama akan mudah menjangkaumu."
"Ayah terlalu berlebihan--"
"Tidak. Ayah hanya terlalu sayang padamu." Richard mengoreksi ucapan Tiffani.
Tiffani tahu jika sudah begitu ia tidak lagi bisa mendebat sang ayah. Tiffani hanya tersenyum simpul lalu melanjutkan makannya, sementara Rama kembali ke tempatnya semula, berdiri tidak jauh dari meja makan, menyaksikan sang tuan rumah menyantap sarapan sambil menahan desakan di dalam perutnya sendiri yang juga minta untuk diisi.
Setelah selesai sarapan Tiffani langsung bangkit berdiri dan mengecup pipi Richard. "Aku pergi, Ayah."
Richard mengangguk. "Hati-hati, dan jangan bicara pada orang asing--"
"Jangan pergi tanpa pengawal, jangan pergi ke mana pun tanpa Mona, jangan mudah percaya pada perkataan orang yang tidak dikenal, dan jangan lupa kabari ayah apa pun yang tejadi." Tiffani menyelesaikan ucapan sang ayah dengan cara menirukan gaya bicara sang ayah.
Richard tertawa.
"Ayah sudah mengucapkan hal itu sebanyak puluhan ribu kali. Aku sudah sangat bosan, Ayah."
Richard membelai rambut Tiffani yang sepanjang pinggang. "Ayah tidak pernah bosan mengatakannya, karena ayah khawatir dan juga menyayangimu, Nak."
Tiffani melunak, wajahnya yang sejak tadi terlihat kesal kini berubah ramah secepat datangnya kilat. Ia lalu memeluk Richard. "Aku juga sangat menyayangimu, Ayah."
Setelah beberapa saat, Tiffani melepas pelukannya dari Richard. "Baiklah, bye, Ayah." Tiffani melambai sambil melangkah keluar dari ruang makan. Mona dan Rama segera bangkit berdiri dan mengekor langkah Tiffani.
Baru beberapa langkah keluar dari ruang makan, Tiffani mendadak menghentikan langkah dan berbalik untuk menatap Rama. "Tasku!" serunya, sambil menunjuk ke ruang makan yang baru saja mereka tinggalkan.
Rama mengangguk, lalu segera berlari untuk mengambil tas Tiffani yang tertinggal di kursi makan.
***
Di dalam perjalanan menuju kampus, Mona terus mengobrol tentang ujian yang akan mereka laksanakan hari ini, sementara Tiffani membaca buku-buku yang ia bawa walaupun tidak ada satu pun kalimat yang ia mengerti.
"Oh, ya, apa kamu sudah sarapan?" tanya Mona pada Rama yang duduk di sebelah Tiffani, saat ia sudah bosan mengoceh tentang ujian yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Tiffani.
Rama terlihat terkejut karena Mona mendadak mengajaknya bicara. Ia kemudian menggeleng. "Belum, Nona."
Mona mengibaskan tangan. "Ish, panggil aku Mona saja, karena yang nona di sini hanya Tiffani." Mona kemudian mengeluarkan roti yang telah dioles dengan selain kacang dan memberikannya pada Rama.
"Untukku?" tanya Rama.
"Ya, untukmu. Aku sudah biasa membawa roti seperti ini di dalam tas, karena Tiffani sangat cepat menghabiskan sarapannya. Terkadang aku belum kenyang, tetapi sudah harus beranjak dari hadapan meja makan, karena Tiffani sudah selesai sarapan."
Rama meraih roti yang ditutupi berlapis-lapis tisu itu. "Terima kasih, Mona."
Mona merona, dan hal itu membuat Tiffani kesal.
"Makan yang kenyang, Rama," ujar Mona, dengan suara yang mendayu-dayu.
Tiffani yang melihat tingkah Mona menjadi semakin kesal. Namun, rasa kesalnya menyingkir sejenak saat Rama mengajaknya berbicara.
"Nona, apa aku boleh memakan ini?" tanya Rama, pada Tiffani.
Tiffani mengangguk. "Makanlah."
"Terima kasih."
Akan tetapi, baru saja Rama mengigit ujung roti yang ia pegang, Tiffani berteriak meminta mobil untuk berhenti.
"Stop, stop, stop!" seru Tiffani.
Mobil berhenti mendadak, membuat Roti yang dipegang Rama terjatuh.
"Ada apa, Nona," tanya Rama. Ia tidak terlihat kesal sama sekali, tetapi tidak terlihat khawatir juga pada Tiffani yang mendadak berteriak.
Tiffani menunjuk minimarket yang ada di seberang jalan. "Aku haus, belikan aku minum."
"Biar aku saja. Rama kan sedang makan," ujar Mona, menawarkan diri.
"Tidak usah, Mona, biar aku saja. Roti pemberianmu juga sudah jatuh, maaf. Sebenarnya masih bisa dimakan, tetapi sekarang tidak lagi karena sudah terinjak oleh sepatu Nona Tiffani."
Tiffani dan Mona menunduk bersamaan untuk melihat sepotong roti miliki Rama. Roti yang malang itu memang sudah terinjak oleh sepatu Tiffani.
"Fani," desis Mona, yang terlihat kesal. Ia tahu jika Tiffani pasti sengaja melakukannya.
"Tidak sengaja," ujar Tiffani dengan santainya, lalu segera menendang roti tersebut ke bawah tempat duduk Rama.
Rama yang melihat hal itu hanya bisa diam.
"Aku akan beli minum dulu," ujar Rama, lalu keluar dari dalam mobil.
Seketika puluhan keluhan keluar dari bibir Rama saat ia tidak lagi berada di sekitar Tiffani. "Dasar anak manja. Bisa-bisanya dia menginjak rotiku! Kalau haus, kenapa tidak bawa minum dari rumah. Menyebalkan sekali," omelnya.
***
Sebagai gadis yang memiliki wajah cantik dan bentuk tubuh yang menggiurkan, Tiffani memang selalu mencuri perhatian di mana pun ia berada. Tidak terkecuali saat ia berada di kampus. Memang benar adanya jika tidak ada mahasiswa yang berani bermain-main dan menggoda Tiffani, tapi hal itu hanya berlaku pada kalangan mahasiswa yang berasal dari golongan kelas bawah. Tiffani sering menyebut mereka sebagai golongan kelas dua dan tiga. Sementara untuk golongan mahasiswa kelas satu yang memiliki status sosial sama seperti Tiffani, hal itu tidak berlaku sama sekali. Golongan mahasiswa itu tetap saja menggoda dan menggangu Tiffani.
Seperti pagi ini, baru saja Tiffani turun dari mobil, seorang mahasiswa menghampiri Tiffani dan menyentuh dagu Tiffani.
"Hai, Cantik," ujar mahasiswa yang bernama Brian tersebut.
Melihat tindakan Brian yang kurang ajar, Rama langsung menangkap tangan Brian dan memutarnya sedemikian rupa hingga Brian merintih kesakitan.
"Argh, argh, argh! Sial, lepaskan aku!" teriak Brian.
Akan tetapi, Rama tidak melepaskan tangan Brian, sampai Tiffani meliriknya dan memintanya melepas tangan Brian.
"Kamu tidak dengar apa katanya? Lepaskan dia!" bentak Tiffani.
Rama langsung melepas tangan Brian dari genggamannya.
"Siapa orang sialan ini, Tiffani? Apa dia tidak tahu siapa aku, hah?!" tanya Brian, sambil mendorong tubuh Rama.
"Ck, sudah, sudah, jangan terus mendorongnya." Mona melerai. "Dia bodyguard baru Tiffani. Om Richard sendiri yang memilihnya, jadi jangan macam-macam, Bri!" ujar Mona, menghalangi Brian yang terus mendorong Rama.
Tiffani yang terlihat bosan segera meninggalkan perkelahian kecil yang terjadi antara Mona, Rama, dan Brian.
Melihat Tiffani pergi menjauh, Rama langsung menyusul langkah Tiffani dan berjalan tepat di belakang Tiffani tanpa bersuara seperti yang seharusnya seorang pengawal lakukan.
Suasana koridor yang tadinya tenang mendadak menjadi riuh saat Tiffani lewat. Terdengar banyak bisik-bisik dan cekikikan yang menggaung.
Tiffani mengibaskan rambutnya ke belakang, ia melangkah penuh percaya diri dan merasa bangga karena kecantikannya yang sudah diakui membuat banyak orang terpesona. Bukan hanya dari kalangan mahasiswa saja yang sekarang sedang terkagum-kagum memandangnya, tetapi dari kalangan mahasiswi juga.
"Mereka pasti terpesona pada penampilanku yang modi. Aku memang pandai memadupadakan pakaian," batin Tiffani.
Akan tetapi, beberapa saat kemudian Tiffani sadar jika bukan dirinya yang sedang dipandangi dengan penuh kekaguman oleh para mahasiswi saat ini, tetapi Ramalah yang sedang menarik perhatian puluhan mahasiswi di koridor.
"Hai, Tiffani, bodyguard barumu cute banget, sih. Boleh dong kenalin ke kita," teriak salah seorang teman Tiffani.
"Iya, Fan, siapa namanya?"
"Kalau kamu memecatnya, aku akan bilang pada ayahku kalau aku juga butuh bodyguard," ujar salah seorang lagi.
Detik berikutnya teman-teman Tiffani menjadi heboh, dan langsung mengerumuni Rama.
Rama yang tidak biasa dengan situasi seperti itu hanya bisa berdiri diam bagai patung. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali meskipun ada puluhan tangan yang terulur ke arahnya meminta untuk berkenalan.
Beruntung Mona datang tepat waktu, Mona menarik tangan Rama agar pria itu terbebas dari kerumunan.
"Kenapa kamu tidak pergi dari sini?" tanya Mona.
"Aku tidak bisa pergi, karena Nona tidak pergi." Rama menunjuk Tiffani yang ada di hadapannya.
Ya, Tiffani memang masih berdiri di sana, ia terlalu terkejut karena Rama semudah itu mendapat perhatian dari teman-temannya.
Mona mengibaskan tangan di depan wajah Tiffani yang melamun. "Ayo pergi dari sini sebelum Rama dimangsa oleh mereka," ujar Mona, kemudian menarik lengan Tiffani dengan sebelah tangannya, sementara sebelahnya lagi ia menarik lengan Rama. "Sulit sekali memiliki bodyguard tampan!"
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 209 Episodes
Comments
Dwi Winarni Wina
rama yg jadi idolanya membuat tifani kesal,,,lanjut thor💪
2023-06-20
1